Menyadari Penting Aritmia yang Menimbulkan Kematian Mendadak

Fimela diperbarui 15 Agu 2017, 18:30 WIB

Tak kenal maka tak sayang, demikian peribahasa yang bisa digunakan juga dengan aritmia. Sebagai salah satu penyakit jantung yang dapat menimbulkan kematian mendadak, didapati bahwa 87% dari data pasien penyakit jantung koroner yang meninggal mendadak di Indonesia menderita aritmia. Ini berarti jika tidak dikenali dan ditangani dengan tepat aritmia sangat membahayakan bagi penduduk Indonesia.

Penyakit yang dikenal dengan gangguan irama jantung ini terjadi karena adanya gangguan produksi impuls atau abnormalitas penjalaran impuls listrik ke otot jantung. Berdebar merupakan gejala tersering dari aritmia, namun spektrum gejala aritmia cukup luas mulai dari berdebar, keleyengan, pingsan, stroke bahkan kematian mendadak. Jika ditangani dengan tepat, penyakit aritmia, baik kelompok bradiaritmia yaitu laju jantung yang terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit [kpm]) maupun takiaritmia yaitu laju jantung yang terlalu cepat (lebih dari 100 kpm) maka kematian mendadak (sudden death) dapat dicegah.

Baca Juga: Hindari Kematian Mendadak Begini Tata Laksana Penanganan Aritmia

Menyadari pentingnya aritmia, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) telah mengembangkan unit aritmia sejak awal 1990 untuk melayani para penderita gangguan irama jantung ini. Tidak hanya itu, kini RSJPDHK memiliki seorang profesor bidang aritmia yang akan melayani pasien penderita irama jantung secara komprehensif.

“Kemajuan di bidang aritmia belum bisa dinikmati secara luas oleh pasien-pasien di Indonesia karena sampai saat ini masih terdapat kendala besar dalam pelayanan aritmia di Indonesia, antara lain masih minimnya dokter subspesialis aritmia," ujar, Prof. DR. dr. Yoga saat ditemui di Jakarta.

Dr Yoga menyampaikan bahwa peminatan terhadap bidang aritmia masih minim, yaitu dengan hanya ada 28 orang subspesialis aritmia dari 1000 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang ada saat ini. Dalam kurun waktu 15 tahun, subspesialis aritmia hanya bertambah 26 orang saja. Aritmia seringkali dianggap sulit dipelajari karena harus dipahami dalam konteks mekanisme yang bersifat virtual.

Struktur anatomi yang melatarbelakangi aritmia tidak kasatmata tetapi harus dibayangkan. Hal ini menjadikan aritmia unik dan membutuhkan upaya yang lebih banyak untuk mempelajarinya. Keadaan tersebut menyebabkan hanya sedikit para spesialis jantung dan pembuluh darah muda yang tertarik untuk belajar aritmia.

Baca Juga: Apa Itu Aritmia?

Ditambah lagi apresiasi yang diberikan juga dirasakan masih tidak sepadan dibandingkan tingkat kesulitan dan risiko yang dihadapi seorang aritmologis. Di lain pihak, kompetensi dokter layanan primer dalam membaca EKG masih perlu ditingkatkan agar kelainan irama dapat diketahui lebih dini. Oleh karena itu, kepedulian pemerintah, masyarakat serta dokter saat ini sangat penting untuk ditingkatkan mengingat kepedulian terhadap aritmia sesungguhnya akan sangat membantu dalam mengatasi salah satu masalah kesehatan besar di Indonesia.

Sekilas Perkembangan Aritmia di Indonesia

Di Indonesia, epidemiologi aritmia tidak berbeda jauh dengan negara lain. Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering didapatkan di klinik. Tidak jarang stroke merupakan manifestasi klinis pertama dari FA. Dalam hal ini dokter ahli saraf menjadi titik masuk pertama menuju diagnosis FA. FA merupakan suatu penyakit terkait umur (aging disease). Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang.

Sampai saat ini, implantasi device (alat pacu jantung, ICD dan CRT) di Indonesia masih sangat rendah (hanya 2 per sejuta penduduk), lebih rendah dari Singapura (185), Thailand (59), Malaysia (39). Bahkan lebih rendah dari Filipina (9) dan Myanmar (6). (Ref: Medtronic Marketing Reseach, 2012). Oleh karena itu diperlukan lebih banyak dokter ahli aritmia, juga diperlukan terobosan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di tanah air. Oleh karena itu, Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) menginisiasi suatu program terobosan yang disebut dengan Integrated Implanter Crash Program (I2CP).

“Saya berharap dengan adanya Integrated Implanter Crash Program (I2CP), yaitu crash program pelatihan implanter baru yang terdiri dari (1) 1 minggu internet based learning yang diakhiri dengan ujian teori, (2) workshop dan wet lab, dan (3) proctorship 5 kasus di tempat masing-masing peserta. Dengan metoda ini telah dihasilkan 92 implanter baru dan 86 di antaranya aktif melakukan implantasi alat pacu jantung menetap. Saya optimis, tahun 2030 kita dapat memiliki 100 orang subspesialis aritmia yang aktif dan lebih banyak implanter untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, tambahnya.

Untuk layanan primer, saat ini sudah terdapat ‘aritmia networking program’ dan pelatihan yang dilakukan kepada dokter umum agar mahir menggunakan Holter Monitoring dengan cara meminjamkan alat selama 3 bulan dan terhubung dengan ahli aritmia setempat, sehingga dokter dapat berdiskusi dan berkonsutasi secara gratis dengan pusat aritmia di Padang, Palembang, Yogyakarta, Bandung dan Malang.

Masalah ketiadaan alat yang memadai untuk melakukan pelayanan aritmia rumah sakit merupakan masalah lain yang dijumpai di lapangan. Dari 28 orang dokter subspesialis aritmia, hanya 50% yang benar-benar aktif melakukan tindakan ablasi takiaritmia karena RS tidak mempunyai alat ablasi. Kepedulian manajemen rumah sakit pemerintah yang masih rendah ini juga dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman tentang epidemiologi dan konsekuensi klinis aritmia.

Adanya kolaborasi organisasi profesi dan sektor bisnis untuk menjembatani ketimpangan pelayanan aritmia di perifer melalui peminjaman mesin ablasi oleh principal kepada organisasi profesi (Indonesian Heart Rhythm Society, InaHRS) untuk kemudian dipakai secara bergilir di rumah sakit yang sudah memiliki dokter subspesialis aritmia dan mesin angiografi tetapi belum memiliki mesin ablasi. Upaya ini diharapkan menjadi trigger bagi manajemen rumah sakit setempat untuk melihat lebih nyata pentingnya menyediakan fasilitas pelayanan aritmia yang komprehensif karena memang kasus cukup banyak.

Kendala lain yang juga dirasakan di lapangan yaitu bahwa kepedulian BPJS terhadap layanan aritmia masih sangat minim. Tarif yang diterapkan BPJS masih tidak memadai di seluruh tingkat layanan kesehatan. Salah satu contoh, yaitu belum adanya pengelompokan dan koding khusus untuk tindakan di bidang aritmia. Upaya untuk mengatasi segala kendala layanan aritmia di Indonesia memerlukan kerja sama semua pihak, termasuk Pemerintah dan masyarakat. Mengingat besaran masalah aritmia dan kendala layanan yang dihadapi di Indonesia, saya menyerukan agar semua pihak meningkatkan kepedulian terhadap penyakit ini.

(vem/asp/apl)
What's On Fimela