Fimela.com, Jakarta Apa arti cinta pertama untukmu? Apa pengalaman cinta pertama yang tak terlupakan dalam hidupmu? Masing-masing dari kita punya sudut pandang dan cerita tersendiri terkait cinta pertama, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My First Love: Berbagi Kisah Manis tentang Cinta Pertama berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Bunga Merah
Perkenankan aku bunga bewarna merah, lahir dari ibu bunga yang rekah. Masa kecil dan remajaku lebih cepat pudar dan tua. Aku tumbuh di dalam keluarga yang patah. Tumbuh dari luka yang sudah biasa aku dapatkan di rumah, membuatku sangat susah untuk menjalani hubungan dengan seorang pria.
Beberapa kali sudah kucoba untuk menjalin hubungan dengan pria, namun yang ada luka yang belum kering selalu ditimpa-timpa olehnya. Sampai saat aku mulai beranjak dewasa, aku mendapatkan tawaran pekerjaan di kota lain.
Aku si bungsu yang terbiasa dimanja dan dihujani kasih sayang oleh ibu dan keluarga besarku, kenyataannya saat itu harus dengan berani harus hidup sendiri di kota lain. Banyak doa yang dibisikkan saat berpamitan pada saat itu, salah satunya agar aku bisa menemukan jodoh di sana nantinya
Advertisement
Seseorang yang Begitu Dekat
Benar saja, saat bertepatan dengan hari lahirku, tiba-tiba ada seseorang yang menghubungiku, seseorang yang sebenarnya sudah lama mendapatkan nomorku, namun dia baru menghubungiku saat malam itu. Saat itu jujur di dalam hati aku sempat bergumam apakah dia jawaban dari doa-doaku dan doa-doa dari orang-orang terdekatku.
Sejak saat itu kami mulai berkomunikasi dengan baik, meski tidak secara intens karena aku mengerti bahwa dia orang yang memang sibuk dengan pekerjaan dan yang aku tahu dia sedang meniti usaha bersama keluarganya.
Setelah berjalan beberapa bulan, untuk pertama kalinya dia menemuiku di tempat kosku. Cukup lama kami ngobrol saat itu di gazebo, kami saling menceritakan diri kita masing-masing, tentang keluarga, masa lalu sampai keinginan ke depannya.
Meski saat itu adalah pertama kali kita bertemu dan ngobrol, tapi aku merasa nyaman dan bisa terbuka dengan dia. Keesokannya kita jalan-jalan ke salah satu tempat wisata. Untuk kedua kalinya pun tetap sama, sepanjang waktu kita ngobrol, bertukar pandangan tentang kehidupan, dari sini aku melihat kedewasaannya, dia seperti apa yang aku cari. Aku pun memberanikan diri menceritakan tentang dia ke keluargaku, respons mereka saat itu benar-benar bahagia, karena memang sebelumnya aku tidak pernah menceritakan laki-laki kepada keluargaku.
Dekat dengan Keluarga
Pertemuan ketiga, dibawanya aku ke rumahnya. Sesampai dirumahnya disambut hangat sekali oleh keluarganya. Di ruang tamu aku, dia dan keluarganya menyatu dalam obrolan. Aku terharu, bahagia, entah aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang aku rasa, karena baru kali ini aku tahu rasanya ada, menyatu di dalam keluarga yang hangat.
Saat perjalanan pulang yang biasa ditempuh 30 menit menjadi 3 jam tempuh karena asik mengobrol dan keliling kota. Mungkin hal itu wajar untuk yang merasakan gejolak jatuh cinta. Atau apakah ini yang disebut dengan cinta pertama? Mungkin saja.
Perjalanan cinta kami sangat cepat, karena seminggu setelahnya aku mengajaknya ke rumahku. Saat aku memberitahu orang rumah tentang rencana pulangku bersama si laki-laki ini, keluargaku sangat antusias sekali.
Sampai-sampai bapakku dengan bahagianya dia pergi ke salon untuk merapikan rambut. Keluargaku sangat bahagia mendengarkan cerita-cerita setiap hariku bersamanya. Dan sampai pada akhirnya setelah pertemuan ke-7, dia memintaku untuk menjawab pertanyaannya apakah aku akan siap jika menikah dalam waktu dekat.
Prinsip diri yang sejak awal tidak ingin terburu dikalahkan oleh keegoisanku agar tidak kehilangan dia. Malam itu juga aku menghubungi keluargaku, meminta saran untuk cerita kehidupanku selanjutnya.
Akhirnya dengan ridho keluargaku aku menjawab kesiapanku. Namun, pada saat itu ada keraguan dalam diri.
Advertisement
Ketika Ditanya Soal Kesiapan Menikah
Sudah bukan rahasia jika anak yang tumbuh di keluarga patah mempunyai trust issue. Aku ragu atas tawaran dia menikahiku, aku ragu, apakah dia hanya berbasa-basi karena saat ini sedangkan menjalani hubungan denganku, dan dia tahu bahwa aku tidak akan siap untuk menikah dalam waktu dekat. Aku berpikir dia mungkin hanya mencari alasan untuk mengakhiri hubungan denganku
Dan benar saja, beberapa hari tanpa aba-aba dia memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan. Dari alasan fisik, terhalang restu karena bibit, bebet dan bobotku yang tidak sesuai dengan keluarganya.
Aku berusaha menyakinkan dia bahwa restu bisa kita luluhkan dengan doa. Masalah fisik bisa aku perbaiki pun masalah bibit dan bebet memang benar aku dari keluarga yang berantakan dan bukan dari keluarga yang berada. Tapi aku pastikan aku memiliki bobot yang bisa aku pertanggungjawabkan.
Meski aku dari keluarga yang berantakan dan orang yang tidak berada tapi sejauh ini aku telah berusaha menghidupi mencukupi keluargaku, aku berusaha independen dan bisa berdiri diatas kakiku sendiri. Tapi ternyata semua sia-sia, usaha untuk menyakinkan dia tidak berhasil, dia tetap pada keputusannya.
Aku tenggelam dalam buaian yang kata hatiku dulu adalah sang penyejuk, padahal dalam waktu tak terduga dan tanpa aba-aba dia hanya membantu tanam rindu yang harus kutai dengan sakitnya. Dan entah mengapa malam itu ibu menghubugiku juga. Ibu mengatakan bahwa dia memiliki firasat yang tidak enak.
Aku pun dengan menepis sejenak kemarahan di dalam hati mencoba menceritakan kepada ibu. Bertaut, bagaimana tidak, anak yang dikandungnya, yang diharap-harapkan, yang telah dijaga telah dilahirkan, disusui kemudian dihentikan.
Melepaskan, Merelakan, dan Mengikhlaskan
Dulu tidak pernah lepas dari dekapan. Namun saat ibu melepaskan anaknya untuk terbang, malah anaknya dilukai oleh orang yang baru ditemukan. Keesokannya aku mendapat kabar dari orang rumah bahwa ibu mengalami serangan jantung.
Hati masih berbalut kesedihan dan penolakan atas keputusan sepihak, ditambah dengan kabar ibu yang sakit, membuatku saat itu lebih lagi menyalahkan diri. Di rumah sakit ibu banyak menasihatiku tentang masalah ini, begitupun dengan keluarga besarku, mereka semua mencoba menguatkan aku saat itu. Seolah mereka benar-benar tahu apa yang aku rasakan.
Beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar bahwa dia mengaku telah memiliki pasangan baru. Hati mana yang tidak sakit mendengar kabar itu. Katanya setelah perpisahan dia membutuhkan waktu lama untuk berpindah ke lain hati, tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Kalau dulu sering dengar dalam dongeng para pangeran berkuda putih bertarung telak menjadi pemenang, kemudian dia datang dengan tatapan sayup tenang, membawa buah tangan cinta dan rasa bangga telah memilikinya. Tapi, bagaimana denganku, yang saat ini berhadapan dengan sosok gagah perkasa yang lebih senang belajar tentang menanam rindu dan rasa sakit daripada belajar cara mencintai dengan benar.
Akan aku hadapi dan jalani setelah ini. Orang bilang jika kita mencintai seseorang kita tidak harus memilikinya karena cinta adalah sebuah keikhlasan bukan kepemilikan.
Cinta menurutku kompleks seperti manusia, dengan segala kesederhanaan dan juga kerumitannya, membawa setiap orang merasakan kebahagiaan sekaligus duka. Sekuat apa pun ingin melupakannya, cinta akan selalu ada dalam hati bukan? Karena pada dasarnya tempat cinta bukan di logika, melainkan pada perasaan.
Nyatanya kita tidak bisa melupakan perasaan, karena cinta bukan mengenai kepemilikan, tetapi juga tentang penerimaan untuk melepas. Jadi mungkin, semua rasa yang masih ada biar aku pendam dalam diam, meski sepi dan menyakitkan. Aku tidak bisa memaksa seseorang berbahagia denganku, dan tak bisa untuk memaksa seseorang untuk terus menetap.
#WomenforWomen