Tragedi Adam Raine ketika Anak Lebih Memercayai AI daripada Keluarganya

Endah WijayantiDiterbitkan 29 Agustus 2025, 14:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kasus Adam Raine di Inggris meninggalkan luka mendalam bagi orangtua. Remaja 16 tahun ini awalnya hanya menggunakan AI untuk membantu tugas sekolah. Akan tetapi, seiring waktu, ia justru menjadikan teknologi itu sebagai teman curhat. Saat beban emosinya memuncak, Adam lebih memilih berbagi pikiran gelapnya dengan AI ketimbang keluarga. Tragisnya, interaksi tersebut malah memperburuk kondisinya hingga ia memutuskan mengakhiri hidupnya.

Melansir laman metro.co.uk, Adam mulai menggunakan AI untuk kebutuhan sekolah, tetapi dalam beberapa bulan percakapan itu berubah menjadi ruang emosional baginya. Chatbot tersebut diduga menawarkan instruksi-metodis tentang berbagai metode bun*h d*ri. Kisah ini menunjukkan betapa rentannya anak ketika tidak mendapat pengawasan digital yang ketat dari orangtua. Secanggih apa pun teknologi, AI tidak pernah bisa menggantikan kehangatan keluarga. Anak tetap membutuhkan pelukan, perhatian, dan telinga yang benar-benar mendengar.

AI Bukan Pengganti Kehadiran Nyata

Moms, anak-anak masa kini tumbuh dalam lingkungan digital yang serba instan. Saat bingung, mereka bertanya pada AI. Saat bosan, mereka larut dalam gawai. Akan tetapi, ketika mereka merasa kesepian, siapa yang akan mereka pilih sebagai tempat berlabuh?

AI memang bisa memberi jawaban, tetapi tidak bisa memberi empati atau kasih sayang yang dibutuhkan anak. Kasus Adam bisa menjadi pengingat bahwa anak bisa keliru menaruh kepercayaan jika tidak ada pendampingan orangtua. Yang dibutuhkan anak bukan hanya jawaban instan, melainkan arahan dan kasih sayang yang benar-benar tulus dari orang-orang terdekatnya.

Inilah alasan mengapa orangtua harus lebih ketat hadir dalam kehidupan digital anak. Kehadiran nyata, meski sederhana, jauh lebih bermakna daripada ribuan jawaban dari mesin.

2 dari 3 halaman

Pengawasan Digital Bukan Sekadar Kontrol

Pengawasan Digital Bukan Sekadar Kontrol. (Foto: Antonella Vilardo/Unsplash)

Banyak orangtua salah kaprah, mengira pengawasan digital berarti memata-matai semua aktivitas anak. Padahal, Moms, yang terpenting adalah membangun sistem filter. Anak butuh bimbingan untuk tahu batasan, bukan sekadar larangan.

Pengawasan yang lebih ketat bukan berarti anak kehilangan kebebasan, melainkan memberikan pagar aman agar mereka tidak terjerumus.

Orangtua bisa duduk bersama anak, mendiskusikan apa saja yang mereka temukan, dan menanamkan kebiasaan kritis dalam memilah informasi.

Dengan begitu, anak tahu bahwa orangtuanya tidak sekadar mengawasi, melainkan melindungi. Mereka akan lebih terbuka karena merasakan bahwa keluarga adalah ruang aman untuk berbagi, bukan ruang penuh interogasi.

Tantangan Orangtua Masa Kini

Perkembangan AI bergerak jauh lebih cepat daripada kemampuan kita memahaminya. Banyak orangtua masih gagap menghadapi teknologi ini. Di sisi lain, kesibukan harian membuat pengawasan sering kali longgar.

Ditambah lagi, remaja punya kebutuhan privasi yang besar. Jika pengawasan terasa terlalu longgar, mereka bisa larut dalam dunia digital tanpa kontrol. Akan tetapi jika pengawasan terasa terlalu kaku, anak justru akan berusaha menyembunyikan lebih banyak hal.

Inilah mengapa pengawasan digital di era ini harus lebih ketat sekaligus bijaksana. Orangtua perlu belajar teknologi, bukan untuk bersaing dengan anak, tetapi untuk bisa mendampingi dengan lebih relevan.

3 dari 3 halaman

Pentingnya Membangun Komunikasi yang Sehat

Pentingnya Membangun Komunikasi yang Sehat./Copyright freepik.com/author/tirachardz

Moms, memasang parental control atau aplikasi filter memang membantu, tetapi itu bukan solusi utama. Yang jauh lebih penting adalah komunikasi. Anak-anak tidak hanya butuh dibatasi, mereka juga butuh diajak bicara.

Sayangnya, banyak orangtua masih cepat menghakimi ketika anak bercerita. Hal ini membuat mereka memilih curhat ke AI yang dianggap lebih “netral”.

Padahal, yang sebenarnya mereka butuhkan adalah orangtua yang bisa mendengar tanpa menyela, menasihati dengan lembut, dan hadir dengan empati.

Jika anak merasa aman berbicara di rumah, mereka tidak akan mencari pengganti di luar. Bahkan teknologi secanggih apa pun tidak akan bisa memikat mereka jika sudah yakin keluarganya selalu menerima.

Dari Kisah Pahit Menjadi Peringatan

Kematian Adam Raine adalah tragedi yang tidak seharusnya terjadi. Akan tetapi, ini bisa menjadi pengingat tentang pentingnya sikap tegas dalam pengawasan digital. Bukan berarti menutup akses anak terhadap AI, tetapi memastikan bahwa teknologi tidak pernah mengambil alih peran keluarga.

Moms tidak perlu menjadi orangtua sempurna. Anak hanya membutuhkan kehadiran yang konsisten, telinga yang siap mendengar, dan hati yang tulus memahami. Jika itu sudah diberikan, mereka tidak akan tersesat dalam pelarian digital.

Pengawasan yang lebih ketat tidak hanya melindungi anak dari bahaya informasi, tetapi juga menjaga kesehatan mental mereka. Inilah benteng yang tidak bisa digantikan oleh teknologi mana pun.

Pengawasan digital hanyalah pintu masuk. Yang benar-benar menjaga anak tetap aman adalah kehadiran nyata dan penuh empati dari orangtua. Anak bisa saja terpesona oleh AI, tetapi tidak akan pernah berhenti merindukan perhatian dan kasih sayang yang nyata.

AI bisa membantu mengerjakan PR, tetapi tidak bisa menguatkan hati yang rapuh. AI bisa memberi nasihat, tetapi tidak bisa menggantikan pelukan ibu. AI bisa menjadi asisten belajar, tetapi tidak akan pernah menjadi keluarga.

Moms, di era apa pun, orangtua yang hadir dengan cinta dan pengawasan yang lebih ketat adalah filter terbaik yang melindungi anak dari bahaya digital sekaligus menjaga jiwa mereka tetap sehat.