Sukses

Lifestyle

Bercerita adalah Caraku untuk Kembali Pulih dari Situasi Tak Nyaman

Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.

***

Oleh: Ika Lewono

"Kak Ika! Ayo dimulai ceritanya! Sudah jamnya nih!!”

"Wah iya! Kak Ika mau salam dulu ya!"

"Nah, selamat malam semuanya! Sudah pada makan belum nih?"

"Saya sudah Kak!"

"Saya belum Kak! Nanti saja setelah selesai dengar cerita Kak Ika!"

"Maaf Kak, saya lagi makan, videonya di off dulu ya Kak."

"Oke, tidak apa-apa. Kita mulai ceritanya sekarang ya.”

“Hari ini Kak Ika mau cerita tentang Sang Pangeran dan Inyiak Balang! Nah! Inyiak Balang itu apa ya? Kita dengarkan sama-sama ya!”

“Alkisah, ada seorang pangeran dari Kerajaan Minangkabau…..”

Dan mulailah saya bercerita tentang salah satu dongeng rakyat di hadapan sekelompok anak-anak secara daring. Rata-rata usia mereka tidak lebih dari 10 tahun.

Hari itu, cerita yang saya bawakan adalah  legenda Sang Pangeran dan Inyiak Balang. Salah satu kisah legenda klasik dari tanah Minang, Sumatera Barat. Sebuah kisah yang sudah diceritakan turun-temurun sejak zaman kerajaan dulu.

Mungkin saja sudah ada banyak penambahan ataupun pengurangan cerita dari kisah yang sebenarnya. Namun tetap saja, sebuah kisah yang menjadi legenda rakyat, akan selalu menarik untuk diceritakan ulang.

 

 

 

Sebelumnya Belum Pernah Mendongeng

Saya belum pernah mendongeng apa pun sebelumnya. Bahkan pada kenyataannya, saya belum pernah berbicara di hadapan umum untuk hal apa pun. Baik secara langsung, apalagi secara daring seperti yang lazim dilakukan sekarang ini.

Tapi, sudah selama empat bulan terakhir, saya ikut kegiatan mendongeng untuk sekelompok anak-anak. Suatu kegiatan yang awalnya diinisasi oleh beberapa orang untuk menghibur anak-anak selama masa PPKM. Terhitung tiga kali dalam sepekan, saya, bersama beberapa teman mendongeng yang lain, bergantian membawakan cerita-cerita dongeng secara virtual.

Entah dari mana keberanian saya saat menawarkan diri untuk ikut mendongeng waktu itu, empat bulan lalu. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya bisa membawakan sebuah cerita secara langsung di hadapan umum, apalagi di hadapan sekelompok anak kecil.

Tapi ternyata, saya bisa melakukannya! Dan bahkan, ada kesenangan tersendiri ketika saya membawakan cerita di hadapan anak-anak ini. Saya bisa tersenyum, bahkan tertawa lepas bersama keceriaan tingkah dan celoteh mereka. Tidak ada kesan menghakimi di setiap pertanyaan dan tanggapan yang mereka lontarkan. Hanya ketulusan murni yang saya rasakan.

Ada rasa hangat yang nyaman saat saya berada di sana. Di ruang dongeng. Ruang tempat saya berperan menjadi diri saya sendiri.

***

Dulu, saat saya masih duduk di bangku kelas Sekolah Dasar, saya termasuk murid yang tidak menyukai pelajaran sejarah. Untuk saya, kata-kata yang tertulis di buku-buku sejarah terasa begitu hambar. Kalimat-kalimatnya terlalu baku dan tidak menarik. Paragraf-paragraf panjangnya menjadi begitu membosankan untuk saya ikuti.

Saya nyaris tidak bisa mendapatkan angka tujuh untuk setiap mata pelajaran sejarah di tingkat manapun. Namun anehnya, saya begitu terpesona ketika mendengarkan atau membaca sebuah kisah yang dibalut dengan latar belakang sejarah. Kisah cerita yang dikemas dalam bentuk film, sandiwara, dongeng, ataupun dalam bentuk sebuah novel.

Saya teringat ketika saya sering mendengarkan kisah Tutur Tinular, sebuah serial sandiwara radio legendaris yang disiarkan pada era tahun 90-an. Dari cerita sandiwara radio itu, saya menjadi lebih mengerti sejarah yang menjadi latar belakang kisah tersebut. Sejarah tentang runtuhnya Kerajaan Singasari dan saat berjayanya Kerajaan Majapahit.

Begitu juga dengan film. Saya menyerap banyak pengetahuan tentang mitologi Yunani kuno dengan mengikuti serial Hercules yang terkenal saat itu. Saya menyukai masing-masing kisah yang melekat pada setiap nama dewa-dewinya. Walaupun seringkali diceritakan dalam bentuk dongeng atau fiksi, tapi di balik ceritanya, ada sejarah panjang ratusan tahun tentang berawalnya sebuah peradaban manusia di jaman itu.  

Tapi, yang paling menjadi favorit saya adalah, membaca kisah cerita dalam bentuk sebuah buku. Baik itu berupa komik bergambar, ataupun novel tebal dengan ratusan halaman tanpa sketsa. Saya jatuh cinta pada keduanya.

Dunia Buku

Saat sedang membaca sebuah buku cerita, sebuah dongeng, saya selalu terhanyut di dalamnya. Merasa hilang terbawa waktu, terpesona oleh setiap kalimat, setiap kata dan pada setiap rasa yang diceritakan di sana. Saya membawa serta beribu mimpi saya untuk setiap kisah yang saya baca pada sebuah buku. Saya memimpikan cerita dongeng saya menjadi sebuah kisah nyata.

Sewaktu kecil, salah satu dongeng klasik tanah Jawa, Keong Emas, pernah membuat saya bermimpi menjadi seorang putri seperti Chandrakirana, dan bertemu dengan sang pangeran, Raden Panji Inu Kertapati. Ketika remaja, saya membaca serial Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock yang terkenal itu. Saya berandai bisa secerdas dan secerdik Jupiter, detektif cilik yang menjadi tokoh penting di dalam ceritanya

Lalu, pada saat saya merasa tersisihkan, ketika kecewa dan sedih datang menghampiri, saya memilih sebuah novel dengan kisah sedih untuk membantu saya meluapkan semua rasa yang hadir. Saya menangis bersama ceritanya. Saya biarkan air mata saya mengalir bersama setiap kata dan setiap kalimat yang tertulis di sana. Saya bersembunyi dibalik kisahnya.

***

Seiring waktu, kisah yang saya baca menjadi semakin beragam. Dan belakangan, dalam dua tahun terakhir, ketika saya diperkenalkan dengan rasa putus asa yang hebat, saya juga melarikan diri ke dalam sebuah buku. Saya mencari pertolongan di sana. Di dalam kisah yang diceritakan oleh sebuah buku.

When Things Fall Apart karya Pema Chodron adalah salah satu yang menjadi penolong saya ketika saya merasa sangat tersesat dan ingin menghilang. Begitu juga karya unik Herwiratno, Mati Tak Berarti Pergi, membuat saya meyakinkan diri bahwa saya termasuk salah satu jiwa yang beruntung. Saya menjadi tahu bahwa selama ini saya telah diberikan karunia yang spesial. Keduanya membuat saya belajar untuk lebih mengenal lagi diri saya sendiri.

Buku selalu menemani saya mengolah semua rasa. Bersama dengan sebuah cerita, saya belajar banyak hal yang kemudian membawa saya untuk bisa menemukan dan mengenal lebih dalam tentang diri saya sendiri.

Hingga sekarang, saya masih menyukai cerita-cerita fiksi yang membawa latar belakang sejarah di dalamnya. Entah itu berupa jejak nyata sebuah peristiwa yang terjadi di masa lampau, ataupun hanya sebuah kisah legenda. Keduanya memberikan kesan tersendiri yang mampu mematri ingatan saya akan makna sebuah cerita.

***

“…..mulai saat itu, atas titah Sang Baginda Raja, semua rakyatnya akan menyebut harimau  dengan panggilan Inyiak, yang artinya dituakan dan dihormati…..”

“Nah, begitulah ceritanya, kisah tentang Sang Pangeran dan Inyiak balang”

“Seru Kak ceritanya!”

“Ada lanjutannya lagi ceritanya Kak ?”

“Kak Ika! Saya telat tadi masuk zoom-nya. Nggak dengar cerita depannya. Bisa diulang lagi Kak? Dari awal?”

“Wah."

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading