7 Trik Agar Anak Merasa Didengar dan Dimengerti

Siti Nur ArishaDiterbitkan 19 Desember 2025, 08:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Membangun komunikasi yang hangat dengan anak bukan sekadar mendengar kata-katanya, tetapi juga memahami apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan. Di tengah kesibukan orangtua, sering kali respons yang muncul hanya berupa jawaban cepat, nasihat spontan, atau penjelasan panjang yang justru membuat anak merasa tidak divalidasi. Padahal, kemampuan untuk hadir secara utuh saat anak bercerita akan sangat memengaruhi perkembangan emosi, kepercayaan diri, dan hubungan orangtua-anak dalam jangka panjang.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang merasa dimengerti cenderung lebih terbuka, mudah mengungkapkan perasaan, dan memiliki regulasi emosi yang lebih baik. Ini berarti, ketika orangtua mampu memberikan ruang aman bagi mereka untuk berbicara, anak akan tumbuh lebih percaya diri dalam mengenali dan mengekspresikan emosinya. Proses memahami anak sebenarnya sederhana—asal orangtua tahu triknya dan melakukannya secara konsisten dalam keseharian.

Dilansir dari The Kid Counselor, banyak orangtua tanpa sadar hanya mendengar, bukan benar-benar mendengarkan. Akibatnya, anak sering merasa diabaikan meski orangtua berada tepat di hadapannya. Dengan teknik yang tepat, Anda bisa mengubah percakapan menjadi momen yang lebih dekat dan bermakna. Yuk simak penjelasan lengkapnya!

2 dari 3 halaman

1. Dengarkan dengan Hadir Sepenuhnya

Saat anak mulai berbicara, hentikan sejenak aktivitas yang sedang Anda lakukan. Anak sangat peka dan bisa merasakan apakah orangtuanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh atau hanya secara sepintas saja. (foto/dok: freepik)

Saat anak mulai berbicara, hentikan sejenak aktivitas yang sedang Anda lakukan. Anak sangat peka dan bisa merasakan apakah orangtuanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh atau hanya secara sepintas saja. Memberikan perhatian penuh melalui kontak mata, anggukan kecil, atau bahasa tubuh yang terbuka akan membuat anak merasa cerita mereka penting. Kehadiran seperti ini membantu mereka lebih berani bercerita, bahkan tentang hal-hal yang sensitif.

2. Tangkap Makna di Balik Ucapannya

Tidak semua anak mampu mengungkapkan perasaan secara jelas. Ketika mereka menolak, marah, atau tampak tidak nyaman, sering kali ada emosi yang lebih dalam seperti takut, cemas, atau belum siap. Alih-alih menafsirkan ucapannya secara harfiah, cobalah memahami pesan emosional yang ingin disampaikan. Misalnya, ketika anak menolak perubahan rutinitas, bisa jadi ia merasa khawatir dengan hal baru. Ketika orangtua menangkap makna ini, anak merasa emosinya dianggap serius.

3. Refleksikan Perasaannya

Merefleksikan perasaan berarti menyebutkan kembali emosi yang terlihat dari anak. Contohnya, “Kamu lagi sedih, ya?” atau “Sepertinya kamu kecewa karena tidak sesuai keinginanmu.” Teknik sederhana ini membantu anak merasa dimengerti dan mengenali nama emosinya. Jika dibiasakan, anak tumbuh lebih mampu memahami perasaan sendiri, bukan hanya bereaksi secara spontan.

4. Beri Ruang untuk Menenangkan Diri dan Berbicara

Beberapa anak membutuhkan waktu sebelum mampu menjelaskan perasaannya. Ketika mereka terdiam atau terlihat enggan melanjutkan pembicaraan, jangan memaksa. Berikan ruang dengan mengatakan, “Kalau kamu mau cerita nanti, Ayah/Ibu di sini ya.” Sikap ini memberi sinyal bahwa komunikasi bisa dilanjutkan kapan saja tanpa tekanan, sehingga anak merasa aman untuk bercerita ketika sudah siap.

3 dari 3 halaman

5. Hindari Memberi Nasihat Saat Anak Masih Emosional

Ketika anak sedang marah, sedih, atau takut, mereka tidak siap menerima nasihat. Otak mereka sedang sibuk memproses emosi, sehingga penjelasan biasanya tidak akan masuk. (foto/dok: freepik)

Ketika anak sedang marah, sedih, atau takut, mereka tidak siap menerima nasihat. Otak mereka sedang sibuk memproses emosi, sehingga penjelasan biasanya tidak akan masuk. Fokuskan pada menemani mereka dan membantu menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah suasana lebih stabil, barulah Anda bisa memberi penjelasan atau arahan. Dengan begitu, anak merasa didampingi, bukan dihakimi.

6. Validasi Emosi Anak Tanpa Mengoreksi

Validasi berarti menerima apa pun yang anak rasakan tanpa menilai benar atau salah. Anda tidak harus menyetujui perilakunya, tetapi Anda bisa mengakui perasaannya. Ungkapan sederhana seperti “Wajar kok kamu merasa begitu” bisa membuat anak merasa aman secara emosional. Ketika emosi mereka diterima, anak akan lebih mampu mengontrol tindakan dan mencari solusi yang tepat.

7. Jadikan Komunikasi sebagai Rutinitas Harian

Hubungan yang kuat dibangun dari momen-momen kecil yang dilakukan setiap hari. Sediakan waktu khusus, misalnya 10 menit sebelum tidur, saat perjalanan pulang sekolah, atau saat makan bersama, untuk berbicara dari hati ke hati. Rutinitas sederhana ini membuat anak merasa bahwa suaranya penting dan selalu mendapat tempat. Konsistensi akan memperkuat rasa percaya dan kedekatan emosional mereka dengan orangtua.

Penulis: Siti Nur Arisha