Sukses

Fashion

Panggung Sandiwara Futursitik Eksentrik Gucci di Milan Fashion Week

Fimela.com, Jakarta Gucci menghadirkan panggung futuristik untuk koleksi Fall/Winter 2019 di Milan Fashion Week dengan sederet koleksi klasik eksentrik. Show tersebut diselenggarakan berdekatan dengan kasus rasial yang menimpa fashion house asal Italia dan di tengah duka atas kepergian desainer legendaris dunia Karl Lagerfeld.

Sejak tersandung kasus sweater mengindikasikan blackface yang kontroversial, Gucci sudah kenyang dengan segala kemarahan yang diterima dari media sosial. Maka saat soundtrack anjing yang menyalak dengan genderang drum bersahutan yang diiringi musik opera gothic membuka show seolah menjadi gambaran ketegangan yang dialami Gucci selama Februari 2019 ini.

Belum lagi panggung melingkar dengan dinding lampu dari 120.000 LED yang dibuat gelap-terang mengikuti irama musik sementara para penonton duduk di tengahnya. Saat mulai menyesuaikan diri dengan setting-an mirip panggung konser dengan ingar bingarnya, muncullah para model yang memakai topeng.

Dari panggung konser, pemakaian topeng mengingatkan kita pada sebuah sandiwara, di mana tiap orang punya perannya. Masker rupanya menjadi bagian dari tema yang diangkat Creative Director Allesandro Michele yang terinspirasi dari filusuf Hanna Arendt dalam bukunya The Human Condition seperti ditulis fashionista.com, Jumat (22/2).

 "Kita adalah orang-orang yang memilih topeng saat tampil di panggung dunia. Tampilan kita juga berpotensi menimbulkan ambigu yang melibatkan cara kita berpakaian," ujar Arendt.

 

Topeng, penutup telinga, dan aksesori lainnya

Menurut Michele sendiri, topeng bisa mempunyai banyak makna. Seperti menyembunyikan dan mengungkapkan. Sebagai pertahanan dan tanda selamat datang.

Bukan hanya topeng, Michele juga memakai aksesori penutup telinga dari logam yang juga memiliki arti; meningkatkan pendengaran atau justru melenyapkan? Perhiasan tambahan lainnya adalah kalung kulit disertai paku 2 inci yang tampil kontras dengan koleksi busana motif floral yang lembut, renda romantis, kotak-kotak yang dinamis, atau perpaduan warna vibrant dalam satu look.

Apakah topeng, penutup telinga, paku-paku, serta segala instrumen pendukung show ini menggambarkan kondisi Gucci terkini? Terutama setelah kabar pemboikotan merek terpopuler tahun 2018 tersebut.

"Saya sangat menyesal. Dari kesedihan, saya belajar sesuatu. Ini harus digunakan untuk membuat sesuatu yang baru. Ini akan membantu kita melakukan berbagai hal dengan cara berbeda," ujar Michele melansir dari Vogue saat menjawab insiden jumper blacalava yang menyakiti hati orang kulit hitam usai fashion show. 

 

Kebabasan pakai heels atau sneaker

Maka hadirlah koleksi yang didominasi dari tahun 40an dengan blouse, jas, coat yang menekankan aksen bahu tajam yang ekstrem, pinggang mengecil, dan celana panjang mengkerut di atas mata kaki. Ada juga desain yang terinspirasi dari tokoh-tokoh semasa kecil seperti tunik Harlequin, kerah Pierrot, atau busana colorful yang mengingatkan pada clown.

Beberapa model juga menenteng sneakers sebagai gerakan membebaskan tumit dari rasa sakit saat memakai hak tinggi. Ia juga cukup banyak menghilangkan logo-logo besar atau lambang Gucci. Yang menarik ada pelindung lutut atau dekker olahraga melapisi tight brokad para model. 

Pakaian memang selalu menjadi sebuah kostum bagi Michele. Namun rasanya celana berpinggang tinggi, blazer double-breasted, kerah mencekik leher, trainers warna-warni menjadi detail yang akan dan masih banyak dirasakan pengaruhnya dalam fashion high street.

 

 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading