Social Ghosting: Pertemanan Zaman Now yang Hilang tanpa Kata Perpisahan

Endah WijayantiDiterbitkan 12 September 2025, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Ada momen ketika keakraban yang terasa hangat tiba-tiba sirna begitu saja. Chat yang dulu ramai mendadak sepi, ajakan hangout tak lagi mendapat balasan, bahkan akun media sosialmu sudah tak lagi muncul di daftar teman. Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, Sahabat Fimela. Ada istilah untuk fenomena ini: social ghosting.

Istilah ini bukan hanya berlaku dalam percintaan. Kini, banyak orang mengalaminya dalam lingkaran pertemanan. Hilangnya seseorang tanpa kabar, tanpa kata perpisahan, menciptakan ruang kosong yang membingungkan. Tidak ada konflik terbuka, tidak ada penjelasan. Hanya sikap saling diam yang perlahan berubah menjadi jarak yang makin menjauhkan.

Fenomena ini terasa unik, karena berbeda dengan putus hubungan biasa. Dalam situasi ini, tidak ada "pintu ditutup" tetapi cenderung membiarkan seseorang berdiri di depan pintu yang tertutup rapat tanpa tahu alasan. Dari sinilah, luka emosional bisa tumbuh tanpa arah.

What's On Fimela
2 dari 5 halaman

Ghosting dalam Pertemanan Bisa Terasa Lebih Menyakitkan

Ghosting dalam Pertemanan Bisa Terasa Lebih Menyakitkan./Copyright Fimela - Abel

Sebuah studi di ScienceDirect mencatat bahwa ghosting dalam pertemanan bisa lebih menyakitkan daripada ghosting romantis. Mengapa? Karena teman kerap menjadi tempat pulang, bukan sekadar tempat singgah. Ketika sosok itu tiba-tiba hilang, rasa kehilangan bisa lebih menghantam harga diri.

Survei dari The Thriving Center of Psychology bahkan menunjukkan angka yang mencengangkan: 50% responden mengaku pernah di-ghosting oleh teman dekatnya.

Lebih mengejutkan lagi, hampir separuh dari mereka juga mengaku pernah melakukan hal serupa. Ini membuktikan bahwa fenomena ini tidak sepihak, tapi sudah jadi pola sosial yang berulang.

Alasannya berlapis. Ada yang memilih diam demi menghindari konflik, ada yang jenuh karena intensitas komunikasi, dan ada pula yang merasa kelelahan secara emosional. Social ghosting jadi pilihan yang tampak mudah, walau konsekuensinya jauh lebih rumit.

3 dari 5 halaman

Tentang Korban dan Pelaku dalam Social Ghosting

Tentang Korban dan Pelaku dalam Social Ghosting./Copyright Fimela - Risang Abel

Dalam dunia pertemanan, keheningan sering kali lebih bising daripada pertengkaran. Saat social ghosting terjadi, yang tertinggal bukan sekadar hilangnya percakapan, melainkan runtuhnya rasa percaya.

Sahabat Fimela, orang yang ditinggalkan bisa merasa ditolak, dipinggirkan, bahkan tak lagi layak mendapat ruang di hidup orang lain.

Harga diri ikut terguncang. Ada yang mulai mempertanyakan kesalahannya sendiri, ada pula yang menutup diri dari hubungan baru karena takut mengulang pengalaman serupa. Padahal, tidak jarang ghosting lebih mencerminkan kondisi emosional pelaku ketimbang kesalahan orang yang ditinggalkan.

Yang sering terlupakan, pelaku pun tidak selalu menang. Menghindari percakapan sulit mungkin terasa lebih ringan, tapi beban emosional tetap tertinggal.

Ada rasa bersalah, ada kekosongan, ada kehilangan yang tidak diucapkan. Ghosting bukan solusi; ia hanya menunda percakapan yang seharusnya terjadi.

4 dari 5 halaman

Komunikasi Terbuka dan Upaya Menjaga Hubungan Baik

Komunikasi Terbuka dan Upaya Menjaga Hubungan Baik./Copyright freepik.com/author/freepik

Pertemanan sejati seharusnya tidak runtuh hanya karena satu percakapan sulit.

Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menjelaskan, meski singkat, alasan mengapa jarak perlu dibuat. Kalimat sederhana seperti, “Aku butuh waktu untuk diriku sendiri,” lebih menenangkan daripada hilang tanpa kabar.

Komunikasi terbuka adalah cara menjaga agar hubungan tetap sehat. Bukan berarti semua harus dijelaskan panjang lebar, tapi setidaknya ada penghargaan terhadap ikatan yang sudah terjalin. Kejujuran kecil bisa mencegah luka besar.

Era digital memang memberi ruang untuk menghilang dengan mudah, tetapi di sisi lain, ruang ini juga memberi kita kesempatan untuk belajar lebih peka, lebih berani, dan lebih menghargai perasaan orang lain.

Pertemanan yang dirawat dengan kejujuran akan jauh lebih kokoh daripada yang hanya bertahan lewat notifikasi singkat.

5 dari 5 halaman

Kita Semua Mungkin Pernah Ada di Dua Sisi

Kita Semua Mungkin Pernah Ada di Dua Sisi./Copyright depositphotos.com

Realitanya, hampir setiap orang punya jejak di balik fenomena social ghosting. Ada saat kita menjadi korban yang ditinggalkan tanpa alasan, ada pula waktu kita tanpa sadar menjadi pelaku karena memilih diam dan menjauh tanpa penjelasan. Lingkaran ini begitu akrab dalam dinamika pertemanan modern.

Sahabat Fimela, mengakui bahwa kita juga mungkin pernah berada di dua sisi adalah langkah penting untuk memahami fenomena ini lebih dalam. Dengan begitu, empati tidak hanya diarahkan pada diri sendiri, tapi juga pada orang lain yang mungkin melakukan ghosting karena alasan yang tidak selalu terlihat.

Maka, menurut pendapatmu, apa yang perlu dilakukan agar social ghosting ini bisa dicegah? Apakah dengan berani bicara jujur meski singkat, atau dengan melatih kesabaran menghadapi perbedaan ritme komunikasi dalam pertemanan?