Sukses

Info

Kisah Qomarul Lailiah, Guru Bahasa Inggris yang Jadi Wasit Olimpiade Tokyo 2020

Fimela.com, Jakarta Wahyana bukan satu-satunya guru dari Indonesia yang menjadi wasit di Olimpiade Tokyo 2020. Ada pula guru lainnya yang juga menjadi wasit di ajang bergengsi tersebut.

Dia adalah Qomarul Lailiah, guru bahasa Inggris SD Negeri Sawunggaling 1, Kota Surabaya, Jawa Timur yang terpilih sebagai salah satu wasit perempuan di cabang olahraga (cabor) badminton Olimpiade Tokyo 2020.

Perempuan yang akrab disapa Lia ini merupakan satu-satunya wasit perempuan di Indonesia yang tersertifikasi sebagai sebagai wasit tingkat dunia dari Badminton World Federation (BWF). Padahal awalnya ia tidak berniat menjadi seorang wasit.

Mulanya, Lia adalah seorang mahasiswa prodi Sastra Inggris Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra (STIBA) Satya Widya, Surabaya pada tahun 2000. Berbekal nasihat gurunya yang mengatakan salah satu metode pembelajaran efektif adalah dengan mengajar, Lia akhirnya memutuskan menjadi seorang guru honorer di sebuah SD di belakang rumahnya.

Di sana, Lia bertemu dengan salah satu guru olahraga yang juga seorang wasit badminton tingkat provinsi. Guru yang bernama Bambang Wahyu tersebut kemudian mengajaknya menjadi wasit.

“Tapi saya menolak, saya bilang ‘saya pegang raket saja diketawain. Kalau lawan ibu PKK saya siap’. Beliau bilang, ‘wasit perempuan sedikit di Indonesia. Sementara itu, ilmu perwasitan bisa dipelajari’. Lalu saya diberi buku Law of Badminton. Terus terang, saya enggak baca karena tidak tertarik,” kata Lia saat dihubungi langsung oleh Tim FIMELA.

 

Kondisi wasit di Indonesia

Lia mengatakan, guru tersebut mengajaknya belajar menjadi wasit karena kepandaiannya berbahasa Inggris. Sebab, banyak wasit dengan ilmu perwasitan dan kepemimpinan kerap terhalang komunikasi bahasa internasional saat hendak naik tingkat menjadi wasit nasional.

“Padahal kepemimpinan wasit Indonesia tak kalah bersaing dengan luar negeri. Namun wasit Indonesia selalu gagal gegara masalah komunikasi. Mereka terbatas dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya,” terang perempuan 40 tahun itu.

Selain bahasa, Bambang juga mengungkapkan kebanyakan wasit Indonesia tidak mengerti buku Law of Badminton. Sebab, sampai saat ini buku Law of Badminton belum ada yang berbahasa Indonesia.

“Jadi ilmu badminton ini selalu berkembang. Setiap bulannya ada saja yang diperbaharui. Dan itu teksnya dalam bahasa Inggris. Nah inilah yang menjadi kelemahan dari teman-teman kita. Akhirnya mereka enggak mengerti peraturan yang sebenarnya. Mereka cuma mempelajari dari versi Indonesia yang ‘katanya’. Padahal itu belum tentu benar,” kata Lia.

Pernah diteriaki pemain

Hingga suatu ketika, Bambang mengajak Lia untuk membantunya menjadi hakim garis di sebuah pertandingan kecil. “Jadi ternyata saat itu beliau sedang mengajar privat dan saya diminta untuk jadi hakim garisnya. Beliau bilang, ‘kamu kan anak kuliahan, nanti bisa dapat tambahan duit (jadi hakim garis)'. Akhirnya dari situlah saya belajar,” kata Lia.

Selanjutnya, oleh koordinator wasit di Surabaya Lia diikutkan pelatihan dan menjalani ujian wasit tingkat provinsi di tahun 2000. Hasilnya, Lia lulus.

Lia menceritakan awal memimpin pertandingan tidaklah mudah. Dirinya 'babak-belur' karena banyak diprotes pemain. Tekanan mental menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Lia saat menjadi wasit.

“Mereka juga sedikit tricky karena tahu saya wasit baru. Jadi mereka mencoba menguji mental saya. Bahkan, saya pernah diteriaki ‘kok begitu keputusannya? ini wasit lulusan mana, harus sekolah wasit lagi,” kata Lia tertawa mengingat kejadian tersebut.

Namun, kejadian itu tak membuatnya putus asa. Lia tetap percaya diri memimpin pertandingan. Hal inilah yang menjadikannya nilai plus dalam menjadi wasit. “Efek yang saya dapatkan dari wasit adalah saya menjadi belajar bagaimana menghadapi orang dengan kepercayaan diri yang tinggi,” lanjut ibu dari dua anak itu.

Sempat vakum

Lia menuturkan, perjalanan kariernya sebagai wasit beberapa kali terhenti saat hamil dan melahirkan dua buah hatinya. Terlepas dari kebahagiaannya jadi ibu, ia harus belajar menyiapkan mental lagi sebelum memimpin berbagai pertandingan.

Setelah lulus ujian nasional B sebagai wasit di tahun 2003, ia lulus di ujian nasional A di momen Indonesia Open. Sebagai informasi, berbeda dengan ujian nasional B, ujian nasional A mewajibkan wasit menguasai bahasa Inggris.

Usai dinyatakan lulus ujian nasional A, Lia dikirim lagi mengikuti sertifikasi wasit tingkat Asia, dan hasilnya Lia lulus bahkan masuk ke dalam 3 besar. “Saya senang sekali, alhamdulillah lulus masuk 3 besar. Karena masuk 3 besar, tahun depannya saya dikirim lagi ke Badminton Asia Certificated di Macau, China. Dan alhamdulillah lulus juga,” tutur Lia.

Hingga pada 2017, Lia lulus ujian wasit Badminton World Federation Certified Umpire. Dengan sertifikasi dari BWF ini, Lia sudah memegang sertifikasi wasit di level tertinggi untuk badminton internasional.

Awal mula jadi wasit Olimpiade Tokyo 2020

“Untuk menjadi wasit Olimpiade, salah satu persyaratannya adalah harus memegang sertifikasi wasit BWF. Nah, saya itu seharusnya sih belum, karena saya baru lulus di tahun 2017 yang seharusnya ada waktu tunggu untuk bisa jadi wasit Olimpiade,” terang Lia.

“Namun, saya kaget karena menerima tugas itu di tahun 2018 akhir. Saya hubungilah PBSI ‘Apa ini enggak salah? di atas saya kan masih ada pak Wahyana senior saya’. Lalu mereka bilang, ‘Iya enggak salah, jadi alhamdulillah Indonesia dipercaya membawa dua orang wasit’. Kami bangga sekali, pak Wahyana juga senang sekali ada teman. Apalagi saya, karena ada senior saya,” cerita Lia.

Rupanya, salah satu syarat Olimpiade adalah Gender Equality atau kesetaraan gender. Kebijakan tersebutlah yang membuatnya ditugaskan sebagai wasit di Olimpiade Tokyo 2020.

“Jadi 30% dari Organizing Committee harus perempuan. Nah untuk memenuhi kuota 30% BWF memberikan kuota pada masing-masing benua. Dan alhamdulillah mereka mempercayakan Indonesia salah satunya. Mereka langsung sebut ‘itu Indonesia ada satu wasit wanita’. Jadi mereka menganggap kami sudah qualified untuk menjadi wasit Olimpiade,” lanjutnya.

Wasit perempuan tingkat dunia

Lia menjelaskan, saat ini di Indonesia yang memiliki sertifikasi BWF hanya dirinya dan Wahyana. Oleh karena itu, ia ditugaskan menjadi wasit di Olimpiade tahun ini. Lia menjadi salah satu dari 6 wasit perempuan di dunia yang terpilih memimpin pertandingan Badminton Olimpiade Tokyo 2020. Sementara, 5 wasit lainnya berasal dari Malaysia, Filipina, China, New Zealand, dan Estonia.

Di Olimpiade Tokyo cabor badminton, Lia memimpin pertandingan penyisihan Grup B ganda putra Jepang-Denmark. Kemudian di perempat final, Lia memimpin ganda campuran antara Thailand-Denmark. Di perempat final, ganda putri Belanda-Korea. Dan terakhir, di babak semi final China-Korea.

“Saya ingin berterima kasih kepada PBSI kota Surabaya dan KONI kota Surabaya yang selalu bersedia saya repoti jika mau berangkat bertugas. Kedua instansi ini lah yang mengurusi perizinan saya untuk Olimpiade Tokyo,” tutur Lia.

Pelajaran penting sebagai seorang wasit

Sebagai seorang guru bahasa Inggris, Lia mengungkapkan ada beberapa hal yang didapatkan dan bisa diterapkan untuk pekerjaan sehari-hari terutama menjadi guru.

“Yang pertama adalah kedisiplinan. Sebab, jika kita ingin berhasil di semua sektor itu disiplin nomor 1. Kita tentu tahu, atlet itu harus disiplin jika ingin berhasil menjadi pemain tingkat dunia. Baik itu disiplin waktu, disiplin makanan, disiplin bergaul dengan teman. Nah, kedisiplinan itu yang selalu saya tanamkan kepada murid-murid saya,” kata Lia.

Kedua, adalah tentang kepercayaan diri. Lia menilai selama ini kemampuan anak-anak Indonesia itu tidak kalah bersaing dengan anak-anak luar negeri. Hanya saja, anak-anak Indonesia kurang memiliki rasa percaya diri.

“Karena saya orang Surabaya, saya bilang ke anak-anak saya. ‘kalian ini arek-arek Suroboyo, harusnya bisa jadi bonek (bondo nekat)’. Bonek itu maksudnya punya sifat wani (berani). Jadi berani mencoba, berani gagal, dan berani malu. Contohnya, kalau kamu ingin bisa lancar bahasa asing atau bahasa Inggris, ya jangan malu untuk berbicara. Jadi harus nekat, makanya saya bilang bonek. Nekat aja, nanti kalau salah pasti ada yang membetulkan. Dan kalau dibetulkan enggak boleh sakit hati. Jadi anak-anak kita ini perlu dibangun rasa kepercayaan dirinya,” tutur Lia.

“Yang ketiga, itu never give up. Suasana kemarin Greysia Polii dan Apriyani itu luar biasa semangatnya. Jangankan kita, lawannya dari negara lain itu pun sampai terenyuh merasakan atmosfer semangatnya dua anak ini. Jadi everything is possible, enggak boleh nyerah. Gagal ya coba lagi. Ini yang selalu saya tekankan pada siswa saya,” sambungnya.

Harapan Lia

Dengan keikutsertaannya di Olimpiade Tokyo, Lia berharap dapat menginspirasi wasit junior lainnya untuk terus mengimprovisasi diri, terutama mengasah kemampuan berbahasa Inggris.

“Ini syarat mutlak yang harus dimiliki para wasit Indonesia supaya karirnya bisa go internasional. Kedua, kita harus selalu update diri kita dengan pengetahuan yang terbaru. Salah satunya tentang law of badminton, jadi harus terus bela belajar peraturan dan instruksi segala petugas di lapangan,”

“Ketiga, jangan malu bertanya. Jangan cepat berpuas diri, ini yang akan merugikan diri kita sendiri. Belajar dan terus belajar,” pungkas perempuan kelahiran Surabaya 24 September 1977 itu.

 

#Elevate Women

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading