Menerapkan Stoicism agar Parenting Lebih Tenang dan Bermakna

Alyaa Hasna HunafaDiterbitkan 14 November 2025, 09:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Menjadi orang tua adalah salah satu peran paling berharga sekaligus penuh tantangan. Dari menghadapi tangisan bayi, drama anak kecil, hingga dinamika remaja, orang tua sering kali diuji kesabarannya. Dalam perjalanan ini, kita tidak hanya mendidik anak, tapi juga belajar banyak hal tentang diri sendiri. Ada saatnya kita merasa bangga melihat anak tumbuh, namun ada pula momen di mana kita merasa kewalahan. Semua pengalaman ini adalah bagian dari proses, dan stoicism hadir sebagai panduan untuk menjalaninya dengan lebih tenang.

Melansir laman thestoicmethod.com seringkali terjadi pertengkaran kecil saat makan, anak yang susah tidur, atau penolakan saat belajar bisa membuat orang tua frustasi. Di sinilah stoicism bisa menjadi pegangan. Dengan mempraktikkan prinsip-prinsip stoicism, orang tua dapat mengubah situasi yang menegangkan menjadi kesempatan untuk belajar mengendalikan diri dan menunjukkan teladan positif pada anak.

Lalu, apa itu stoicism dalam parenting? Intinya, stoicism mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan menerima hal-hal yang berada di luar kendali. Sebagai orang tua, kita tentu ingin memberikan yang terbaik. Namun, bukan kesempurnaan yang dicari, melainkan kebijaksanaan dalam menjalani setiap proses mendidik anak. Kita tidak bisa mengatur mood anak setiap hari, tetapi kita bisa mengatur nada suara, sikap, dan konsistensi kita.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Mengendalikan emosi, melepaskan kontrol, dan menjadi contoh untuk anak

Stoicism bermanfaat untuk mengelola emosi yang penting dalam parenting. (foto: lifestylememory/freepik)

Salah satu manfaat penting dari stoicism adalah mengelola emosi. Saat anak tantrum atau tidak patuh, wajar jika orang tua merasa kesal. Tapi sebelum marah, stoicism mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, bernapas, lalu memilih respon yang lebih tenang. Bayangkan jika anak melihat orang tuanya tetap sabar ketika menghadapi amarahnya, itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Dengan begitu, anak pun belajar bahwa emosi bisa diatur, bukan diledakkan. Perlahan, pola ini akan menular dan membentuk cara mereka menghadapi masalah di masa depan.

Manfaat lainnya adalah melepaskan kontrol berlebihan. Kita tidak bisa sepenuhnya mengendalikan pilihan, perasaan, atau sikap anak. Yang bisa kita lakukan adalah membimbing, melindungi, dan memberi teladan. Jika kita terus memaksakan hasil, justru akan muncul frustrasi. Stoicism membantu kita menerima bahwa hasil bukan sepenuhnya di tangan kita. Misalnya, meskipun kita sudah menyiapkan bekal sehat, anak mungkin tetap memilih untuk jajan. 

Stoicism juga mendorong orang tua untuk menanamkan nilai, bukan sekadar aturan. Anak mungkin tidak selalu mengingat nasihat panjang, tetapi mereka akan meniru perilaku kita. Jika kita menunjukkan kesabaran, keadilan, dan keberanian, anak akan belajar nilai-nilai itu secara alami dari keseharian. Inilah mengapa menjadi teladan jauh lebih kuat dibanding seribu kata nasihat. Misalnya, ketika kita berani meminta maaf jika salah, anak pun belajar bahwa rendah hati bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan.

3 dari 3 halaman

Mendidik anak sambil belajar dari kesalahan dengan prinsip stoicism

Berbagai manfaat penerapan prinsip stoicism dalam hubungan orang tua dan anak. (foto: lifestylememory/freepik)

Selain itu, stoicism bisa mengurangi rasa bersalah berlebihan pada orang tua. Tidak ada orang tua yang sempurna, dan itu wajar. Dengan refleksi harian, kita bisa mengevaluasi apa yang sudah baik dan apa yang bisa diperbaiki tanpa harus terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Fokus pada hal yang bisa diperbaiki membuat hati lebih ringan. Kesalahan bukanlah akhir, tetapi kesempatan untuk belajar. Dengan pola pikir ini, orang tua bisa mendidik anak tanpa terbebani rasa cemas yang berlebihan.

Manfaat lain adalah membantu anak tumbuh lebih tangguh. Anak belajar dari cara kita menghadapi masalah. Jika orang tua menunjukkan ketenangan dan kekuatan saat gagal atau kecewa, anak pun akan terbiasa melihat tantangan sebagai bagian dari hidup. Mereka belajar bahwa kegagalan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan pengalaman untuk bangkit kembali. Dengan membiasakan sikap stoic dalam keseharian, orang tua secara tidak langsung membentuk anak yang percaya diri.

Pada akhirnya, menerapkan stoicism dalam parenting bukan hanya soal membesarkan anak yang baik, tetapi juga tentang menjadi orang tua yang lebih bijak. Melalui latihan sederhana seperti menetapkan niat di pagi hari, berhenti sejenak sebelum bereaksi, dan melakukan refleksi di malam hari, orang tua bisa lebih hadir, sabar, dan selaras dengan nilai yang diyakini. Dengan stoicism, kita tidak hanya membimbing anak, tapi juga membentuk diri kita sendiri. Parenting pun terasa lebih bermakna, karena setiap hari menjadi kesempatan untuk bertumbuh bersama anak, bukan sekadar mendidik mereka.

 

Penulis: Alyaa Hasna Hunafa