Sukses

FimelaMom

5 Tips Membangun Mental yang Kuat pada Anak

Fimela.com, Jakarta - Menjadi orangtua bukan hanya tentang memastikan anak tumbuh sehat secara fisik dan cerdas secara akademis. Di balik semua itu, ada satu aspek penting yang sering luput mendapat perhatian serius: kekuatan mental anak. Mental yang kuat bukan berarti anak tidak pernah menangis, tidak pernah takut, atau selalu terlihat tangguh. Mental yang kuat justru berarti anak mampu mengenali perasaannya, bangkit setelah gagal, berpikir lebih realistis, dan berani menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang sehat.

Banyak orang dewasa hari ini yang merasa kewalahan menghadapi tekanan hidup bukan karena kurang pintar, melainkan karena tidak dibekali keterampilan mental sejak kecil. Maka dari itu, membangun mental yang kuat pada anak sebaiknya dimulai sedini mungkin, melalui pola asuh yang sadar, konsisten, dan penuh empati. Berikut lima tips penting yang dapat diterapkan orangtua untuk membantu anak menumbuhkan kekuatan mentalnya seperti yang dirangkum dari laman Psychology Today.

1. Jadikan Kesehatan Mental sebagai Prioritas Keluarga

Sebagian besar orangtua sudah terbiasa mengajarkan anak tentang pentingnya menjaga kesehatan fisik, seperti menyikat gigi, makan bergizi, dan berolahraga. Hanya saja, kesehatan mental sering kali dianggap sebagai hal yang datang dengan sendirinya. Padahal, mental juga perlu dirawat dan dilatih, sama seperti tubuh.

Orangtua dapat mulai dengan menjadikan kesehatan mental sebagai topik yang wajar dibicarakan di rumah.

Misalnya, dengan membiasakan refleksi sederhana tentang hari yang dijalani, membicarakan stres, atau mengajarkan teknik sederhana untuk menenangkan diri. Anak perlu memahami bahwa menjaga pikiran tetap sehat adalah bagian dari tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Selain itu, penting pula untuk menanamkan pemahaman bahwa mencari bantuan profesional bukanlah tanda kelemahan. Sama seperti pergi ke dokter gigi saat sakit gigi, berkonsultasi dengan psikolog atau terapis adalah langkah bijak ketika mental sedang tidak baik-baik saja. Dengan cara ini, anak tumbuh tanpa stigma terhadap kesehatan mental.

2. Ajarkan Anak Mengenali dan Membicarakan Perasaan

Banyak anak tumbuh besar tanpa benar-benar memahami apa yang mereka rasakan. Mereka hanya mengenal emosi dasar seperti senang atau marah, tanpa mampu mengidentifikasi perasaan yang lebih kompleks seperti kecewa, cemas, iri, atau kesepian. Padahal, kemampuan mengenali emosi adalah fondasi utama dari kecerdasan emosional.

Orangtua dapat membantu anak dengan memasukkan kosakata emosi ke dalam percakapan sehari-hari.

Misalnya, mengatakan, “Ibu merasa lelah dan sedikit frustrasi hari ini,” atau bertanya, “Kamu terlihat sedih, apa yang kamu rasakan?” Dengan begitu, anak belajar bahwa semua emosi valid dan boleh diungkapkan.

Lebih jauh lagi, anak juga perlu diajarkan cara mengelola emosi tersebut. Bukan dengan menekan atau menghindari perasaan tidak nyaman, melainkan dengan memahami dan meresponsnya secara sehat.

Anak yang terbiasa berbicara tentang perasaan akan lebih siap menghadapi tekanan emosional di masa depan.

3. Latih Anak Berpikir Realistis, Bukan Sekadar Positif

Banyak orangtua memiliki niat baik ketika langsung menyanggah pikiran negatif anak dengan kalimat seperti, “Kamu pasti bisa” atau “Tidak mungkin kamu gagal.” Sayangnya, penguatan semacam ini sering kali tidak membantu anak membangun dialog batin yang sehat.

Anak perlu diajarkan cara berpikir realistis, bukan sekadar positif.

Ketika anak berkata, “Aku tidak akan pernah bisa matematika,” orangtua dapat mengajaknya menguji pikiran tersebut. Apakah benar tidak pernah bisa, atau sebenarnya sedang kesulitan pada satu materi tertentu?

Mengajarkan anak untuk membedakan antara pikiran yang berlebihan dan fakta yang sebenarnya akan membantu mereka membangun kepercayaan diri yang lebih kokoh.

Orangtua bisa menjadi contoh dengan membagikan pengalaman pribadi, seperti rasa gugup sebelum presentasi atau kekhawatiran menghadapi tantangan kerja, lalu menunjukkan bagaimana cara menenangkan diri dengan pikiran yang lebih rasional.

4. Tunjukkan Teladan Mengambil Tindakan Positif meski Emosi Tidak Mendukung

Salah satu pelajaran mental terpenting bagi anak adalah memahami bahwa perasaan tidak selalu harus mengendalikan tindakan. Anak perlu tahu bahwa meskipun sedang sedih, kecewa, atau malas, mereka tetap bisa memilih tindakan yang baik untuk dirinya.

Misalnya, anak yang pulang sekolah dengan perasaan kesal tetap bisa memilih beristirahat sejenak, menggambar, atau bermain di luar untuk memperbaiki suasana hatinya. Anak yang gagal dalam suatu kegiatan juga bisa memilih untuk berlatih kembali, alih-alih menyerah.

Orangtua berperan besar sebagai role model dalam hal ini. Ketika orangtua menunjukkan bahwa mereka tetap bertanggung jawab meski sedang lelah atau kurang bersemangat, anak belajar bahwa tindakan positif sering kali mendahului perasaan positif. Kebiasaan inilah yang membangun ketangguhan mental dalam jangka panjang.

5. Libatkan Anak dalam Proses Pemecahan Masalah

Naluri orangtua sering kali ingin langsung menyelesaikan masalah anak demi melindungi mereka dari rasa kecewa atau gagal. Mungkin Moms sendiri sering merasakan atau mengalaminya. Akan tetapi, terlalu sering “menyelamatkan” anak justru menghambat perkembangan keterampilan problem-solving mereka.

Moms, anak perlu diberi ruang untuk mencoba, gagal, dan belajar dari konsekuensi alami. Ketika anak menghadapi masalah, orangtua dapat mendampingi dengan mengajukan pertanyaan, bukan langsung memberi solusi. Ajak anak memikirkan beberapa kemungkinan solusi, lalu biarkan mereka memilih dan mencoba salah satunya.

Pendekatan ini mengajarkan anak bahwa masalah adalah bagian wajar dari hidup dan dapat dihadapi dengan strategi yang tepat. Anak yang terbiasa dilibatkan dalam pemecahan masalah akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan mandiri.

Membangun mental yang kuat pada anak bukan proyek instan, melainkan proses jangka panjang yang melibatkan seluruh keluarga.

Anak perlu melihat bahwa orang dewasa di sekitarnya juga terus belajar, berkembang, dan berusaha menjadi versi diri yang lebih baik.

Penting pula untuk menegaskan bahwa kekuatan mental berbeda dengan sikap keras atau menutup emosi.

Menangis, merasa sedih, atau mengakui lelah bukanlah tanda kelemahan. Justru keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan mau belajar dari pengalaman adalah inti dari kekuatan mental.

Dengan menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas keluarga, membangun komunikasi emosional yang sehat, serta memberi anak kesempatan untuk berpikir dan bertindak mandiri, orangtua telah memberikan bekal yang sangat berharga.

Bekal ini akan menemani anak tidak hanya saat mereka masih kecil, tetapi juga ketika kelak menghadapi realitas kehidupan yang penuh tantangan.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading