Fimela.com, Jakarta Tidak semua senyum yang diunggah di media sosial adalah pantulan dari realitas kebahagaian yang sesungguhnya. Banyak pasangan justru memoles hubungan dengan kilau kebahagiaan palsu demi tatapan publik. Fenomena ini disebut Love Mirage, yang bisa didefinisikan sebagai sebuah fatamorgana atau ilusi cinta yang tampak mempesona dan sempurna dari luar, tetapi menyimpan kehampaan di dalamnya.
Love Mirage bisa jadi merupakan bentuk tekanan psikologis, ketika pasangan merasa harus tampil sempurna agar hubungan mereka diterima oleh lingkungan. Padahal, cinta sejati tidak harus selalu membutuhkan sorotan kamera harmonis dan langgeng.
What's On Fimela
powered by
Yang Tampak Sempurna Bisa Memiliki Luka
Kisah Tasya Farasya menjadi sebuah gambaran bagaimana citra hubungan yang tampak sempurna bisa runtuh. Kehidupan rumah tangganya mungkin selama ini terlihat ideal di media sosial. Namun pada akhirnya, realitas berkata lain.
Tasya mengajukan gugatan cerai pada 12 September 2025, sebuah langkah yang mengejutkan publik. Ia mengaku mengalami tekanan batin akibat dugaan pengkhianatan dan tidak mendapatkan nafkah layak dari suaminya, Ahmad Assegaf. Bahkan, dalam gugatan nafkah, ia hanya menuntut Rp100 sebagai simbol bahwa ada luka yang tak bisa dibayar materi.
Mediasi yang diharapkan bisa meredam perpisahan pun gagal. Tasya sendiri sempat menuliskan curahan hati pedih sebelum sidang, berharap semua ini hanyalah mimpi. Kisah ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan di media sosial sering kali hanyalah fragmen visual, bukan potret nyata kehidupan.
Sekitar 42% Millenials Menggunakan Media Sosial untuk Membuat Citra Sempurna
Survei dari organisasi Relate (UK) yang dilaporkan oleh The Independent menunjukkan bahwa sekitar 42% millennials menggunakan media sosial untuk membuat hubungan mereka terlihat sempurna. Lebih mengejutkan lagi, 51% millennials mengaku berpura-pura bahwa hubungan mereka lebih bahagia dari kenyataannya.
Fenomena ini mengungkap betapa besar tekanan untuk menampilkan citra ideal di hadapan publik. Pasangan rela mengorbankan kejujuran emosional demi mendapatkan likes dan komentar manis. Mereka terjebak dalam pola pikir bahwa validasi digital lebih berharga daripada kenyamanan hati.
Ketika pencitraan lebih penting daripada ketulusan dan kedalaman emosional, sebuah hubungan bisa kehilangan esensinya. Alih-alih menjadi ruang aman untuk berbagi, hubungan berubah menjadi proyek publikasi.
Kesepian di Balik Foto Mesra
Hubungan yang sehat mestinya dibangun dengan komunikasi, bukan sekadar potret harmonis. Hanya saja, Love Mirage justru menggiring pasangan pada jurang kesepian. Mereka tampak mesra di depan kamera, tetapi terasing di dalam rumah sendiri.
Citra visual memang bisa menipu. Senyum di foto tidak selalu sejalan dengan isi hati. Banyak pasangan menunda menghadapi masalah karena sibuk merawat pencitraan. Akibatnya, konflik yang seharusnya bisa diselesaikan malah menjadi gunung es yang kian membesar.
Kesepian semacam ini jauh lebih menyakitkan daripada sekadar jarak fisik. Karena yang hilang bukan kebersamaan, melainkan rasa dimengerti dan dihargai.
Love Mirage bukan hanya persoalan estetika media sosial, tapi juga bisa menjelma menjadi jebakan psikologis yang membuat pasangan sulit membedakan antara kenyataan dan citra. Ketika terlalu lama bersembunyi di balik tampilan bahagia, seseorang bisa kehilangan keberanian untuk mengakui luka yang sebenarnya.
Dalam jangka panjang, hal ini melelahkan jiwa. Pasangan tidak hanya kehilangan ruang untuk berkomunikasi, tetapi juga kehilangan rasa percaya pada diri sendiri. Mereka menukar ketulusan dengan pengakuan semu.
Semakin lama seseorang bertahan dalam ilusi, semakin besar pula risiko hubungan hancur tiba-tiba. Seperti kaca yang tampak berkilau, tetapi sekali retak akan pecah berkeping-keping.
Tidak ada hubungan yang selalu sempurna, dan itu hal yang manusiawi. Justru, kejujuran dalam menghadapi konflik adalah tanda bahwa cinta itu nyata. Media sosial seharusnya hanya menjadi etalase, bukan cermin mutlak dari hubungan.
Kejujuran, empati, dan keterbukaan menjadi fondasi yang jauh lebih penting daripada sekadar unggahan foto bersama. Pasangan yang berani mengakui kelemahan justru akan tumbuh lebih kuat, karena mereka berjuang di dunia nyata, bukan di panggung maya.
Hubungan yang sehat mungkin tidak selalu indah di mata orang lain, tetapi selalu memberi ketenangan bagi mereka yang menjalaninya.
Mengusahakan Hubungan yang Harmonis dan Langgeng
Kisah nyata, data survei, hingga pengalaman pasangan yang terjebak dalam Love Mirage memberi kita satu pelajaran besar: cinta bukanlah pertunjukan. Ketika sebuah hubungan dijalani dengan ketulusan hati, maka kebahagiaan tumbuh dari dalam, bukan dari komentar orang luar.
Postingan media sosial bisa menginspirasi, tetapi ia tidak pernah bisa menggantikan komunikasi yang jujur. Harmonisasi sejati tidak lahir dari jumlah likes, melainkan dari keberanian untuk saling memahami meski tanpa kamera.
Love Mirage menjadi semacam pengingat bahwa tidak ada kebahagiaan sejati dalam kepalsuan. Cinta hanya akan bertahan ketika kita bisa dengan nyaman menjadi diri sendiri dan berani tampak apa adanya di hadapan pasangan dan menjaga komitmen serta tanggung jawab bersama dalam hubungan.