Fimela.com, Jakarta Dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya kita harus menghadapi kehilangan yang tak bisa dihindaari—sesuatu yang dapat mengguncang seluruh aspek kehidupan yang kita jalani. Duka bisa didefinisikan sebagai perasaan yang sangat personal, datang dalam berbagai bentuk, dan seringkali datang tanpa tanda.
Duka bahkan bisa mengubah cara kita melihat dunia dan membuat kita merasakan kesendirian meskipun dikelilingi orang-orang tercinta. Terkadang, dalam kesedihan yang mendalam, kita merasa seakan tak ada lagi yang mampu mengembalikan keadaan seperti semula, dan segala hal menjadi kabur
Rasa duka ini sering kali tak hanya berupa air mata yang menetes, tetapi lebih kepada ketidakpastian yang harus dihadapi dalam upaya untuk terus melangkah dan melanjutkan hidup. Begitulah kira-kira yang bisa kita rasakan dalam novel Intermezzo karya Sally Rooney.
Advertisement
Melalui kisah dua saudara, Peter dan Ivan, kita diajak untuk merasakan bagaimana duka bisa menyusup dengan cara tak terduga ke dalam hidup mereka, mengubah cara mereka berinteraksi, dan memberi warna baru pada dinamika keluarga. Dalam Intermezzo, kehilangan bukan hanya tentang apa yang tidak lagi ada, tetapi juga tentang bagaimana kita berusaha memahami diri kita sendiri dan orang-orang terdekat kita setelahnya. Serta perjuangan untuk melanjutkan hidup dengan lembaran baru.
Advertisement
Blurb Intermezzo
Judul: Intermezzo
Penulis: Sally Rooney
Penerjemah: Rio Johan
Penyunting: Ipank Pamungkas
Penyelaras Akhir: Francisca Ratna
Tata Letak: S. Makruf
Ilustrasi Sampul: Sekar Bestari
Rancang Sampul: Katalika Project
Cetakan I, 2025
Penerbit: Shira Media
***
"Tubuh adalah objek yang tidak memiliki perasaan, yang digerakkan oleh kepekaan yang tidak dimilikinya, seperti mobil yang tidak memiliki perasaan yang digerakkan oleh pengemudi yang memiliki perasaan yang digerakkan oleh pengemudi yang memiliki perasaan. Kurang lebih semua orang dapat menerima kematian tubuh dan pikiran setelah melewati titik tertentu, seperti setelah usia sembilan puluh tahun, katakanlah, atau setidaknya dapat menerima secara teori kalau engkau tidak terlalu memikirkannya. Tetapi bisakah menerima bahwa hanya karena tubuh mati, pada suatu titik waktu, lantas pikiran juga harus mati, dan secara harfiah kapan saja bisa terjadi?" (hlm. 31)
"Dan bagaimana kalau hidup hanyalah kumpulan pengalaman yang pada dasarnya tidak berhubungan? Mengapa orang harus mempelajarinya dengan penuh makna dari orang lain?" (hlm. 56)
***
Intermezzo membawa kita masuk ke dalam kisah emosional dua saudara, Peter dan Ivan Koubek, yang tengah menghadapi masa berkabung setelah kehilangan ayah mereka.
Peter, sang kakak, adalah pengacara yang disiplin dan terstruktur, sementara Ivan, adik yang lebih muda, adalah seorang pemain catur berbakat dengan kepribadian cenderung lebih tertutup dan sensitif. Kematian sang ayah menjadi titik balik yang tidak hanya memengaruhi hidup mereka, tetapi juga mengguncang fondasi emosional yang telah lama tersembunyi di antara keduanya.
Ivan cenderung memendam emosinya dan menemukan pelarian dalam dunia catur, sedangkan Peter lebih rasional dan mencoba mengendalikan semua aspek hidupnya. Ada dinamika baru yang terbentuk di dalam hubungan mereka sebagai kakak adik. Belum lagi dengan hadirnya perempuan-perempuan yang dekat dalam keseharian mereka, ada gejolak baru yang harus dihadapi oleh mereka berdua.
Hubungan antara Peter dan Sylvia, cinta pertamanya, menggambarkan dinamika yang penuh dengan kenangan masa lalu yang membekas, tetapi juga menghadapi tantangan seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, hubungannya dengan Naomi, seorang mahasiswi muda, juga memiliki problema baru. Menjalin hubungan dengan dua perempuan di tengah masih dalam proses berduka jelas bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani.
Sementara itu, hubungan Margaret dengan Ivan menghadirkan gejolak baru. Usia Margaret yang jauh lebih tua dan masa lalu yang masih belum benar-benar tuntas menambah kompleksitas hubungan yang mereka jalin. Ada perjalanan emosional yang harus dihadapi bersama.
Rooney mengeksplorasi emosi dengan cara yang sangat khas: tenang dan dalam. Melalui karakter Peter dan Ivan, kita diajak melihat bagaimana orang-orang memproses kesedihan dengan cara yang sangat berbeda.
Gaya penulisan Rooney yang melankolis dan kontemplatif tetap terasa kuat di novel ini. Dengan narasi yang lebih personal, kita seolah ikut menguping pikiran para tokoh.
Banyak adegan yang ditampilkan lewat momen-momen tanpa banyak bicara, dialog internal, dan gestur kecil. Ledakan emosi bahkan tidak terasa dalam narasi di novel ini. Justru dalam setiap detail dan alunan lambat dalam novel itulah kita bisa merasakan kedalaman batin tokoh-tokohnya. Hal tersebut menjadikan Intermezzo terasa sangat personal.
Salah satu kekuatan besar dalam novel ini adalah cara Rooney menyulap rutinitas harian menjadi bahan refleksi filosofis. Kegiatan seperti sarapan pagi, berjalan kaki, hingga permainan catur diangkat menjadi cerminan atas perenungan hidup, identitas, dan relasi antar manusia.
Rasanya tak ada konflik besar yang mendominasi, tetapi justru pergulatan batin yang dalam membuat kita merasa dekat dan tersentuh oleh kisah di dalamnya.
Relasi antara Peter dan Ivan dibangun dengan penuh nuansa: kadang penuh kasih, kadang menyakitkan, kadang membingungkan. Kita diajak menyadari bahwa hubungan keluarga, terutama antar saudara, tidak selalu harmonis. Ada rasa tanggung jawab yang bercampur dengan rasa bersalah, ada cinta yang tak terucapkan, dan ada luka lama yang belum pulih. Rooney tidak memberi jawaban pasti atas dinamika ini—ia justru mengajak kita untuk mengamati dan merasakan kompleksitasnya.
Permainan catur yang menjadi bagian dari hidup Ivan juga bukan sekadar aktivitas latar. Permainan catur seperti menjadi simbol dari cara kita mengelola emosi, mengambil keputusan, dan memahami lawan bicara dalam hidup.
Dalam keheningan papan catur, Ivan menemukan ruang untuk merasa aman, bahkan mungkin merasa hidup. Bagi kita yang pernah melarikan diri ke dalam hobi atau rutinitas saat hidup terasa berat, ini tentu terasa sangat relevan.
Tema kesedihan dan kesendirian hadir dengan kuat sepanjang cerita. Rooney menggambarkan bahwa berduka tidak selalu berarti menangis atau meratap, tapi bisa juga hadir dalam ruang dan jarak yang terbentuk dengan cara yang tak lagi sama.
Meskipun sedarah, Peter dan Ivan masih memiliki banyak pertanyaan terhadap satu sama lain. Perubahan dinamika kehidupan dari fase remaja hingga sama-sama dewasa pun menghadirkan banyak pengalaman baru. Salah satunya adalah soal seberapa sering kita merasa sendiri meskipun berada di tengah orang yang kita sayangi?
Di sisi lain, kita juga diajak untuk bertanya tentang identitas dan makna hidup. Peter sedang belajar menjadi lebih dewasa dan bijaksana, sementara Ivan tengah membentuk jati dirinya. Mereka berdua berada dalam fase hidup yang menuntut banyak keputusan penting. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial hadir tanpa jawaban pasti, tetapi justru karena itulah novel ini terasa begitu manusiawi dan tulus.
Intermezzo adalah novel dengan alur yang mengalun pelan. Narasinya bisa dibilang berjalan lambat, tetapi cocok bagi kita yang suka menikmati kedalaman karakter dan suasana kontemplatif.
Menariknya, akhir cerita Intermezzo tidak menawarkan penyelesaian dramatis. Seperti karya Rooney sebelumnya, kita tidak diberi jawaban final. Akhir cerita menjadi ruang refleksi: akankah Peter dan Ivan benar-benar bisa menemukan kedekatan emosional yang mereka butuhkan? Apakah kehilangan bisa menjadi jembatan baru untuk saling memahami?
Terjemahan novel Intermezzo dalam bahasa Indonesia masih terasa ada yang kurang pas, terutama pada beberapa kalimat yang terasa kehilangan maknanya atau sulit dipahami. Ada bagian-bagian yang terasa hilang atau frasa yang masih belum lengkap, yang membuat pembaca bisa saja kesulitan untuk menangkap makna yang dimaksud.
Jika kamu mencari kisah yang meledak-ledak dengan konflik besar, mungkin perlu menyesuaikan ekspektasi. Namun, jika kamu mencari cerita yang menyentuh batin dan menggambarkan pergulatan emosi dengan cara yang lembut dan apa adanya, maka novel ini bisa jadi rekomendasi yang menarik.