Mengenal Karakteristik Anak yang Dididik dengan Gaya Parenting VOC

Amelia Salsabila AswandiDiterbitkan 21 Juli 2025, 16:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, dalam dunia parenting, istilah “VOC” bukan sekadar merujuk pada sejarah kolonial semata, istilah ini juga mulai digunakan secara simbolis untuk menggambarkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter, kaku, dan minim komunikasi dua arah. Gaya ini menempatkan orangtua sebagai pusat kendali mutlak, sementara anak diminta untuk patuh tanpa banyak bertanya. Dalam banyak kasus, pola asuh seperti ini lahir dari niat baik—ingin membentuk anak yang disiplin, tangguh, dan patuh pada aturan. 

Meski begitu, niat baik ini bisa membawa konsekuensi lain yang kadang tidak disadari. Fenomena parenting ala VOC ini masih cukup banyak ditemukan, terutama di lingkungan yang memegang teguh nilai hierarki dan kepatuhan. Misalnya, ketika orangtua merasa bahwa anak harus menuruti semua perintah demi ‘kebaikan’ mereka, meskipun tanpa penjelasan. 

Pola ini sangat mirip dengan authoritarian parenting yang sebelumnya telah banyak diteliti oleh para psikolog. Dalam jangka pendek, anak mungkin terlihat disiplin, tertib, dan tidak banyak membantah. Namun bagaimana dampaknya dalam jangka panjang terhadap perkembangan karakter dan psikologis mereka?

Dilansir dari berbagai sumber seperti verywellmind.com, berikut adalah bagaimana pola asuh ini memengaruhi karakteristik anak kedepannya.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

1. Disiplin dan Tertib, Tapi Takut Berbuat Salah

Anak yang dibesarkan dengan parenting VOC cenderung takut berbuat salah dan memiliki harga diri yang rendah. (Foto/Dok: freepik.com)

Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter seperti gaya VOC cenderung sangat disiplin. Mereka terbiasa hidup dalam struktur aturan yang ketat, sehingga mudah mengikuti perintah dan terbiasa tertib dalam keseharian. Dari luar, sikap ini terlihat positif—anak jadi tidak membangkang, dan mudah diatur.

Namun, di balik keteraturan itu, mereka mungkin akan tumbuh dalam rasa takut. Takut melakukan kesalahan kecil, takut dimarahi, atau bahkan takut mengecewakan orangtua. Ketakutan ini bisa membuat anak jadi sangat berhati-hati dan tidak berani mengambil risiko. Dalam jangka panjang, pola ini bisa menghambat keberanian anak untuk mencoba hal baru atau belajar dari kegagalan.

2. Harga Diri yang Rendah

Minimnya dukungan emosional dalam pola asuh VOC membuat anak kurang mendapatkan validasi terhadap diri mereka. Fokus utama orangtua dengan gaya parenting ini biasanya adalah pada hasil, bukan pada proses atau usaha anak. Akibatnya, anak hanya merasa dihargai ketika mereka memenuhi ekspektasi orangtua.

Seiring waktu, hal ini membentuk anak dengan harga diri yang rendah. Mereka kerap meragukan kemampuan sendiri dan merasa tidak cukup baik, meskipun sudah berusaha. Anak menjadi sangat tergantung pada pengakuan dari luar, dan kesulitan merasa bangga atas pencapaiannya sendiri jika tidak mendapatkan apresiasi dari orangtua.

3 dari 4 halaman

3. Sulit Mengekspresikan Emosi

Anak jadi lebih tertutup dan hanya melakukan sesuatu dengan arahan. (Foto/Dok: freepik.com/Odua)

Pola komunikasi satu arah yang kerap terjadi dalam parenting VOC bisa membatasi kemampuan anak untuk mengenali dan menyampaikan perasaannya. Mereka tumbuh dalam budaya “diam adalah emas”, di mana mengekspresikan emosi sering dianggap tidak sopan atau bahkan lemah. Akibatnya, anak terbiasa memendam perasaannya sendiri.

Saat mereka mulai tumbuh besar, dampaknya bisa muncul dalam bentuk kesulitan berkomunikasi secara emosional. Anak bisa menjadi sangat tertutup, bingung mengutarakan perasaan, atau malah meledak-ledak ketika berada di situasi yang membuatnya tertekan—yang membuat mereka pada akhirnya sulit mengelola emosi dengan baik.

4. Pandai Menyesuaikan Diri, Tapi Minim Inisiatif

Anak yang diasuh secara otoriter cukup lihai membaca situasi dan bersikap sesuai harapan orang dewasa. Mereka tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan bagaimana berperilaku agar tidak memicu kemarahan. Kemampuan menyesuaikan diri ini bisa membuat mereka tampak dewasa lebih cepat. 

Namun, karena terbiasa diarahkan terus-menerus, mereka cenderung pasif ketika tidak ada arahan. Anak jadi kurang percaya diri untuk mengambil keputusan sendiri atau mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan. Alih-alih memulai, mereka memilih menunggu instruksi.

4 dari 4 halaman

5. Prestasi Akademik Tinggi, Tapi Bukan Karena Motivasi Intrinsik

Anak bisa rentan terkena penyakit mental seperti stres berlebih hingga anxiety. (Foto/Dok: freepik.com)

Gaya parenting VOC sering kali menghasilkan anak yang berprestasi di sekolah. Mereka terbiasa ditekan untuk mendapatkan nilai tinggi dan menjadi yang terbaik. Bagi orangtua, pencapaian akademik adalah tolok ukur keberhasilan dalam mendidik anak. Karena itu, anak terbentuk menjadi pribadi yang gigih dan penuh ambisi.

Namun, di balik semua itu, motivasi anak biasanya berasal dari ketakutan—bukan dari keinginan belajar atau semangat mengeksplorasi. Anak belajar karena takut dimarahi atau takut mengecewakan, bukan karena mereka menguasi materi pelajaran. Hal ini membuat proses belajar anak malah menjadi beban, alih-alih kesenangan.

6. Rentan terhadap Stres dan Kecemasan

Anak-anak yang dibesarkan dengan tekanan tinggi dan minim dukungan emosional rentan mengalami gangguan psikologis. Mereka menyimpan banyak tekanan dalam diam, dan tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya. Akibatnya, stres bisa menumpuk dan meledak dalam bentuk kecemasan, insomnia, bahkan gejala depresi.

Tuntutan untuk selalu sempurna tanpa adanya ruang untuk gagal juga membuat anak mudah merasa kewalahan. Mereka belajar bahwa kesalahan adalah sesuatu yang fatal, bukan bagian dari proses tumbuh. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, anak bisa merasa hancur secara emosional. 

 

Sahabat Fimela, itulah beberapa gambaran karakteristik anak yang tumbuh dengan gaya parenting VOC. Yuk, segera ubah pola asuh otoriter dengan gentle parenting yang lebih bijak!