Sukses

Lifestyle

Perempuan, Mengejar atau Dikejar Cinta?

Next

“Aku mungkin masih berpikiran kolot. Tapi, menyatakan cinta lebih dulu masih kuanggap nggak wajar. Ini buatku berhubungan dengan harga diri. Sudah kodratnya laki-laki yang meminta, bukan sebaliknya. Tapi, kalau ada perempuan memilih menyatakan perasaannya lebih dulu nggak masalah. Masing-masing punya alasan dan pandangan.” (Galih, 21 tahun)

“Aku sendiri nggak akan pernah mau nyatain perasaanku ke calon pasangan. Udah resmi jadi pasangan aja aku masih gengsi bilang sayang. Aku lebih nyaman menunjukkannya lewat tindakan.” (Kornet, 27 tahun)

“Memang rasanya aneh, tapi aku akhirnya lebih dulu bilang sayang ke pacarku sekarang. Pertama, aku merasa sudah dekat sekali dengannya. Kedua, keburu pindah kerja ke luar kota, jadi butuh kepastian. Nggak enak kan, ya, kalau digantung.” (Yussie, 23 tahun)

Masing-masing perempuan memang punya alasan dan pandangan. Sah saja bila kamu menyatakan perasaanmu terlebih dulu. Ada juga, kan, tipe laki-laki yang terlalu takut mengungkapkan isi hatinya. Mereka bisa jadi menunggu respons positif, memastikan perasaanmu dulu, sementara kebanyakan perempuan ingin sebuah kepastian.

Menurut Fuad Nashori, Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, ada dua tipe perempuan, terbuka (ekstrovert) dan tertutup (introvert). Perempuan ekstrovert cenderung bisa mengungkapkan perasaannya, terutama lewat tindakan. Tapi, tak jarang juga yang menyatakan dengan gamblang. Berkebalikan dengan perempuan introvert yang cenderung menyimpan sendiri apa yang ia rasakan pada seseorang. Jadi, pilihan menyatakan perasaan atau tidak juga bisa dikaitkan dengan sifat dasar perempuan.

Next

Nah, bagaimana dengan perempuan yang berjuang mati-matian mendapatkan laki-laki? Semasa kuliah, teman saya mencintai laki-laki yang pada waktu itu sudah punya pacar. Karena laki-laki dan pacarnya saat itu termasuk populer di kampus, dia menahan perasaan karena merasa nggak mungkin bisa mendapatkan laki-laki itu.

Tapi usahanya nggak berhenti. Dia masih terus mencari informasi, sampai suatu saat dia mendapat kabar laki-laki itu putus dari kekasihnya. Dia pun bergerak cepat. Awalnya dengan kedok menghibur, lalu dalam 18 hari kedekatan mereka, teman saya memberanikan diri menyatakan perasaannya. Gayung bersambut, laki-laki itu menerima. Celakanya, dia cuma menjadikan teman saya sebagai pelarian sambil terus berusaha kembali ke mantan pacarnya. Kalau kamu kira teman saya akan sakit hati dan memilih pergi, kamu salah. Teman saya masih dengan setia mendampingi laki-laki itu, walaupun dia tahu semua usaha yang dilakukan laki-laki itu untuk bisa mendekati mantannya lagi. Dia korbankan semua. Semuanya. Termasuk mau nggak diakui sebagai pacar di kampus karena takut hubungan itu diketahui mantannya.

Akhirnya, ketika laki-laki itu nggak mendapat respons positif dari sang mantan, apa yang dilakukannya? Kembali ke teman saya! Sebagian dari kita pasti akan menolaknya mentah-mentah. Dia menyia-nyiakan teman saya lalu kembali lagi ketika butuh tempat bersandar dan karena memang nggak punya kesempatan kembali ke mantannya lagi. Tapi nggak dengan teman saya yang mau menerima laki-laki itu. Dengan segala perjuangannya bersabar hingga meminta dukungan keluarga besar si laki-laki, teman saya berhasil mempertahankan laki-laki yang dia cintai, tapi entah dengan perasaan laki-laki itu pada teman saya.

Bagaimana menurut Fimelova? Cinta memang identik dengan pengorbanan, tapi bukankah logika juga ikut andil untuk menentukan sejauh mana pengorbanan pantas dilakukan? Perlukah sejauh itu berkorban untuk dapatkan cinta seseorang yang belum tentu sepenuh hati mencintai kita? Atau, memang itu cara agar orang yang kita cintai juga mencintai kita? Share, yuk.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading