Sukses

Lifestyle

Bukan Lingkunganmu yang Toxic, Bisa Jadi Masalah Itu Ada Padamu

Fimela.com, Jakarta - Pernah merasa kamu selalu berada di lingkungan yang toxic? Mulai dari pertemanan, tempat kerja, hingga lingkup keluarga, rasanya hampir semua orang di sekitarmu bermasalah. Jika perasaan ini sering muncul, ada baiknya kamu tidak langsung berasumsi. Bisa jadi, tanpa disadari, masalahnya bukan sepenuhnya ada pada lingkungan—melainkan pada cara kamu memandang dan merespons situasi tersebut.

Faktanya, lingkungan toxic memang nyata dan cukup umum terjadi. Survei menunjukkan bahwa sekitar 84% perempuan dan 75% pria pernah berada dalam persahabatan beracun. Lingkungan toxic—baik di pertemanan, pekerjaan, maupun keluarga—terbukti berdampak pada kesehatan mental, seperti meningkatnya stres, kecemasan, hingga depresi. Bahkan secara fisik, kondisi ini bisa memicu kelelahan berkepanjangan dan menurunnya kualitas hidup.

Penelitian lain juga menemukan bahwa sekitar 30% mahasiswa pernah terlibat dalam hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship, dengan prevalensi lebih tinggi pada perempuan muda. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pengalaman berada di lingkungan toxic bukanlah hal langka. Namun, pertanyaannya: mengapa ada orang yang terus-menerus merasa terjebak dalam situasi serupa, di berbagai lingkungan yang berbeda?

Di sinilah konsep victim mentality atau mentalitas korban perlu dipahami.

Apa Itu Victim Mentality?

Victim mentality adalah pola pikir di mana seseorang selalu memosisikan dirinya sebagai korban dari keadaan atau orang lain. Individu dengan pola pikir ini cenderung merasa hidupnya tidak adil, enggan mengambil tanggung jawab pribadi, dan lebih sering menyalahkan pihak luar atas masalah yang dihadapi. Perasaan tidak berdaya, frustrasi, hingga kebutuhan untuk terus mencari simpati sering kali menyertai kondisi ini.

Tanpa disadari, victim mentality bisa membuat seseorang terjebak dalam lingkaran masalah yang sama, meskipun lingkungan sudah berganti.

Ciri-Ciri Victim Mentality yang Perlu Kamu Sadari

Salah satu ciri paling umum dari victim mentality adalah menghindari tanggung jawab. Kamu mungkin merasa semua masalah selalu disebabkan oleh orang lain atau keadaan, tanpa pernah merefleksikan peran diri sendiri. Setiap konflik dianggap sebagai bukti bahwa lingkunganmu memang toxic, bukan sebagai ruang evaluasi.

Ciri lainnya adalah enggan mencari solusi. Saat dihadapkan pada masalah, kamu merasa tidak ada jalan keluar. Bahkan ketika orang lain menawarkan solusi atau sudut pandang baru, kamu cenderung menolaknya karena merasa situasi sudah terlanjur buruk dan mustahil diperbaiki.

Dalam jangka panjang, pola pikir ini bisa menguras energi emosional dan membuatmu semakin merasa terasing.

Saatnya Berkaca bukan Sekadar Menyalahkan

Mengenali perbedaan antara lingkungan yang benar-benar toxic dan pola victim mentality bukan berarti menyalahkan diri sendiri. Ini tentang keberanian untuk berkaca dan bertanya, “Apa yang bisa aku ubah dari diriku agar situasinya membaik?”

Lingkungan yang sehat memang penting, tapi cara kamu merespons, menetapkan batasan, dan mengambil tanggung jawab atas hidupmu jauh lebih menentukan. Dengan refleksi yang jujur, kamu bisa membebaskan diri dari pola lama dan mulai membangun hubungan yang lebih sehat—baik dengan orang lain, maupun dengan diri sendiri.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading