Sukses

Lifestyle

Editor Says: Mikirin Fenomena Artis Dadakan Di Era Digital

Fimela.com, Jakarta Di era digital begini, rasanya semua orang punya peluang yang sama besar untuk jadi publik figur. Padahal sebelumnya, orang yang mau "dapat panggung" itu harus punya keahlian yang spesifik seperti nyanyi, akting, nari, olahraga, membangun bisnis besar, membuat gebrakan politik dan semacamnya. Itu juga nggak ada jaminan akan mematikan persaingan.

Sekarang? Semua bisa dirintis selama punya koneksi internet.

Balik ke pernyataan awal; di era digital begini, rasanya semua orang punya kesempatan yang sama besar untuk jadi publik figur. bahkan tanpa perlu menonjolkan kemampuan yang spesifik seperti yang telah disebutkan juga sebelumnya. Cukup modal konten bombastis and.... voila! Dapat panggung.

Ya, seseorang dengan modal konten bombastis aja bisa dapat panggung, kemudian jadi terkenal dan banyak uang. Kemudian setelah banyak uang dari konten yang bikin mereka dikenal itu, mereka memutarbalikkan sudut pandang ke arah lain. Dengan citra yang sepositif mungkin, tentu.

Terkenal aja dulu, urusan lain-lainnya dipikirin nanti aja. (Foto: giphy.com)

Lalu apa yang mereka tawarkan kepada audiensnya?

Pernah ada masanya, Jonru mencuat ke permukaan karena kritik-kritik tak logisnya terhadap pemerintahan presiden terpilih. Lalu dari jagad hiburan, pada masa-masa awal ramainya Twitter ada radiogalaufm dengan cuitan kegalauan khas abege labil yang mengundang banyak orang curhat lewat retweet. Oh, ya, kemudian istilah selebtweet pun muncul untuk disandangkan pada akun-akun dengan pengikut yang banyak. Di instagram, ada juga istilah selebgram untuk akun-akun ber-followers banyak. Belum lama ini, video blog alias vlog juga menjadi fenomena tersendiri. Meski bisa dibilang, vlog itu hanya sebutan baru. Toh, YouTubers yang konsisten mengisi lamannya dengan hiburan-hiburan berkonsep sudah ada sejak dulu. Berkonsep lho, ya. Bukan hanya dokumentasi kegiatan sehari-hari mulai mereka bangun tidur, sarapan, olahraga, berangkat nge-mall, makan di fancy resto, dan setumpuk aktivitas hura-hura lainnya. Eh, jangan lupa "liburan" dimasukkin ke dalam daftar tema isi vlog.

Apa yang Bisa Mereka Sajikan untuk Audiensnya?

Tak jarang, para publik figur dadakan itu menyajikan ke-"liar"-an hidupnya. Beberapa dari mereka tak ragu mempublikasikan momen-momen di mana mereka lagi "naik-naik"-nya di sebuah klub malam, memamerkan keintiman dari kehidupan pribadinya bersama pasangan yang penuh dengan adegan ciuman (juga merebahkan badan yang dibalut bikini seksi di atas badan pacarnya, eh maap) yang bagi sebagian orang mungkin masih terlalu tabu untuk dipertontonkan. Kata-kata umpatan kasar yang lumrah bagi segolongan remaja ibukota pun tak absen dari konten mereka.

Lalu ketika ditanya "emang nggak takut dibilang merusak generasi muda yang mungkin menontonnya dan menjadikan kamu idola?" mereka akan menjawab, "nggak. aku cuma mau jadi diri aku sendiri aja."

OK.

Gue cuma berusaha jadi diri sendiri kok, masalah buat lo? (Foto: giphy.com)

Kadang saya bertanya-tanya, mereka yang memilih dikenal dengan "jadi diri sendiri" yang seperti itu, pahamkah dengan fungsi media yang sesungguhnya tak hanya sebagai sumber hiburan dan informasi tapi juga untuk mengedukasi, serta sarana kontrol sosial? Tapi kemudian saya tahu jawabannya; nggak. Atau; mereka tahu, cuma lebih memilih untuk mengabaikannya saja. Ya lagian, ketika mereka bisa mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan (let's say, endorsement, iklan berbayar, kesempatan bikin buku, bikin single, jadi artis, dll), urusan mendidik atau nggak, jadi influencer yang positif atau nggak, bisa dinomorsekiankan. Ya, nggak? Hari gini, money talks.

Masa bodo mereka dihujat karena dianggap memberi pengaruh negatif, dari situ mereka dapat keuntungan banyak, kok. Kalau ada yang berkata sinis tentang mereka, mereka tinggal jawab "gue gini, lo hujat, lo benci, tapi gue bisa punya banyak duit. Gue bisa ngasih orang duit. Gue bisa blablabla.. blablablabla.. (silahkan sebutkan hal hal lain dengan takaran materi). Lo yang menghujat gue bisa dapat segitu nggak? Gue punya karya, lo punya apa?"

Biar aja orang berkata apa, yang penting dikenal dan banyak uang. (Foto: giphy.com)

Pembenaran standar para "artis" dadakan yang nggak mikirin efek konten yang mereka sajiin ke audiens; bawa-bawa "karya".

Kalau pencapaian materi selalu dijadikan pembenaran untuk menyajikan "karya" yang nggak baik-baik banget untuk ditonton apalagi ditiru itu, lalu berapa banyak lagi orang yang akan terinspirasi untuk menjual apa saja yang bisa dijual dari mereka--asalkan mereka bisa mendapatkan banyak uang, bisa menghidupi keluarganya, menraktir teman-temannya serta membiayai hidupnya yang penuh gaya?

Ah, sudahlah. Mohon maaf atas curhatan yang nggak jelas arahnya ini. Kalian semua suci, aku penuh dosa~

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading