Bukan Sekadar Kata Maaf, Ini 5 Cara Melatih Anak Minta Maaf dengan Tulus

Siti Nur ArishaDiterbitkan 13 September 2025, 19:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengajarkan anak tentang pentingnya meminta maaf bukan sekadar mengucapkan kata-kata, tapi bagaimana mereka bisa memahami maknanya. Permintaan maaf yang tulus lahir dari kesadaran bahwa tindakannya telah menyakiti orang lain, dan ada keinginan untuk memperbaiki hubungan. Hal ini tentunya butuh waktu dan proses.

Sayangnya, banyak anak yang justru dipaksa untuk minta maaf tanpa tahu alasan di baliknya. Padahal, sikap tersebut malah bisa membuat mereka merasa malu, bingung, atau bahkan takut, bukan memahami letak kesalahan. Untuk itu, orang tua perlu menjadi pembimbing dan contoh nyata agar anak bisa belajar mengakui kesalahan dengan jujur.

Dilansir dari A Fine Parent, berikut beberapa strategi yang bisa membantu orang tua melatih anak agar berani bertanggung jawab atas perbuatannya dan terbiasa menyampaikan penyesalan dengan hati yang tulus.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

1. Tunjukkan bahwa Orang Dewasa pun Bisa Mengakui Kesalahan

Salah satu cara paling efektif untuk mengajarkan anak adalah dengan memberikan contoh langsung. (foto/dok: freepik/jcomp)

Salah satu cara paling efektif adalah dengan memberikan contoh langsung. Ketika orang tua melakukan kesalahan pada anak, seperti terlalu keras menegur atau tidak menepati janji, tunjukkan bahwa kita pun bisa mengakui kesalahan tersebut. Sikap ini mengajarkan bahwa tak ada yang sempurna, dan tidak ada salahnya mengakui kekeliruan.

Anak-anak mengikuti perilaku orang dewasa di sekitarnya. Saat mereka melihat orang tuanya berani bertanggung jawab, mereka belajar bahwa mengoreksi kesalahan adalah langkah bijak, bukan tanda kelemahan.

2. Bantu Anak Memahami Emosi dan Dampaknya

Sebelum anak bisa menunjukkan rasa penyesalan, mereka harus paham dulu perasaannya sendiri. Misalnya, ketika mereka marah karena mainannya diambil, bantu mereka mengenali rasa kesal atau kecewa itu. Setelah itu, bantu juga untuk memahami bagaimana sikap mereka mungkin melukai orang lain.

Dengan kemampuan memahami emosi, anak akan lebih mudah berempati. Mereka bisa melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dan lebih terbuka untuk memperbaiki kesalahan.

3. Hindari Memaksa Anak untuk Langsung Minta Maaf

Sering kali, orang tua mendorong anak untuk meminta maaf secara instan setelah berbuat salah. Namun, tindakan ini justru bisa membuat mereka mengucapkannya tanpa memahami makna atau niat di baliknya. Ucapan kosong tidak akan memberi pelajaran yang berarti.

Lebih baik ajak anak berdiskusi tentang kejadian yang terjadi. Tanyakan apa yang mereka rasakan, apa yang mungkin dirasakan orang lain, dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Dari sini, mereka akan sampai pada keputusan sendiri bahwa menunjukkan penyesalan itu penting.

3 dari 3 halaman

4. Jelaskan Arti Permintaan Maaf yang Tulus

Salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan sejak dini adalah empati. (foto/dok: freepik)

Minta maaf tidak cukup hanya dengan satu kalimat. Anak perlu tahu bahwa menyampaikan penyesalan berarti mereka sadar telah berbuat salah dan ingin memperbaiki hubungan. Jelaskan bahwa tindakan juga penting, bukan hanya kata-kata.

Selain itu, bantu anak memahami bahwa respons orang lain mungkin berbeda. Ada yang langsung memaafkan, ada juga yang butuh waktu. Ini adalah bagian dari pembelajaran sosial yang penting bagi perkembangan emosional mereka.

5. Ajarkan Prinsip Saling Menghargai

Salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan sejak dini adalah empati. Bantu anak membayangkan bagaimana rasanya jika mereka berada di posisi orang yang disakiti. Dengan begitu, mereka bisa belajar menahan diri dan berpikir sebelum bertindak.

Prinsip saling menghargai membantu anak memahami pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat, dan bertanggung jawab ketika melakukan kesalahan.

Sahabat Fimela, melatih anak untuk meminta maaf bukan sekadar membiasakan mereka mengucapkan kalimat tertentu, tapi juga membangun pemahaman emosional yang kuat. Dengan pendekatan yang lembut dan konsisten, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih empatik dan bertanggung jawab dalam hubungan sosialnya.

Penulis: Siti Nur Arisha