Aborsi dikenal dengan pengertian menggugurkan kandungan, baik secara legal maupun ilegal. Aborsi yang legal dilakukan di fasilitas kesehatan apabila kehamilan tersebut membari resiko bagi kesehatan ibu maupun anak yang dikandungnya. Sedangkan aborsi ilegal umumnya dilakukan pada kehamilan di luar nikah.
Jika sebelumnya seorang wanita pernah melakukan tindakan aborsi, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan yang selanjutnya? Roger W. Harms, M.D., seorang praktisi kesehatan, menjelaskannya di situs mayoclinic.com.
Umumnya, aborsi tidak memberikan dampak pada kesuburan wanita atau komplikasi pada kehamilan selanjutnya. Tapi, terdapat beberapa penelitian yang mengemukakan hubungan yang erat antara aborsi dan tingginya resiko pada beberapa masalah kehamilan, antara lain:
• Perdarahan pada periode awal kehamilan.
• Kelahiran sebelum waktunya, atau premature.
• Bayi yang lahir dengan berat dibawah normal.
• Perdarahan hebat sebelum dan selama melahirkan yang diakibatkan oleh plasenta yang menutupi sebagian atau seluruh serviks, atau disebut placenta previa.
Adapun beberapa metode aborsi. Aborsi medis, yang dilakukan di awal kehamilan, dilakukan dengan cara mengonsumsi obat seperti mifepristone. Aborsi melalui jalan operasi dilakukan dengan mengambil janin dari uterus dengan alat vakum yang berbentuk seperti spons dengan ujung yang tajam, untuk mengambil janin tersebut. Biasanya metode ini dikenal dengan istilah kiret.
Aborsi yang dilakukan secara legal di fasilitas kesehatan umumnya tidak akan merusak uterus. Jika terjadi gangguan pada uterus paska aborsi, akan dilakukan pengobatan pada selang waktu tertentu dan biasanya membutuhkan jangka waktu tertentu unutk dapat hemil kembali.
Aborsi harusnya dilakukan hanya jika keberadaan bayi akan mengancam keselamatan ibu atau bayi, dan dibawah pengawasan dan konsultasi dokter. Tindakan seks bebas yang berakibat kehamilan hanya akan membawa keburukan bagi ibu dan bayi itu sendiri.
Oleh: Zurriat Nyndia
(vem/sfg)