Sukses

Lifestyle

TRUE STORY: Kekuatan Cinta Menyembuhkan Kanker Payudara

Next

Jimmy

Cobaan pernikahan di usia senja

Saya menikah dengan Sulistianingsih selama 28 tahun. Selama masa itu, pernikahan kami terasa indah dan berjalan baik-baik saja. Kedua putera kami bisa disekolahkan hingga Perguruan Tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Usaha konveksi saya berjalan dengan lancar hingga bisa membuat kami menikmati hidup yang terhitung berkecukupan. Namun, kehidupan indah itu berubah kelam sejak tiga tahun lalu atau sekitar tahun 2009. Dimulai dari istri saya yang sering mengeluh sakit  maag, namun sangat parah hingga membuatnya tak bisa bangkit dari tempat tidur dan muntah-muntah. Penyakit inilah yang kemudian membuat kami harus rutin masuk dan keluar rumah sakit, karena setiap serangan maag itu datang, Sulistianingsih harus ditangani dokter secara intensif dengan rawat inap. Minimal dua kali dalam sebulan dia harus dirawat inap di rumah

Penyakit maag akut ini saja sudah terasa berat untuk kami, tapi ternyata Tuhan masih menempa kami dengan cobaan lain. Di tahun 2010, Sulistianingsih terkena stroke ringan. Saya menemukannya tersungkur di lantai kamar tempat dia masih dirawat di sebuah rumah sakit saat saya meninggalkannya sebentar. Hasil dari stroke ringan itu cukup mempengaruhi hidup istri saya. Dia sempat sulit berjalan dan sampai sekarang lafal ucapannya sedikit cadel.

Masalah belum selesai juga ternyata. Di tahun 2010, Sulistyaningsih menemukan benjolan di payudara kanannya. Tanpa pikir panjang, saya langsung membawanya periksa diri ke dokter. Dari keterangan dokter pertama dikatakan itu hanya  tumor jinak. Kami mencari opini kedua dengan berpindah ke dokter lain. Setelah dibiopsi, ternyata itu adalah kanker payudara stadium dini. Ya Tuhan, kejutan apalagi yang Engkau siapkan untuk kami? Rasanya, sudah hampir habis nafas ini terkejut berkali-kali mendapati kenyataan pahit.

Efek domino dari menurunnya kesehatan istri saya adalah keadaan ekonomi kami. Biaya rawat inap rumah sakit, obat-obatan rutin, belum lagi dengan biaya operasi, membuat saya sebagai kepala keluarga harus gali dan tutup lubang. Tabungan dan harta benda kami sudah ludes terpakai untuk biaya pengobatan. Dua mobil dan satu unit sepeda motor sudah saya relakan dijual agar bisa menebus biaya puluhan juta rawat inap. Harta terakhir yang nyaris saya jual untuk menutupi utang adalah rumah. Tak hanya itu, Sulistianingsih juga diketahui menderita gangguan mental karena terlalu stress didera penyakit berat.

Next

true story

Saya tak akan melepaskannya begitu saja

Mendampingi orang yang saya cintai sakit sungguh berat. Sempat saya nggak menerima keadaaan pahit yang datangnya bertubi-tubi ini. Kenyataan hidup rasanya seperti memusuhi kami. Kesehatan saya pun ikut menurun, karena dari pagi hingga siang saya menjaganya di rumah sakit, lalu malam hari saya bekerja. Pertanyaan seperti “kenapa harus dia yang menerima semua cobaan ini?” atau “kenapa harus kami yang sudah tua ini yang harus menjalaninya” sempat kami utarakan. Namun, perlahan saya “berdamai” dengan keadaan. Saya berhenti mempertanyakan situasi dan menjadi orang pasrah dan ikhlas. Bila penyakit ini adalah ujian agar kami lebih dekat dengan Tuhan, kami jalani dengan hati lapang.

Namun, keikhlasan itu tak berlaku untuk hal lain. Saya nggak akan menyerah begitu saja dengan istri saya. Saya nggak akan melepaskannya begitu saja. Sempat terucap pernyataan “kekalahan” dari mulut Sulistianingsih yang mengatakan kalau saya menikah saja dengan kakaknya ketika dia meninggal nanti. Mendengar dia mengatakan itu, tekad saya untuk mengantarkannya ke gerbang kesembuhan justru semakin besar. Saya nggak bisa membayangkan hidup saya tanpanya, itu sebabnya I will not give up on her.

Perawakan saya sebagai orang asal Timor Timur yang keras dan tegas, sebenarnya sempat melemah juga melihat fisik dan mental istri saya habis dirundung penyakit berat. Sebelum sakit, berat badan Sulistianingsih mencapai 80 kilogram, namun ketika digerogoti penyakit ia pernah hingga 40 kilogram! Saya lelah, lemas, dan menangis, namun harus saya sembunyikan agar dia nggak melihat saya down seperti itu. Di depan matanya, saya tetap seorang suami yang kuat dan gagah berani melewati tantangan apapun yang datang. Satu kali pun saya juga tak pernah menyinggung tentang tabungan saya yang habis atau berutang demi menutupi biaya pengobatan. Sungguh berat harus “bermuka dua” seperti itu, namun saya nggak boleh menambah beban pikiran istri saya dengan kesedihan dan masalah lain. Saya konsisten menjadi suporter nomor satu untuknya. Saya selalu berada di sampingnya kapan pun saya bisa. Saya pijat kakinya setiap malam dan rutin meminumkan susu agar badannya yang kurus kering kembali bugar seperti sedia kala. Saking tergantungnya Sulistianingsih pada saya, saat ia sakit dulu, saya jauh dari dia sedikit saja, dia pasti sudah gelisah mencari saya.

Puji Tuhan, badai pasti memang berlalu. Kami menemukan dokter-dokter yang baik dan pintar untuk menyembuhkan istri saya. Kanker payudara bersih total, begitu pula dengan maag akut yang jadi perhatian utama pertama kami. Sulistianingsih juga masih rutin konsultasi dengan psikiater yang kami percayai untuk menjaga agar pikirannya tenang dan tidak stress lagi, karena faktor inilah yang sebenarnya memicu penyakit. Membaiknya kesehatan istri saya, juga membuat saya mampu memperbaiki sedikit demi sedikit kondisi finansial kami. Bisnis konveksi saya membaik, sehingga saya sudah bisa membeli mobil lagi dan memberikan tabungan untuk istri saya. Saya menganggap bahwa harta yang ludes terpakai itu adalah miliknya juga, maka inilah saatnya mengganti semua itu.

Di balik badai tersebut, juga tersimpan hikmah. Baik saya maupun Sulistianingsih lebih saling mencintai satu sama lain. Kami sudah berhasil melewati masa senang susah dan sehat sakit bersama-sama. Seperti sumpah pernikahan kami dulu. Kami membuktikan bahwa pernikahan ini memang hanya bisa dipisahkan oleh maut.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading