Indahnya Saling Memaafkan, yang Tadinya Musuhan Jadi Sahabatan

Fimela diperbarui 04 Okt 2018, 11:15 WIB

Bicara soal tentang kisah seru bersama sahabat, aku jadi teringat dengan pengalaman suka dan duka yang aku alami bersama sahabat-sahabatku. Dulu, ketika aku duduk di bangku menengah atas, aku mempunyai empat teman dekat yang bisa juga disebut sahabat. Hubungan kami tidak mulus di awal, karena ada suatu konflik yang terjadi di antara kami. Jadi, seorang temanku yang bernama Tulip berseteru dengan dua temanku yang lain, yaitu Mawar dan Melati. Mereka bertiga saling melemparkan tatapan sinis bila mereka bertiga bertemu. Aku dan satu teman dekatku yang lain, yaitu Bunga merasa prihatin. Aku dan Bunga berniat mempersatukan mereka, menjadikan mereka sebagai teman, bukannya musuh.

Aku dan Bunga pun mengajak Tulip menuju kantin sekolah saat itu. Aku dan Bunga sudah menyusun rencana berdua, dan menutupnya rapat-rapat dari Tulip. Kami bertiga pun berjalan menuju bangku kantin sekolah, di mana di sana juga ada Mawar dan Melati yang sedang duduk sambil berbincang-bincang berdua. Kulirik wajah Tulip saat itu, raut wajahnya nampak kesal dan cemberut. Tapi dia diam saja, tak bicara apapun saat aku dan Bunga mengajaknya ke sana.



Aku pun menyapa Mawar dan Melati yang masih asyik mengobrol, lalu mereka membalas sapaanku dengan ramah. Sedangkan Bunga sedang berbincang berdua. Mawar dan Melati pun tersenyum manis ke arahku, namun tiba-tiba senyum mereka berdua luntur saat Tulip berdiri di sebelahku. Kulihat ekspresi wajah Mawar dan Melati, nampak kusut dan merah padam. Lalu mereka berdua berbicara berdua tanpa menganggap aku, Tulip dan Bunga ada. Merasa tak dihargai, Bunga berlari menjauhi kantin, lalu meninggalkan aku dan tiga temanku yang lain.

Aku tak tinggal diam, aku mengejar Tulip dan menyusulnya, meninggalkan Bunga sendirian bersama Mawar dan Melati. Ketika aku sudah berhasil mensejajari langkahku dengan Tulip, tiba-tiba saja Tulip menoleh ke arahku dengan wajah tak bersahabatnya. Lalu dia berbicara begini, “Kamu tuh musuh di balik selimut! Kamu bilang bakal berada di pihakku, tapi apa?”

Aku menggeleng kuat-kuat. Bukan itu yang kumaksud. Aku tak memihak siapapun di sini, sifatku netral. Begitu juga dengan Bunga. Aku menenangkan emosi Tulip dengan lembut, berbicara padanya kalau masalah itu, harusnya diselesaikan dengan kepala dingin. Selesaikanlah masalah dengan bersama-sama, kekeluargaan. Bukan seperti ini. Tulip bergeming saat aku masih memberi nasihat. Lalu setelah aku selesai bicara dia mengangguk, bilang kepadaku kalau tolong antarkan dia kepada Mawar dan Melati. Tulip ingin menyelesaikan masalahnya besok, seperti apa yang aku bilang tadi.

Aku pun mengiyakan permintaannya. Keesokan harinya, aku dan Tulip berjalan menuju ke tempat tongkrongan Mawar dan Melati yang ada di pojok kantin. Kali ini Bunga tampak bergabung dengan Mawar dan juga Melati di sana. Kulirik Tulip yang berjalan di sampingku. Dia tampak lebih tenang dari yang biasanya. Setelah aku dan Tulip sudah berada di dekat Mawar dan Melati—langsung saja—Tulip mengulurkan tangannya ke arah Mawar dan Melati sebagai tanda permintaan maaf. Mawar dan Melati diam beberapa saat, lalu keduanya kompak menyambut uluran tangan Tulip dengan hangat. Aku dan Bunga tersenyum, akhirnya mereka berteman. Kuharap mereka bertiga tidak akan bermusuhan lagi.



Sejak saat itulah kami bersahabat. Kami mempunyai makanan, hobi bahkan idola yang sama. Kami sering mengunjungi rumah masing-masing hanya untuk bermain-main bermanfaat seperti mencoba resep baru ataupun memasak roti panggang. Kami juga sering membuat konser abal-abal sepulang sekolah dengan meja yang disusun rapi sebagai panggungnya. Itupun kami lakukan di kelas kami. Jadi tidak heran bila pagi-pagi kelas tampak berantakan dan sapu berserakan di mana-mana.

Kami berlima selalu tertawa terbahak-bahak bila ada kejadian lucu yang terjadi atau menimpa salah satu di antara kami. Tapi walaupun begitu, kami saling tolong menolong bila ada salah satu di antara kami yang kesusahan. Kami juga sering membuat cerita tentang pengalaman pribadi masing-masing ataupun karangan fiksi. Bila ada salah satu di antara kami ada yang berulang tahun, biasanya kami selalu memberi hadiah hanya sebagai kenang-kenangan. Kami selalu bercanda ria, seakan tidak ada beban yang kami pikul. Semuanya tampak lebih indah bila kami berlima bersama. Bila salah satu di antara kami ada yang tidak masuk sekolah, pasti suasana kelas tak begitu seru. Pokoknya, kami tidak bisa terpisahkan!

Dan aku pun tahu, semua kejadian pasti selalu berganti. Kadang pahit, kadang juga manis. Begitu juga sebaliknya. Sejak saat itu, hidupku sangat indah. Hari-hariku selalu diisi oleh canda tawa mereka. Aku pun bersyukur memiliki sahabat sejati seperti mereka. Dan aku harap, persahabatan ini akan tetap terjalin hingga umurku tua.



(vem/nda)