Beda Capres, Bikin Keluarga dan Pasangan Bertengkar

Fimela Editor diperbarui 03 Jul 2014, 06:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Bulan ini, Indonesia tidak hanya diramaikan oleh euphoria Piala Dunia. Pemilu Presiden yang akan dilangsungkan tanggal 9 Juli mendatang pun menjadi topik hangat pembicaraan di berbagai kalangan. Dua Capres, Prabowo dan Jokowi berlomba-lomba memenangkan hati 200juta penduduk Indonesia yang tersebar baik di Nusantara maupun di luar negeri. Masing-masing kubu memiliki pendukung setia, bahkan beberapa kelompok bisa dikategorikan hingga fanatik.

Cukup banyak menjadi pembicaraan, bisa juga jadi pertanda bahwa masyarakat sekarang ini sudah cukup peduli dengan masa depan bangsa. Hingga berbagai bentuk kampanye pun hadir di masyarakat, mulai dari kampanye dalam bentuk kreatif hingga kampanye hitam yang menyudutkan salah satu pihak bisa dengan bebas kita dapatkan, terlebih lewat dunia maya. Tidak bisa disangkal bahwa kompetisi kedua kandidat sangat berat. Karena itu, tak heran jika pendukung kedua belah pihak saling melancarkan serangan pada pihak lawan. Satu yang sangat disesali bahwa ternyata gesekan yang terjadi antarpara pendukung pun terjadi, tak terkecuali dalam satu keluarga.

“Seorang kawan saya bercerita bahwa ia harus putus dari kekasihnya hanya karena perbedaan pendapat. Perbedaan kubu antara sepasang kekasih tersebut ternyata harus mengakhiri hubungan cinta mereka. Awalnya, saya pikir hanya lelucon, tapi setelah ia bercerita panjang lebar, saya baru percaya bahwa ini benar-benar terjadi,” ujar Arya, salah satu guru SD di sekolah internasional.
Tak hanya perpisahan sepasang kekasih, pertengkaran pun terjadi di dalam satu keluarga yang mendukung kubu berbeda. “Kebetulan pilihan saya berbeda dari semua anggota keluarga. Ayah saya terbilang cukup gencar mempromosikan kandidat Capres yang ia jagokan hingga ia bisa mempengaruhi hampir semua anggota keluarga. Pernah satu masa ketika debat Capres I berlangsung, ayah dengan emosi menjelek-jelekkan kandidat lawannya. Saya yang cenderung netral pun agak terganggu dengan semua yang diutarakan. Akhirnya, saya sedikit menentang pendapatnya. Adu mulut ternyata tak bisa dihindarkan. Dan sampai sekarang, ayah terkadang masih suka membahas dan menyinggung saya soal perdebatan kami. Agak aneh memang rasanya dan saya juga tidak menyangka bahwa ayah akan menanggapinya dengan serius,” ujar Putri, salah satu Editor majalah.

foto: pekanbaru.com

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

 

Hal serupa diutarakan oleh Ria. Kali ini, Ria yang juga netral harus berperang mulut dengan saudara laki-lakinya. Senasib dengan Rara, Ria pun hingga saat ini harus menerima “serangan-serangan” politik dari saudara laki-lakinya. “Kebetulan saudara laki-laki saya adalah pendukung salah satu Capres. Bahkan, bisa dikatakan ia cukup fanatik. Pernah, satu saat kami harus beradu argumen tentang kedua Capres. Saya yang kebetulan netral, bahkan hampir berpikir untuk golput, berusaha menjabarkan plus dan minus kedua Capres. Ternyata, saudara saya tidak terima dan kami harus beradu mulut. Hingga saat ini, hubungan kami pun jadi agak canggung,” cerita Ria pada FIMELA.com.

Bahkan, Ria menuturkan bahwa pasangan suami-istri yang kebetulan adalah temannya, pernah saling lempar pernyataan ingin bercerai karena perbedaan kubu Capres. Beruntung, hingga saat ini, pasangan tersebut masih berada dalam satu ikatan pernikahan. Seperti yang dilansir dari detik.com, pada tahun 2011 Mahkamah Agung pernah mencatat dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, sebanyak 334 dipicu perbedaan politik pasangan. Lucu? Tidak! Miris, Fimelova.

Well, sayang disayangkan bahwa ternyata rakyat Indonesia masih kurang bijak dalam menanggapi berbagai kondisi seperti ini. “Apapun pilihannya, sekalipun golput, itu adalah hak setiap orang. Rasanya agak kekanak-kanakan jika momen Pemilu ini justru membuat suami-istri bercerai dan persaudaraan harus rusak. Bahkan, unfollow atau mute teman di social media pun menurut saya tidak perlu. Cobalah untuk menyikapi semua momen ini dengan sikap dewasa,” Ratna menambahkan.

Coba introspeksi, apakah saat ini kita sudah cukup dewasa dan bijaksana dalam menanggapi momen ini, Fimelova?