Sukses

FimelaMom

Kalimat yang Membekas Seumur Hidup, Dampak Ucapan Orangtua terhadap Psikologi Anak

Fimela.com, Jakarta Setiap ucapan orangtua memiliki kekuatan besar yang sering kali tidak disadari. Bagi anak, terutama di masa pertumbuhan, kata-kata dari orangtua bukan hanya sekadar suara, melainkan pesan yang membentuk pandangan mereka tentang diri sendiri dan lingkungan sekitar. Pujian yang tulus mampu menumbuhkan kepercayaan diri, sedangkan kritik keras atau celaan dapat menorehkan rasa takut dan rendah diri yang sulit sembuh. Tak jarang, luka batin akibat kata-kata orangtua di masa kecil terbawa hingga dewasa dan memengaruhi cara anak berpikir, bersosialisasi, bahkan mencintai dirinya sendiri.

Sayangnya, banyak orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata yang diucapkan saat emosi atau kelelahan bisa meninggalkan bekas mendalam dalam jiwa anak. Kalimat seperti “Kamu tidak bisa apa-apa” atau “Kenapa tidak seperti kakakmu?” mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tetapi justru menimbulkan rasa gagal dan tidak berharga. Berdasarkan sumber dari psychologytodday.com, anak yang tumbuh dengan ucapan semacam ini sering kali membawa beban emosional berupa kecemasan, perfeksionisme, dan keinginan berlebihan untuk selalu diterima. Hal-hal yang tampak sepele bagi orang dewasa dapat menjadi kenangan yang terus membekas di hati anak.

Kesadaran akan kekuatan kata menjadi kunci bagi setiap orangtua dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak. Menasihati dengan empati, memilih kata dengan bijak, serta memberikan apresiasi dan afirmasi positif dapat menumbuhkan rasa aman dan dihargai. Saat orangtua mampu berkomunikasi dengan penuh kasih dan pengertian, ikatan emosional dengan anak akan semakin kuat dan risiko luka batin dapat diminimalkan. Karena pada akhirnya, setiap kata yang keluar dari mulut orangtua adalah benih yang akan menentukan bagaimana anak tumbuh dan melihat dirinya di masa depan.

“Jangan nangis, lebay banget sih!”

Ucapan seperti “Jangan nangis, lebay banget sih!” mungkin terdengar ringan bagi orangtua, tetapi bagi anak, kalimat ini dapat membuatnya merasa bahwa menunjukkan emosi adalah hal yang salah. Ketika anak diminta menahan tangis atau dianggap berlebihan, ia belajar untuk menyembunyikan perasaannya agar tidak disalahkan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, sulit mengekspresikan emosi, dan kurang memahami dirinya sendiri.

Padahal, menangis adalah respons alami yang membantu anak meredakan stres dan menenangkan diri. Sebagai gantinya, orangtua dapat menunjukkan empati dengan mengatakan, “Kamu sedih, ya? Nggak apa-apa kok, Mama/Papa di sini.” Sikap penuh pengertian seperti ini membantu anak merasa diterima, divalidasi secara emosional, dan tumbuh dengan keseimbangan psikologis yang lebih sehat.

“Anak lain aja bisa, masa kamu nggak?”

Ucapan seperti “Anak lain aja bisa, masa kamu nggak?” mungkin dimaksudkan orangtua sebagai bentuk dorongan, namun sebenarnya dapat melukai perasaan anak secara mendalam. Perbandingan dengan orang lain membuat anak merasa kurang berharga dan menanamkan pandangan bahwa nilai dirinya bergantung pada pencapaian orang lain. Seiring waktu, hal ini bisa menumbuhkan rasa minder, iri hati, bahkan ketakutan untuk gagal karena merasa harus selalu sempurna agar diterima.

Kalimat semacam ini juga berpotensi merenggangkan kedekatan emosional antara anak dan orangtua, karena anak merasa tidak dicintai apa adanya. Sebagai gantinya, orangtua dapat memberikan dukungan yang membangun, misalnya dengan mengatakan, “Mama/Papa tahu kamu sudah berusaha, yuk kita coba lagi sama-sama.” Pendekatan penuh empati seperti ini menumbuhkan rasa percaya diri, mengajarkan anak menghargai proses, dan memastikan ia tahu bahwa kasih sayang orangtua tidak bergantung pada hasil.

“Sudah dibilang, kamu pasti salah.”

Ucapan seperti “Sudah dibilang, kamu pasti salah.” mungkin tampak biasa bagi orangtua, namun bagi anak, kalimat ini dapat menimbulkan rasa takut untuk mencoba dan meruntuhkan keyakinan pada kemampuan dirinya. Saat setiap kesalahan disambut dengan kritik, anak akan menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang memalukan, bukan sebagai bagian dari proses belajar. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang terlalu berhati-hati, takut mengambil keputusan, atau merasa harus selalu benar agar tidak dimarahi.

Lebih jauh lagi, ucapan seperti ini dapat melemahkan rasa percaya diri dan menciptakan keraguan diri yang terbawa hingga dewasa. Orangtua perlu mengganti respons tersebut dengan kalimat yang lebih membangun, seperti, “Nggak apa-apa, dari kesalahan ini kita belajar bareng-bareng, ya.” Dengan pendekatan yang penuh empati, anak akan merasa didukung, belajar menghargai proses, dan memahami bahwa melakukan kesalahan bukan berarti gagal, melainkan bagian dari pertumbuhan.

“Kamu tuh nggak pernah bikin orang tua senang.”

Ucapan seperti “Kamu tuh nggak pernah bikin orang tua senang.” bisa menjadi salah satu kalimat paling menyakitkan bagi anak, karena secara halus menyiratkan bahwa dirinya tidak cukup berharga di mata orangtua. Kalimat ini dapat membuat anak merasa gagal, tidak layak dicintai, dan percaya bahwa kasih sayang hanya akan diberikan jika ia mampu memenuhi ekspektasi tertentu. Dalam jangka panjang, perasaan tersebut dapat menumbuhkan rasa bersalah yang mendalam, keinginan berlebihan untuk selalu menyenangkan orang lain, atau kehilangan kepercayaan diri dalam menemukan jati diri. Anak yang terus merasa tidak pernah cukup baik bisa tumbuh dengan luka emosional yang sulit disembuhkan. Sebagai gantinya, orangtua dapat menyampaikan apresiasi dan empati dengan kata-kata yang lebih menenangkan, seperti, “Mama/Papa tahu kamu sudah berusaha, dan kami bangga dengan itu.” Kalimat sederhana namun tulus seperti ini mampu menegaskan bahwa cinta orangtua tidak bergantung pada pencapaian, melainkan pada penerimaan tanpa syarat. 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading