Dampak Membentak Anak terhadap Kesehatan Mental yang Sering Diabaikan

Anisya FandiniDiterbitkan 24 Desember 2025, 12:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Membentak anak sering kali dianggap sebagai cara cepat untuk menghentikan perilaku yang dianggap salah. Saat emosi memuncak, orang tua mungkin merasa bentakan adalah bentuk ketegasan agar anak segera menurut. Tanpa disadari, kebiasaan membentak yang dianggap sepele ini dapat meninggalkan luka yang tidak terlihat pada kondisi mental anak. Anak mungkin diam, berhenti menangis, atau terlihat patuh, tetapi di dalam dirinya tersimpan perasaan takut, bingung, dan tidak aman.

Banyak orang tua tidak bermaksud menyakiti anak secara emosional. Namun, ketika bentakan terjadi berulang kali, anak akan menganggap amarah sebagai bentuk komunikasi yang wajar dalam keluarga. Ia belajar bahwa kesalahan selalu dibalas dengan teriakan, bukan dengan pengertian. Dari sinilah berbagai masalah psikologis bisa tumbuh secara perlahan tanpa disadari.

Masa kanak-kanak adalah fase pembentukan emosi, kepribadian, dan cara memandang diri sendiri. Apa yang anak dengar, lihat, dan rasakan dari orang tuanya akan terekam dalam ingatannya hingga dewasa. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami bahwa bentakan bukan sekadar luapan emosi sesaat, tetapi bisa berdampak panjang bagi kesehatan mental anak.

2 dari 5 halaman

Menurunkan Rasa Aman dan Kepercayaan Diri Anak

Ilustrasi Membentak Anak Credit: Paxels.com/GabbyK

Salah satu dampak paling besar dari kebiasaan membentak adalah hilangnya rasa aman dalam diri anak. Anak yang sering dibentak akan merasa lingkungan rumah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman. Ia bisa menjadi lebih waspada, mudah cemas, dan takut melakukan kesalahan karena khawatir akan dimarahi dengan suara keras. Rasa aman yang seharusnya menjadi fondasi tumbuh kembang anak justru terganggu.

Selain itu, bentakan yang disertai kata-kata menyakitkan dapat membuat anak meragukan nilai dirinya sendiri. Anak mungkin mulai merasa dirinya tidak cukup baik, tidak pintar, atau selalu salah. Jika hal ini terjadi terus-menerus, kepercayaan diri anak akan menurun dan ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang ragu terhadap kemampuannya sendiri.

Anak yang kurang percaya diri juga cenderung sulit mengambil keputusan, takut mencoba hal baru, dan lebih mudah terpengaruh lingkungan. Semua ini berawal dari perasaan tidak aman yang terbentuk sejak kecil akibat pola komunikasi yang keras.

3 dari 5 halaman

Memicu Masalah Emosi dan Perilaku

Ilustrasi anak yang memiliki permasalahan emosi.(Foto: Unsplash/Xia Yang)

Anak yang sering dibentak tidak selalu menunjukkan dampaknya secara langsung. Ada anak yang menjadi lebih pendiam, menarik diri, dan memendam perasaannya sendiri. Ada pula anak yang justru menjadi lebih agresif, mudah marah, dan suka melawan. Semua ini merupakan bentuk luapan emosi yang tidak tersalurkan dengan cara sehat.

Bentakan membuat anak kesulitan memahami dan mengelola emosinya sendiri. Ia belajar bahwa marah harus diekspresikan dengan teriakan, bukan dengan komunikasi yang tenang. Akibatnya, anak bisa kesulitan menjalin hubungan sosial karena terbiasa meluapkan emosi secara tidak tepat.

Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan kecemasan, stres berlebihan, hingga depresi ringan. Anak mungkin tumbuh dengan perasaan tertekan karena selalu merasa berada dalam situasi yang penuh tekanan emosional.

4 dari 5 halaman

Mengganggu Hubungan Orang Tua dan Anak

orangtua dan anak/copyright freepik/our-team

Hubungan antara orang tua dan anak seharusnya dibangun atas dasar rasa aman, kepercayaan, dan kasih sayang. Ketika bentakan terlalu sering terjadi, hubungan ini perlahan bisa merenggang. Anak akan merasa lebih takut daripada dekat dengan orang tuanya. Ia menjadi enggan bercerita, menutup diri, dan memilih menyimpan masalahnya sendiri.

Lama-kelamaan, komunikasi yang sehat pun terganggu. Anak tidak lagi melihat orang tua sebagai tempat berlindung, melainkan sebagai sosok yang menegangkan. Hal ini bisa berdampak hingga anak tumbuh remaja, di mana ia semakin menjauh secara emosional dan sulit diajak berdiskusi dengan terbuka.

Hubungan yang renggang ini juga meningkatkan risiko konflik yang lebih besar di masa depan. Anak yang tidak terbiasa didengar akan lebih sulit menghargai komunikasi dua arah dalam hubungan sosialnya kelak.

5 dari 5 halaman

Pentingnya Mengganti Bentakan dengan Komunikasi Sehat

Berikan nasihat dalam bentuk cerita. (Foto/Dok: freepik.com/our-team)

Menghentikan kebiasaan membentak memang tidak mudah, terutama saat emosi sedang tinggi. Namun, orang tua bisa mulai dengan memberi jeda sejenak sebelum bereaksi saat anak melakukan kesalahan. Menarik napas, menenangkan diri, lalu berbicara dengan nada yang lebih rendah dapat membantu menyampaikan pesan tanpa melukai perasaan anak.

Menggunakan bahasa yang jelas, tegas, tetapi tetap penuh empati akan membuat anak lebih mudah memahami kesalahannya. Anak juga akan merasa dihargai sebagai pribadi, bukan hanya sebagai objek yang harus selalu patuh. Dengan cara ini, anak belajar bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar, bukan alasan untuk dihina atau ditakuti.

Komunikasi yang sehat tidak hanya menjaga kesehatan mental anak, tetapi juga memperkuat ikatan emosional antara orang tua dan anak. Anak tumbuh dengan perasaan dicintai, didukung, dan diterima apa adanya.

Membentak anak mungkin terasa sebagai respon spontan saat emosi memuncak, tetapi dampaknya bagi kesehatan mental anak bisa sangat besar dan berlangsung dalam jangka panjang. Rasa tidak aman, kepercayaan diri yang menurun, hingga gangguan emosi dapat tumbuh tanpa disadari. Dengan mengganti bentakan menjadi komunikasi yang lebih lembut dan penuh empati, orang tua tidak hanya membantu anak merasa aman, tetapi juga membentuk pribadi yang lebih sehat secara emosional di masa depan.