Sukses

Lifestyle

Berkeluh-Kesah = Melakukan Kekerasan Verbal?

Next

Semua tahu keluhan tak akan melahirkan penyelesaian atas suatu masalah, tapi menjadi kebiasan yang dilakukan banyak orang saat menghadapi situasi yang kurang menguntungkan. “Mengeluh hal yang paling mudah dilakukan sebagai pelampiasan, supaya sedikit lega. Tapi, kalau dengar orang terus-menerus mengeluh jengah sendiri,” ungkap Wiwid (28 tahun, administration staff). Senada dengan Wiwid, Innes (21 tahun, mahasiswi) juga merasa keluhan adalah hal yang membuat candu, padahal berefek buruk. “Buruk untuk diri sendiri maupun orang lain. Mood negatif sangat gampang menular. Misalnya, kalau teman mengeluh tak mood, aku juga ikut terbawa jadi tidak mood,” papar Innes.

Ternyata, sisi negatif keluhan tak berhenti di situ saja. Masih ada hal lain yang mengancam kita, yaitu bicara sembarangan. Bermula dari keluhan biasa, arah pembicaraan bisa menjadi fokus pada satu atau sekelompok orang. Dan, akan makin menjadi bila lawan bicara menanggapinya dengan girang. Artinya, dari tujuan semula melampiaskan perasaan, berubah jadi penghakiman atas situasi maupun orang yang membuat kita merasa tak nyaman. “Perasaan nggak terima membuka kesempatan orang mencari kambing hitam, bisa berupa bahan gosip, fitnah, sampai pelampiasan langsung,” kata Vio (22 tahun, mahasiswi). Sementara Cisca (31 tahun, HR staff) berbagi kisah, “Keluhan membuatku nggak pernah puas sama satu situasi dan memancing untuk terus melihat hidupku dan orang lain dari sisi negatifnya. Jadi, bawaannya pengin terus mengkritik. Akhirnya nggak nyaman sendiri. Itu yang sekarang membuatku belajar berpikir positif, perkataan pun jadi lebih positif.”

Next

Bagaimana bila kita ada di posisi sebagai pendengar keluhan orang lain? Lama-lama, pasti lelah juga mendengar keluhan yang ujungnya mengarah pada satu tersangka. Kalau tak peka, dari niat semula menjadi pendengar setia teman yang butuh telinga, kita malah nimbrung bergosip ria dan lupa menjaga perkataan. “Perempuan tuh, kalau sudah kumpul dan curhat berbahaya. Omongannya nggak terkontrol,” Vio kembali menimpali. Ini pulalah yang jadi tantangan tersendiri buat kita, para perempuan, untuk mengendalikan pikiran dan perkataan saat dihadapkan pada “topik seru”, apalagi kalau bukan bergosip dan bicara seenaknya.

Kalau kita selalu bersikap positif, menurut psikolog Vivien Gunawan dari Universitas Indonesia, cukup hadapi teman yang berkeluh kesah dengan mendengarkan atau memberinya masukan. Intinya, membangkitkan lagi semangatnya. Namun, jika kita merasa tak cukup kuat dan tak siap mendengar keluhannya, sebaiknya menghindar agar tak ikut terbawa pola pikir negatifnya. Intinya, hidup dalam lingkungan yang selalu berpikir positif akan membentuk kita menjadi pribadi positif. Karena, cerminan pemikiran kita terlihat jelas dari apa yang kita bicarakan. Pikiran negatif, perkataan yang keluar dari mulut sudah bisa dipastikan negatif, berlaku pula sebaliknya.

Lagipula, hidup tak selalu berisi hal-hal menyenangkan, Fimelova. Apa lantas makin sering menghadapi situasi tak sesuai harapan, makin sering pula kita mengeluh? Hal itu hanya membuat energi dan semangat habis karena diri sendiri mudah menyerah. Makin banyak pula waktu terbuang untuk memikirkan hal sia-sia, termasuk bila kita akhirnya menjadikan keluhan sebagai candu yang melibatkan orang lain di dalamnya, untuk satu tujuan, menanggung kekesalan kita. Sudah merugikan diri sendiri, masih membuat orang lain tersinggung. So, membiarkan diri terus mengeluh dan bicara sembarang, atau lebih memilih menjadikan hal yang membuat diri sendiri tak nyaman itu sebagai “warna” dalam keseharian? Kamu sendiri yang menentukan.

Empowered by:

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading