Sukses

Parenting

Fenomena Idola Instan di Kalangan Anak-Anak dan Remaja

Sekitar 15 tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku SD, tahun-tahun itu Westlife dan film seri Meteor Garden menjadi magnet yang begitu memabukkan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Setiap sudut mall memajang poster personil grup F4, pemain dalam film seri yang diadaptasi dari seri manga Jepang berjudul Boys Over Flower ini. Sementara itu, di radio dan televisi, wabah 'Fool Again'-nya Westlife pun tak kalah bikin hati setiap gadis kemrungsung dibuatnya.

Kesuksesan Westlife dan Meteor Garden merebut hati para remaja di era 2000-an, bisa dianggap cukup dahsyat. Bahkan, dari data yang saya dapatkan, album Westlife dengan title Westlife yang dirilis tahun 1999 itu menjadi salah satu album terlaris di Indonesia dengan penjualan sebanyak 1 juta kopi. Konser kuartet boyband asal Irlandia ini pun sukses meraup untung yang menggiurkan dengan jumlah penonton mencapai 8.800 orang! Wow!

Dari sisi dunia showbiz Indonesia, anak-anak dan remaja Indonesia era 2000-an juga begitu menggebu-gebu mengidolakan sosok Duta, Erros Chandra dan gengnya yang tergabung dalam Sheila on 7. Setiap kali mengadakan konser, grup band asal Jogja ini sukses menciptakan euforia massa (yang sebagian besar adalah remaja perempuan) yang tak terkendali. Hingga chaos pun terjadi di tahun 2000. 4 remaja putri tewas dan puluhan penonton lain terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena terdesak-desak saat ingin menonton penampilan idola mereka.

Beranjak ke era 2010-an, remaja-remaja Indonesia memiliki idola-idola baru. Sebut saja Agnes Monica, Peterpan (kemudian berganti menjadi NOAH), SM*SH hingga Cowboy Junior (kemudian berganti menjadi CJR). Artis-artis Asia pun tak luput dari kekaguman remaja-remaja Indonsia. Bahkan untuk menonton konsernya atau memuaskan hasratnya sebagai fans, remaja-remaja ini tak ragu merogoh kocek yang cukup dalam. Ya, semuanya demi memuaskan hasrat bertemu idolanya.

Hingga beberapa saat yang lalu, muncullah sosok Karin Novilda yang dikenal dengan nama maya Awkarin. Persona Karin di dunia maya memiliki daya tarik tersendiri untuk anak-anak dan remaja. Karin punya 'kesempurnaan hidup' yang ditawarkannya kepada mereka yang lebih muda: "We don't need goals, we are goals". Gaya Karin yang rebel, lengkap dengan hisapan rokok, gaya pacarannya dengan (mantan) pacar yang bernama Gaga, kata-kata umpatan berbekal kemewahan, menjadi gambaran hidup yang diimpi-impikan setiap remaja yang membutuhkan sosok panutan dalam hidupnya.

Karin bukanlah artis yang seliweran di layar televisi. Pun dengan nama YoungLexx dan Laurentius Rando. Mereka menetas menjadi sosok 'from-nothing-to-something' berkat Instagram, askfm dan Youtube. Vlog yang mereka buat secara rutin, menjadi mamahan adik-adik kita saat mengakses Youtube.

Lantas, apakah kita bisa meminta para seleb Youtubers, selebgram atau seleb askfm ini untuk berhenti? Nope, we can't. Mereka juga punya 'kepentingan' dengan konten-konten yang mereka ciptakan. Mereka ingin menjadi idola. Pertanyaannya, idola bagi siapa? Siapa yang mereka harapkan memujanya?

Bagi remaja yang masih dalam tahapan pencarian jati diri, idola dan kelompok adalah dua faktor yang berpengaruh besar. Remaja ingin diterima dalam kelompok sebagai salah satu support system dalam kehidupannya. Sementara, idola memberikan pengaruh dan contoh pengalaman, seperti 'pahlawan' di dunia nyatanya. Anak-anak dan remaja akan dengan mudah mengidentifikasi dirinya seperti layaknya para idolanya, dengan mengaplikasikan cara bicara, cara bersikap, gaya hidup bahkan visi-visinya.

Chela, yang dikenal sebagai seorang blogger yang sekaligus seorang guru SD, berpendapat, "Anak-anak adalah mesin fotocopy paling canggih. Guru dan orang tua juga tidak mudah buat meredam apa yang anak-anak lihat dan tiru dari TV (dan internet). Apalagi yang sudah masuk ke arah kekerasan, karena ada murid yang pernah berantem karena meniru sinetron. Kalau menurut saya, bagi orang tua dan guru, tidak hanya cukup dengan nasihat-nasihat saja. Harus disertai contoh perilaku, maupun perkataan. Antara orang tua dan guru juga harus ada komunikasi, apalagi terkait perilaku anak di sekolah."

Di era digital dan zaman serba mudah untuk mengakses apapun berdasarkan keyword, PR orang tua menjadi bertambah. Menurut Suria Riza atau yang biasa dipanggil Echa, seorang blogger dan ibu satu orang putra, komunikasi dan pemahaman orang tua tentang teknologi adalah hal yang penting. Bagaimanapun orang tua adalah filter bagi anak-anak yang belum matang pemahamannya tentang menyaring informasi yang baik dan buruk.

"Mau mengidolakan siapa itu benar-benar tergantung dari pemahaman masing-masing individual. Tentang what's cool or not, what's right and wrong, dan tiap individu punya nilai-nilai yang mereka anut dan percayai," ujar Grace Melia, ibu dua orang anak dan pendiri Rumah Ramah Rubella. Penting bagi orang tua dan pendamping anak untuk memberikan pemahaman tentang sosok idola. "Silakan mengidolakan tapi jangan berlebihan dan jangan jadi hardcore atau fanatik. Karena saat idola mereka jatuh atau salah, anak akan menjadi kecewa. Padahal namanya manusia pasti ada jatuh dan salahnya."

Sesungguhnya, tak hanya artis atau seleb-seleb internet yang bisa menjadi idola anak-anak. Siapapun bisa memberikan pengaruh bagi orang lain. Ada yang diidolakan karena kerupawanan fisik, prestasi, bakat atau semangat hidupnya. Tinggal pilihannya: menjadi buruk atau menjadi baik?

"A role model can teach you to love and respect yourself." - Tionne Watkins

(vem/wnd)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading