Fimela.com, Jakarta - Perubahan emosi yang dialami wanita saat haid atau menjelang haid adalah fenomena umum yang disebabkan oleh interaksi kompleks antara fluktuasi hormon dan zat kimia otak. Kondisi ini sering dikaitkan dengan Sindrom Pramenstruasi (PMS) dan dalam kasus yang lebih parah, Gangguan Disforik Pramenstruasi (PMDD).
Fluktuasi hormon estrogen dan progesteron, yang mengontrol siklus menstruasi, berperan besar dalam perubahan suasana hati ini. Penurunan kadar hormon-hormon tersebut setelah ovulasi menjadi pemicu utama ketidakstabilan emosi yang seringkali dirasakan oleh banyak Sahabat Fimela.
Selain itu, hormon-hormon ini juga memengaruhi neurotransmiter seperti serotonin, yang krusial untuk pengaturan suasana hati. Penurunan serotonin inilah yang sering menjelaskan mengapa banyak wanita bertanya-tanya kenapa saat haid emosian.
Fluktuasi Hormon: Dalang di Balik Perubahan Suasana Hati
Sahabat Fimela, perasaan sedih atau mudah menangis saat haid adalah hal yang umum terjadi. Ini disebabkan oleh perubahan hormonal yang berkaitan dengan siklus menstruasi dan ovulasi. Hormon estrogen dan progesteron adalah pengendali utama karakteristik seksual wanita, reproduksi, dan siklus menstruasi.
Sepanjang bulan, kadar hormon ini mengalami fluktuasi yang signifikan. Peningkatan dan penurunan ini, ditambah dengan steroid ovarium, dapat mengubah cara Anda merasa secara mental, emosional, dan fisik. Penurunan kadar estrogen dan progesteron yang terjadi setelah ovulasi diyakini menjadi pemicu utama perubahan suasana hati yang seringkali membuat kita merasa tidak stabil.
Lebih lanjut, estrogen dan progesteron memiliki peran penting dalam memodulasi aktivitas neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin. Kedua zat kimia otak ini sangat esensial untuk pengaturan suasana hati, sehingga fluktuasi hormon secara langsung memengaruhi keseimbangan emosi kita.
Serotonin: Si 'Kimia Kebahagiaan' yang Menurun Saat Haid
Salah satu kunci utama memahami kenapa saat haid emosian adalah peran serotonin. Fluktuasi serotonin, zat kimia otak (neurotransmiter) yang dianggap memainkan peran penting dalam kondisi suasana hati, dapat memicu gejala sindrom pramenstruasi (PMS). Serotonin kadang-kadang disebut sebagai 'bahan kimia kebahagiaan' karena membantu mengatur suasana hati, nafsu makan, dan kemampuan untuk mendapatkan tidur malam yang nyenyak.
Kadar serotonin yang tidak mencukupi dapat berkontribusi pada depresi pramenstruasi, serta kelelahan, keinginan makan, dan masalah tidur. Fluktuasi hormon seks wanita pada hari-hari pramenstruasi secara signifikan mengurangi produksi serotonin ini.
Pada wanita dengan PMS, otak bereaksi lebih sensitif terhadap hal ini, menyebabkan kadar serotonin turun lebih cepat dan drastis. Inilah yang seringkali menjelaskan mengapa Sahabat Fimela merasa lebih mudah tersinggung, sedih, atau cemas menjelang menstruasi.
Mengenal PMS dan PMDD: Kapan Emosi Berlebihan Perlu Diwaspadai?
Perubahan emosi yang intens saat haid seringkali merupakan bagian dari Sindrom Pramenstruasi (PMS). Diperkirakan sebanyak 3 dari setiap 4 wanita yang menstruasi pernah mengalami beberapa bentuk sindrom pramenstruasi. Gejala PMS sangat beragam, meliputi perubahan suasana hati, payudara yang nyeri, keinginan makan, kelelahan, iritabilitas, dan depresi.
Gejala emosional atau mental PMS bisa berupa iritabilitas atau perilaku bermusuhan, merasa lelah, masalah tidur (terlalu banyak atau terlalu sedikit), perubahan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, ketegangan atau kecemasan, depresi, perasaan sedih, atau menangis. Untungnya, gejala-gejala ini umumnya hilang dalam empat hari setelah periode menstruasi dimulai, seiring dengan stabilnya kadar hormon.
Namun, bagi sebagian kecil wanita, gejalanya bisa sangat parah. Bentuk PMS ini disebut Gangguan Disforik Pramenstruasi (PMDD). PMDD adalah bentuk sindrom pramenstruasi yang jauh lebih ekstrem, menyebabkan perubahan suasana hati yang ekstrem seperti depresi, kemarahan, kecemasan, perasaan kewalahan, kesulitan berkonsentrasi, iritabilitas, dan ketegangan.
Gejala PMDD dimulai selama seminggu sebelum menstruasi dan berakhir dalam beberapa hari setelah menstruasi dimulai, dan gejala-gejala ini dapat mengganggu tugas sehari-hari serta merusak hubungan. Sekitar 6% dari populasi yang menstruasi mengalami gangguan disforik pramenstruasi. Penyebab pasti PMDD tidak diketahui, namun diduga merupakan reaksi abnormal terhadap perubahan hormon normal yang terjadi pada setiap siklus menstruasi. Perubahan hormon ini dapat menyebabkan defisiensi serotonin, dan penelitian menunjukkan kadar serotonin yang rendah sangat berhubungan dengan PMDD. Wanita dengan PMDD bahkan menunjukkan peningkatan transporter serotonin di otak sesaat sebelum menstruasi, yang mendorong hilangnya neurotransmiter ini secara sinaptik.
Faktor Lain yang Berkontribusi pada Perubahan Emosi
Selain fluktuasi hormon dan serotonin, ada beberapa faktor lain yang dapat memperparah kondisi kenapa saat haid emosian. Kualitas tidur yang buruk, misalnya, dapat sangat memengaruhi suasana hati. Karena kadar serotonin yang berkurang membuat Anda lebih sulit mendapatkan istirahat yang cukup, Sahabat Fimela mungkin merasa kurang tidur, lelah secara mental, dan mudah tersinggung.
Riwayat kesehatan mental juga berperan. Beberapa wanita mungkin lebih rentan mengalami gejala parah jika mereka memiliki riwayat depresi, kecemasan, atau kondisi menstruasi lainnya. PMS mungkin lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki tingkat stres tinggi, riwayat keluarga depresi, atau riwayat pribadi depresi pascapersalinan.
Gejala fisik PMS seperti kembung, kram, sakit kepala, atau nyeri punggung juga dapat secara signifikan memengaruhi suasana hati kita. Perubahan nafsu makan, atau keinginan untuk makan makanan manis atau tinggi karbohidrat, juga umum terjadi dan dapat memengaruhi energi serta mood. Memahami semua faktor ini penting untuk mengelola emosi dengan lebih baik.