Sukses

Lifestyle

Ketika Kamera Jadi Menakutkan, Fobia Unik dan Relevan di Kalangan Gen Z

Fimela.com, Jakarta Fobia termasuk dalam gangguan kecemasan dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari jika tidak ditangani. Fobia yang paling umum adalah takut ketinggian (acrophobia), takut ruang sempit (claustrophobia), atau takut hewan tertentu seperti ular (ophidiophobia).

Namun, kini bagi Generasi Z atau gen Z memiliki jenis fobia baru.  Psikologis gen z dibentuk oleh teknologi, media sosial, tekanan sosial, dan kesadaran kesehatan mental yang tinggi. Hal ini memunculkan bukan hanya fobia klasik, melainkan jenis fobia baru.

Melansir berbagai sumber, berikut ini fobia-fobia yang paling relevan di kalangan Gen Z, baik yang resmi maupun fenomena baru yang muncul secara sosial. 

Nomofobia

Nomofobia adalah suatu sindrom ketakutan jika tidak mempunyai telepon genggam. Istilah ini pertama kali muncul dalam suatu penelitian tahun 2010 di Britania Raya oleh YouGov yang meneliti tentang kegelisahan yang dialami di antara 2.163 pengguna telepon genggam.

Bukan sekadar tidak nyaman tanpa HP, tapi bisa memicu gejala cemas yang nyata, seperti gelisah, panik, atau bahkan serangan kecemasan. Gejala fobia ini diantaranya cemas saat baterai hampir habis atau sinyal hilang, selalu membawa charger atau power bank, terobsesi mengecek notifikasi. Takut tertinggal informasi atau komunikasi (FOMO – Fear of Missing Out). Sulit tidur karena terus-menerus memeriksa ponsel

Penyebab utamanya, ketergantungan sosial dan emosional terhadap media sosial. Kebutuhan konstan untuk merasa “terhubung”. Kecanduan terhadap validasi digital (like, komentar, DM)

Cara mengatasinya dengan terapkan  digital detox secara bertahap, waktu layar (screen time). Matikan notifikasi yang tidak penting, gantikan waktu main HP dengan aktivitas fisik atau hobi offline. Konsultasikan ke psikolog bila sudah mengganggu aktivitas harian. 

Telephobia

Telephobia merupakan ketakutan atau kecemasan berlebihan saat harus menggunakan atau menerima telepon. Ini bukan hanya rasa malas atau tidak nyaman, tapi bentuk fobia sosial yang bisa menimbulkan reaksi cemas nyata, bahkan hanya dengan dering telepon atau pikiran harus menelepon seseorang.

Ciri-cirinya, cemas berlebihan saat harus menelepon orang, bahkan teman sendiri. Menghindari panggilan masuk dan lebih memilih teks., jantung berdebar, berkeringat, atau gemetar saat harus mengangkat telepon, merasa takut membuat kesalahan atau tidak tahu harus bicara apa, dan menunda atau tidak menjawab panggilan penting (bahkan soal pekerjaan).

Penyebab utama fobia ini ialah  kecemasan akan dinilai orang lain, pengalaman negatif dengan panggilan sebelumnya, tekanan untuk “berbicara sempurna” atau rasa takut terhadap konfrontasi. Dan  terbiasa dengan komunikasi teks yang memberi waktu untuk berpikir

Cara mengatasinya dengan latihan menjawab panggilan secara bertahap (mulai dari orang terdekat), siapkan poin pembicaraan sebelum menelepon. Latihan pernapasan sebelum atau selama telepon dan sudah mengganggu aktivitas harian, sebaiknya konsultasi ke psikolog.

Telephobia bukan istilah resmi dalam DSM-5 (manual diagnosis gangguan mental), tapi diakui dalam ranah psikologi klinis sebagai bagian dari spektrum gangguan kecemasan sosial.

Scopophobia

Scopophobia merupakan ketakutan berlebihan dan irasional terhadap tatapan atau merasa sedang diperhatikan oleh orang lain. Fobia ini termasuk dalam kategori gangguan kecemasan sosial, dan bisa sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, terutama dalam situasi publik.

Merasa sangat tidak nyaman saat diperhatikan atau menjadi pusat perhatian, merasa saat harus tampil di depan umum, difoto, atau direkam, berkeringat, jantung berdebar, wajah memerah (blushing), atau gemetar saat merasa dilihat. Menghindari situasi sosial seperti presentasi, rapat, pesta, atau bahkan video call, dan perasaan malu berlebihan terhadap penampilan atau perilaku sendiri.

Penyebabnya pengalaman traumatis (misalnya pernah dipermalukan di depan umum), perfeksionisme ekstrem atau takut dinilai negatif, Bagian dari social anxiety disorder (gangguan kecemasan sosial) dan tekana. budaya media sosial yang mengutamakan citra diri “sempurna”.

Bisa diatasi dengan terapi perilaku kognitif (CBT) untuk mengubah pola pikir negatif, latihan eksposur bertahap terhadap situasi yang ditakuti, dan teknik relaksasi seperti pernapasan dalam dan meditasi, Konsultasi dengan profesional kesehatan mental.

Scopophobia banyak dialami oleh remaja dan Gen Z, terutama yang tumbuh di era digital di mana tatapan bisa datang bukan hanya langsung, tapi juga lewat sorotan kamera dan media sosial.

 

Filter Dysmorphic Disorder

Filter Dysmorphic Disorder sendiri bukan fobia dalam arti klasik, tapi kondisi ini sangat berkaitan dengan gangguan citra tubuh (body image disorder) akibat kecanduan terhadap penampilan hasil filter digital.

Namun, jika kita membahasnya dalam konteks fobia, maka yang paling relevan adalah:

Selfiephobia / Camera Phobia

Ketakutan ekstrim terhadap melihat wajah sendiri di kamera atau di foto/video tanpa filter. Gejalanya bisa termasuk, cemas melihat wajah sendiri di kamera depan tanpa filter, menolak difoto dalam kondisi alami. Menghindari cermin, selfie, atau tampil di video call dan merasa “buruk rupa” tanpa editan digital.

Eisoptrophobia

Ketakutan berlebihan melihat diri di cermin.

Sering dialami oleh orang dengan body dysmorphic disorder (BDD) atau yang terdampak filter dysmorphia, karena mereka merasa penampilan asli mereka “salah” atau “tidak layak”.

Snapchat Dysmorphia (istilah populer)

Bukan fobia resmi, tapi menggambarkan, kecemasan berat terhadap wajah sendiri karena terlalu sering melihat versi wajah yang sudah difilter. Ketergantungan pada filter untuk merasa percaya diri dan tampilan nyata tidak bisa diterima secara sosial. 

 

Atelophobia

Di era media sosial, standar kesempurnaan terus menerus terpampang di layar—kulit tanpa cela, tubuh ideal, gaya hidup mewah, dan wajah yang selalu tampak “Instagrammable”. Di tengah arus visual yang tak henti itu, banyak anak muda—terutama Gen Z—mengalami tekanan untuk menjadi sempurna, bukan hanya secara fisik tapi juga secara sosial dan emosional.

Inilah yang disebut atelophobia, yaitu rasa takut berlebihan terhadap ketidaksempurnaan. Orang yang mengalami atelophobia cenderung: selalu merasa kurang, tidak cukup baik, atau gagal, mengkritik diri sendiri secara ekstrem, bahkan dalam hal kecil, takut membuat kesalahan atau tampil tidak maksimal, terpaku pada pencitraan, validasi sosial, dan ekspektasi yang tak realistis,

Atelophobia bukan sekadar “perfeksionis biasa”. Dalam tingkat yang lebih ekstrim, fobia ini bisa menyebabkan, Kecemasan sosial, overthinking kronis, prokrastinasi karena takut gagal. Bahkan depresi dan gangguan citra tubuh

Cara mengatasinya dengan sadari  bahwa kesempurnaan itu ilusi. Tak ada satupun manusia yang “sempurna” sepanjang waktu. Melatih self-compassion. Perlakukan dirimu seperti sahabat, bukan musuh.

Kurangi konsumsi media sosial yang memicu perbandingan. Berani tampil apa adanya. Mulai dari hal kecil, seperti unggah foto tanpa edit.

Banyak orang Menjalani Operasi Plastik Agar terlihat Cantik Seperti di Media Sosial

Melansir BBC, Crystal seorang ibu tunggal berusia 26 tahun dan asisten medis dari San Diego, California. Dia selalu suka berkirim swafoto kepada teman-temannya, dan sering kali berhenti sejenak sebelum mengirim swa fotonya sendiri.

“Saya tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana filter Snapchat mengubah wajah saya. Filter itu mempertegas dagu saya, membentuk tulang pipi saya, dan meluruskan hidung saya, yang selama ini membuat saya tidak percaya diri,” katanya,

Jadi, dalam upaya agar terlihat seperti filter, dia memutuskan untuk menyuntikkan filler ke hidung dan bawah matanya. "Orang-orang tidak menyadari bahwa saya telah melakukan sesuatu; mereka hanya berpikir saya telah kehilangan berat badan atau semacamnya," kata Crystal, yang mengatakan bahwa dia sekarang senang mengirim foto #nofilter.

Crystal adalah salah satu dari semakin banyak anak muda yang beralih ke prosedur kosmetik agar terlihat lebih seperti swafoto mereka. Menurut penelitian baru dari American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgeons, 55% dokter bedah plastik wajah pada tahun 2017 menangani pasien yang menginginkan operasi untuk membantu mereka terlihat lebih baik dalam swafoto, dibandingkan dengan hanya 13% pada tahun 2013. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa 56% dokter bedah yang disurvei melihat peningkatan jumlah klien di bawah usia 30 tahun.

Orang-orang telah lama mendatangi dokter bedah kosmetik dengan membawa foto-foto selebritas yang ingin mereka tiru. Sekarang, mereka membawa foto diri mereka sendiri. Menurut dokter bedah yang berkantor di San Francisco, Dr. David Mabrie, ini merupakan sebuah peningkatan.

Lalu adapula cerita  Kacie salah satu wanita yang memilih prosedur kosmetik agar terlihat lebih mirip dengan swafotonya yang difilter. Kekhawatiran terbesarnya adalah bagaimana perasaan pacarnya saat melihatnya secara langsung setelah menerima swafotonya sepanjang hari (dia mengirim sekitar 50 Snap sehari secara total, dan memperbarui cerita Instagram-nya sekitar 10 hingga 15 kali sehari).

“Saya akan merasa frustasi saat melihat ke cermin, merasa seperti saya tidak terlihat seperti orang yang saya hadirkan ke dunia. Dengan filter Snapchat, saya merasa cantik. Saya hanya butuh dorongan untuk mencapainya.”

Dia menemui dokter bedah plastik di kota asalnya, New York, dan akhirnya menjalani suntikan bibir dan filler dermal di dagu dan pipinya, dengan biaya sekitar £1.200. (Menurut NHS, biaya rata-rata filler di Inggris adalah £150 hingga £300 per sesi, belum termasuk biaya konsultasi.) Kacie berencana untuk melakukan ini setiap tahun atau lebih, karena filler hanya bertahan selama 6 hingga 18 bulan.

“Saya merasa, ini wajah saya, ini uang saya, dan jika hasil keseluruhannya adalah saya menjadi lebih percaya diri dan lebih bahagia dengan diri saya sendiri, lalu apa salahnya?” katanya.

Bukan hanya wanita,  Andrew dari Newcastle, menjalani konsultasi estetika setelah putus cinta. Saat ia mencoba kembali ke dunia kencan, ia dihantui perasaan bahwa ia diabaikan di aplikasi kencan.

"Saya selalu menginginkan rahang dan pipi yang tampak lebih tirus. Bagi saya, hal itu dipicu oleh melihat begitu banyak pria lain di aplikasi, yang membuat saya berpikir, 'Baiklah, bagaimana saya bisa lebih mirip mereka?' Saya rasa terus-menerus mengambil swafoto dan bermain-main dengan filter membuat saya lebih sadar bahwa saya tidak memenuhi syarat."

Pada akhirnya, Andrew tidak menjalani prosedur tersebut, tetapi ia mengatakan bahwa ia masih akan mempertimbangkannya di masa mendatang.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading