5 Tips Merespons Anak yang Kritis dalam Bertanya

Endah WijayantiDiterbitkan 19 Desember 2025, 17:15 WIB

Fimela.com, Jakarta - Nada suara anak yang kritis sering terdengar lebih tajam daripada usia mereka. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir cepat, seolah tak ada jeda untuk bernapas. Di balik itu, ada pikiran kecil yang sedang bekerja keras memahami dunia, sekaligus menguji sejauh mana ia didengar.

Sebagai orangtua, Moms berada di titik persimpangan: antara menjaga batas dan memelihara rasa ingin tahu. Artikel ini tidak mengajak untuk “mengalah” atau “menang”, melainkan menghadirkan sudut pandang menarik bahwa setiap respons kita adalah pelajaran hidup yang sedang ditulis perlahan dalam diri anak.

2 dari 6 halaman

1. Mendengar sebagai Tindakan Aktif, Bukan Sekadar Diam yang Menunggu Giliran Bicara

1. Mendengar sebagai Tindakan Aktif, Bukan Sekadar Diam yang Menunggu Giliran Bicara./Copyright depositphotos.com/geargodz

Mendengar anak kritis bukan hanya soal telinga yang terbuka, tetapi kehadiran penuh yang terasa. Saat anak bertanya atau meminta sesuatu, jeda sejenak sebelum menjawab memberi sinyal kuat bahwa pendapatnya layak dipertimbangkan. Bukan karena semua permintaan akan dipenuhi, melainkan karena proses berpikirnya dihargai.

Moms bisa menanggapi dengan kalimat singkat yang mengafirmasi, tanpa langsung menyetujui atau menolak. Kalimat seperti itu membantu anak merasa aman secara emosional. Ia belajar bahwa berbicara dengan tenang akan mendapatkan perhatian, bukan diabaikan.

Pendekatan ini menumbuhkan kesadaran penting pada anak: komunikasi bukan lomba cepat-cepat mendapatkan jawaban, melainkan dialog. Dari sini, anak kritis belajar menunggu, mengelola dorongan, dan memahami bahwa proses sama berharganya dengan hasil.

3 dari 6 halaman

2. Jeda yang Bijak Mengubah Reaksi Spontan Menjadi Keputusan yang Mengajar

2. Jeda yang Bijak Mengubah Reaksi Spontan Menjadi Keputusan yang Mengajar./Copyright depositphotos.com/geargodz

Anak kritis sering memancing reaksi spontan orang tua. Namun, jeda singkat sebelum menjawab justru menjadi alat pengasuhan yang kuat. Jeda ini bukan kebingungan, melainkan ruang refleksi yang terlihat oleh anak.

Dalam jeda itu, orang tua sedang menimbang: apakah ini bisa disepakati, dinegosiasikan, atau perlu ditolak. Anak yang menyaksikan proses ini belajar bahwa keputusan tidak diambil secara impulsif. Ia menyerap pola berpikir yang kelak berguna dalam hidupnya sendiri.

Bagi Moms, jeda juga berfungsi menenangkan emosi pribadi. Dengan begitu, respons yang keluar bukan reaksi defensif, melainkan jawaban yang punya arah dan makna. Anak pun lebih siap menerima apa pun hasilnya.

4 dari 6 halaman

3. Cara Anak Bertanya adalah Materi Belajar yang Sama Pentingnya dengan Isi Pertanyaannya

3. Cara Anak Bertanya adalah Materi Belajar yang Sama Pentingnya dengan Isi Pertanyaannya./Copyright depositphotos.com/geargodz

Nada, pilihan kata, dan sikap anak saat meminta sesuatu adalah cermin keterampilan komunikasinya. Ketika anak bertanya dengan sopan, berikan penguatan verbal. Pujian sederhana memberi pesan jelas: cara bertanya yang baik selalu dihargai.

Sebaliknya, jika anak mendesak atau merengek, arahkan kembali tanpa menghakimi. Ajakan untuk memperbaiki cara bicara membantu anak memahami bahwa isi pesan dan cara menyampaikannya tidak bisa dipisahkan.

Pendekatan ini menggeser fokus dari “apa yang diminta” ke “bagaimana meminta”. Moms sedang menanamkan pelajaran jangka panjang tentang rasa hormat dan empati, bukan sekadar mengatur perilaku sesaat.

5 dari 6 halaman

4. Mengajak Anak untuk Belajar Bersama-sama dan Mencari Jawaban yang Tepat

4. Mengajak Anak untuk Belajar Bersama-sama dan Mencari Jawaban yang Tepat./Copyright depositphotos.com/kiankhoon

Menolak permintaan anak tidak harus selalu menjadi akhir percakapan. Pada anak yang kritis, momen ini justru bisa diubah menjadi ruang belajar bersama. Alih-alih berdiri sebagai pihak yang “paling tahu”, orang tua dapat memosisikan diri sebagai rekan berpikir yang mengajak anak menimbang situasi secara realistis.

Dengan mengajak anak mencari alasan di balik keputusan, orang tua sedang membuka proses berpikir, bukan sekadar menyampaikan hasil akhir. Anak belajar bahwa jawaban tidak selalu hitam-putih, dan keputusan sering lahir dari pertimbangan waktu, kondisi, serta dampak ke depan.

Pendekatan ini membantu anak memahami bahwa belajar tidak selalu datang dari buku atau sekolah. Belajar juga terjadi dalam percakapan sehari-hari, saat orang tua dan anak sama-sama berpikir, berdiskusi, dan menemukan jawaban yang paling tepat untuk kondisi saat itu.

6 dari 6 halaman

5. Alternatif Kreatif Mengubah Kekecewaan Menjadi Kesempatan Kolaborasi

5. Alternatif Kreatif Mengubah Kekecewaan Menjadi Kesempatan Kolaborasi./Copyright depositphotos.com/odua

Tidak semua “tidak” harus berakhir buntu. Ketika memungkinkan, tawarkan alternatif yang tetap menghormati kebutuhan anak. Bukan sebagai pengalihan murahan, melainkan undangan untuk berpikir bersama.

Alternatif membantu anak memahami konsep kompromi. Ia belajar bahwa keinginannya tidak selalu terpenuhi persis seperti yang dibayangkan, tetapi esensinya masih bisa dirayakan dengan cara lain.

Bagi Moms, momen ini adalah latihan kolaborasi. Anak merasa dilibatkan, bukan dikendalikan. Hubungan pun bergerak dari pola perintah menuju kerja sama yang saling menghargai.

Merespons anak yang kritis bukan tentang menemukan jawaban paling cepat, melainkan membangun kualitas dialog dari hari ke hari. Setiap jeda, alasan, dan empati yang diberikan adalah investasi jangka panjang pada cara anak memandang dirinya dan orang lain.

Dalam jeda setelah percakapan, sering kali ada ketenangan baru: keyakinan bahwa anak sedang belajar menjadi manusia yang berpikir, merasa, dan menghormati batas dengan utuh, dan Moms adalah pendamping setianya dalam proses itu.