Menjadi Anak Angkat yang Dilahirkan dari Hati Ibu

Endah Wijayanti diperbarui 15 Des 2020, 13:05 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh:  Puji Khristiana Dyah Nugrahaini

Menjadi anak tunggal dari seorang ibu yang lembut membuatku selalu merasa nyaman dan bahagia. Meski sibuk mengajar di sekolah, ibu tak pernah absen untuk selalu mempersiapkan segala kebutuhanku dengan tangannya sendiri. Mulai dari bangun pagi untuk memasak menu sarapan, mencuci baju, mempersiapkan bekal sekolah, hingga mengantarku ke sekolah sebelum dia sendiri berangkat menuju sekolah tempatnya mengajar.

Ibu adalah seorang guru yang berstatus pegawai negeri sipil sebuah sekolah SMP negeri di kota kami. Setiap hari berangkat pagi pulang sore demi bisa membantu perekonomian keluarga. Ayahku sendiri hanyalah pedagang sayur di pasar yang sudah harus berangkat berdagang sebelum adzan subuh terdengar. Alhasil, setiap pagi ibu harus berpacu dengan waktu agar semua pekerjaan rumah tangga selesai sebelum pukul 6 pagi tanpa bantuan ayah.

Banyak teman sekolah yang iri padaku. Mereka selalu membayangkan andaikan bisa menjadi anak tunggal sepertiku. Agar bisa mendapat kasih sayang dan materi yang berlimpah dari orang tua tanpa harus berbagi dengan saudara yang lain. Aku tidak menampik omongan mereka. Memang benar. Aku merasakan sendiri enaknya menjadi anak tunggal yang selalu dilimpahi kasih sayang dan materi dari orang tua.

Namun sayangnya, ternyata kenyataan tidak seperti apa yang kulihat. Tepat di usia 25 tahun aku mengetahui sebuah kenyataan yang mengejutkan. Ternyata aku bukan anak kandung kedua orang tuaku selama ini. Aku bukan anak tunggal. Aku hanyalah anak angkat.

Satu minggu menjelang hari pernihanku, ayah mengajakku mengunjungi sebuah rumah. Rumah yang sangat sederhana di perkampungan padat penduduk ibu kota. Pemilik rumah itu adalah seorang bapak berusia lanjut. Berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat di tangan kanannya ketika menerima kedatangan kami. Ayah meminta agar aku bersalaman dan mencium tangannya.

2 dari 2 halaman

Mensyukuri Banyak Hal

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/szefei

Setelah bercakap cukup lama, ayah memberi surat undangan pada laki-laki tua tersebut. Sambil mengatakan agar bersedia datang menjadi wali nikah untukku. Awalnya sempat tidak memahami maksud ayah. Namun akhirnya aku mengerti kenapa ayah mengajakku ke sini. Aku membutuhkan wali nikah. Sedangkan ayah tidak bisa menjadi wali nikah untukku karena aku bukan anak kandungnya.

Rasanya seperti tersengat arus listrik ratusan volt. Bagaimana ayah dan ibu bisa menyembunyikan kenyataan ini hingga 25 tahun lamanya? Membiarkan aku beranggapan bahwa aku adalah anak tunggal dari mereka. Namun kenyataannya aku hanyalah anak angkat yang mereka ambil sewaktu masih di rumah sakit dulu.

"Maaf, Nak. Ayah dan ibu hanya orang tua angkat. Beliaulah bapak kandungmu. Ibu kandungmu meninggal sehari setelah melahirkanmu. Karena tidak ada ibu yang merawatmu, maka kami berdua berinisiatif untuk merawatmu hingga sekarang."

Mendengar penjelasan ayah, tubuhku seperti daging tanpa tulang. Lemas seketika. Kutatap lamat-lamat laki-laki tua bertongkat yang sekarang ada di depanku. Dada dan mataku terasa panas. Tangisku pecah tanpa bisa dicegah.

Bapak kandungku menepati janjinya. Datang tiga puluh menit sebelum acara ijab qabul pernikahanku dilakukan. Beliau datang dengan membawa keempat anaknya yang tidak lain adalah kakak-kakakku. Ternyata aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Dua kakak laki-laki pertama dan kedua sudah menikah. Begitu pula dengan dua kakak perempuanku nomor tiga dan empat. Mereka datang bersama anak-anak dan suaminya.

Selesai ijab qabul, aku bersimpuh di kaki ibu angkatku. Berterima kasih atas limpahan kasih sayang dan kebaikan yang belum bisa kubalas sampai detik ini. Sekaligus meminta maaf atas semua kesalahan dari aku kecil hingga sekarang. Ibu mengangguk. Menyentuh pundak dan punggungku. Memberi kekuatan, doa, serta nasehat agar pernikahanku selalu diselimuti sakinah, penuh cinta, dan rahmat dari yang maha kuasa.

Aku tidak bisa membendung air mata. Terlebih lagi setelah mendapati kenyataan bahwa wanita lembut yang selalu menyayangiku dari kecil bukanlah ibu kandungku. Hanya ibu angkat yang menjalankan tugasnya untuk merawatku hingga dewasa. 

Setelah pesta pernikahan selesai, aku sempat menanyakan. Kenapa ibu mau merawatku? Jawabannya sederhana. Ibu adalah satu dari sekian wanita yang tidak ditakdirkan untuk melahirkan anak dari rahimnya karena sesuatu hal. Hingga usia 50 tahun, ibu belum pernah sekalipun hamil meski berbagai usaha telah dilakukan. 

Setelah lelah berusaha, akhirnya ibu pasrah. Dia menerima tawaran ayah untuk mengadopsi anak saja sebagai "pancingan" agar Tuhan berkenan memberinya kehamilan. Dan akulah anak hasil adopsi itu. Namun hingga usiaku dewasa, ibu tak kunjung hamil juga. 

Tidak masalah. Ibu sudah bahagia dengan memilikiku. Aku juga bahagia memilikinya. Aku bahagia karena menjadi seorang anak angkat meski tidak lahir dari rahimnya. Tapi aku tetap lahir dari hatinya.

#ChangeMaker