Sukses

Lifestyle

Meski Postur Tubuhku Mirip Cowok, Pahamilah Aku Pun Ingin Cantik

Memiliki postur tubuh yang berbeda kadang memberi pengalaman yang tak mengenakkan. Kadang malah bisa membuat kita jadi merasa rendah diri saat bergaul. Tapi setiap orang bisa bahagia dengan caranya sendiri, seperti kisah yang dialami salah satu sahabat Vemale ini untukĀ Lomba Menulis #MyBodyMyPride.

***

"Kamu itu cowok."

"Ayo bantuin angkat ini, kamu kan cowok."

"Halah mana punya dia peralatan cewek, dia kan cowok."

Cowok.

Cowok.

Cowok.

Kalau mengingat ulang semua kalimat tersebut terucap dari mereka, pada waktu itu, rasanya sudah cukup sampai sekian saja hidup ini.

Kenalkan, aku Gadis. Perempuan tulen yang memiliki badan bongsor. Tinggi badanku di atas rata-rata teman cewek sebayaku. Aku juga memiliki ukuran bahu yang lebih lebar dari mereka, sehingga pakaian-pakaian lucu yang membuat kaum hawa tampak cantik, anggun, cute, dan memikat tak pernah muat untuk tubuhku. Ukuran badan ini lebih pas ketika digiring ke deretan baju laki-laki.

Postur tubuhku ini juga yang membuat aku lebih bisa diterima berteman dengan manusia berjakun. Tapi bukan berarti di sana aku dianggap "lebih" perempuan. Mereka memperlakukanku sama.

Terbuai dengan kondisi tersebut, lama-lama membuatku berpikir ya ini memang jalan hidupku. Sandal gunung, kaos cowok, tas ransel besar, celana jeans, dan sebagainya adalah perhiasan wajib yang harus menempel setiap harinya.

Semakin lama aku merasa nyaman. Bahkan tidak menyadari bahwa bahasa tuturku dan juga sikapku terlalu kasar untuk ukuran seorang gadis. Hal itu juga yang akhirnya membuatku kesulitan untuk berbaur dengan teman-teman perempuanku. Bisa dihitung dengan jari teman perempuanku yang bisa maklum dan sudah lolos seleksi alam untuk bisa berkomunikasi denganku dan menerima kurang dan lebihku ini.

Pernah, aku mencoba bergabung dengan para gadis lain. Mencoba masuk pada apa yang mereka bicarakan. Fashion, make up, shopping,koleksi, perawatan rambut dan tubuh, cowok, belajar masak, dan seterusnya.

Jengah. Bukan karena tidak suka dengan topik obrolannya. Aku suka fashion, aku suka make up, aku suka cowok (actually, I'm straight). Tapi aku tidak bisa masuk ke obrolan itu hanya karena aku berbeda, seperti yang aku sebutkan tadi.

Bayangkan saja, para gadis itu bermake up, berdandan stylish, kulitnya bersinar tanda sering perawatan, kuku di jemarinya berkilau warna warni, dan mereka membicarakan hal yang girly. Itu sangat sedap dipandang maupun didengar. Lalu tiba-tiba aku masuk, di bagian make up misalkan, cewek tomboy macam aku mau nimbrung apa sih, hehe.

Akal sehatku datang. Aku sedang mengalami krisis identitas. Kalau begini terus-terusan, aku hanya bisa ada di antara teman perempuan dan teman laki-laki. Tidak benar-benar bisa menjadi bagian dari mereka, seutuhnya.

Bukan tidak pernah aku mencoba untuk berubah. Atau mungkin lebih tepatnya kembali ke kodrat sebagai perempuan. Pernah. Aku ingat, saat aku jatuh hati kepada seseorang, aku mencoba berpenampilan "sewajarnya" sebagai gadis. Ada keinginan untuk sekadar memperlihatkan pesona, "Hey, lihatlah gadis ini. Cantik bukan?"

Tapi ternyata jalan kembali tak pernah semulus yang dibayangkan. Terbiasa melihat sosok tomboy yang suka seenaknya bertutur dan bersikap, membuat mereka, bahkan dia, melontarkan kata-kata yang saat itu terdengar menyakitkan. Hujan kritik menghabisi penampilan "perempuanku". Mereka memang melihat aku ikut tertawa bersama ucapan-ucapan itu. Tapi tak ada yang benar-benar tahu bahwa hatiku teramat sangat terluka.

Semua bayi yang akan terlahir ke dunia, kalau mereka bisa mengirimkan proposal langsung ke Tuhan, pasti menginginkan kesempurnaan. Apalagi masalah fisik.

Aku tidak pernah minta terlahir bongsor dan berbeda dengan gadis lain. Akan selalu begitu dan tidak akan kenal terima kasih bahkan syukur, jika apa yang menggema di telingaku sepanjang hidup ini adalah omongan miring orang tentang apa yang membuatku berbeda.

Tidak akan pernah ada habisnya ketika kita mencoba menuruti mereka. Sudah cukup. Belasan tahun mendengarkan nyanyian parau mereka tidakkah membuatku akhirnya terbiasa? Terbiasa dihina? No! Tapi terbiasa untuk kuat dan melanjutkan hidup, dengan aku dan kelebihanku ini.

Dulu, tidak pernah terlintas sama sekali betapa sedihnya perasaan orang tuaku saat tahu anak gadisnya. Anak yang mereka lahirkan dan mereka besarkan ini menjadi anak yang rendah diri.

Oke, saatnya melakukan sesuatu.

Selepas perayaan kelulusan, aku diterima kerja sebuah perusahaan di kota impianku selama ini. Kota di mana aku ingin tinggal dan menghabiskan sisa waktu di sana. Kemudian aku resmi pindah dan menjadi satu di antara pendatang di sana.

Pelan-pelan aku mengenal kota ini. Ramah dan sederhana. Tidak ada pembeda di kota ini. Seakan semua orang dengan keunikan dan karakter masing-masing selalu mendapati rumahnya di sini. Aku diterima dengan baik. Aku merasa terlahir kembali.

Perlahan aku menata hidupku. Memulai hidup baru dengan penampilan baru. Hijab gaya baru, flat shoes, bedak, lipstick, parfum, dan tidak lupa untuk selalu tersenyum. Membalas kebaikan seisi kota dengan ikut menjadi orang yang ramah.

Berjibaku dengan pekerjaan yang juga menjadi passion-ku selama ini membuatku menjadi lebih hidup. Terlebih aku mencintai kota rantau yang kini aku tinggali. Kebanyakan orang yang bersamaku di kota ini menjadi kawan bicara yang mengasyikkan. Mereka tetap mau menghabiskan waktu bersamaku, baik ketika aku berpakaian perempuan atau sedang "kumat" dengan kaos dan sandal gunungku. Tapi setidaknya aku bisa lebih jujur pada diriku, menjadi aku yang apa adanya dan diterima dunia dan seisinya. Membahagiakan.

Hal itu juga yang membuat beberapa teman semasa kuliah kaget melihat penampilan baruku. Walaupun aku mencoba mengenakan kaos dan sandal gunung untuk mengembalikan ingatan mereka tentang temannya ini, namun tuturku yang sudah jauh berbeda. Lebih lembut dan nyaman di telinga, membuat mereka terheran-heran.

Kata-kata menyakitkan itu sudah tidak pernah terucap, karena bayangan masa lalu dan kenyataan di depan mata mereka begitu berbeda. Gadis ini bukan gadis yang mereka hina dulu, yang mereka samakan dengan cowok. Gadis ini sudah berdamai dengan perbedaan yang dimiliki dan menyukai badan bongsornya yang kini terlihat lebih ramping karena mulai memperhatikan penampilan sejak bekerja.

Kebahagiaan juga semakin terpancar ketika ada seseorang yang kini bisa benar-benar menerima gadis berbadan bongsor, yang tampak mungil ketika disandingnya.

Pria itu tidak peduli, baik saat aku tampil cantik maupun tak berbedak sekalipun. Tak membuatnya melepaskan hasrat untuk melonggarkan genggaman tangannya saat menyusuri keramaian di tengah kota bersamaku. Ini indah. Dan sekali lagi aku sangat bahagia.

Ladies, memang terkadang omongan miring orang lain bikin hati terasa sangat pilu. Melihat kita berbeda dari mereka juga membuat rendah diri menghinggapi.

Tapi lihatlah ke dalam dirimu. Sosokmu juga perlu diperjuangkan agar tidak terus menerus dihina orang. Setidaknya lakukan sesuatu untuk membungkam mereka, yakni dengan membuktikan bahwa hal yang tak mungkin sekalipun justru kini menjadi identitas diri yang melekat pada dirimu.

Semoga menginspirasi sepenggal ceritaku ini ya, Ladies!

Salam hangat,

Gadis (bukan nama sebenarnya)

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading