Survei BPS, Perempuan Berpendidikan Banyak Alami Kekerasan

Henry Hens diperbarui 31 Mar 2017, 19:53 WIB

Fimela.com, Jakarta Sebuah survei terbaru yang dilalukan Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata cukup mengejutkan. Menurut hasil survei, 1 dari 3 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan termasuk kekerasan seksual. Dan ternyata wanita yang hidup di perkotaan dan punya pendidikan tinggi lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan perempuan yang hidup di desa.

Survei tersebut merupakan kerjasama BPS dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan tajuk Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) di tahun 2016. "Sebanyak 36,3 persen perempuan di kota mengalami berbagai bentuk kekerasan baik dari pasangan maupun bukan pasangan. Angka itu lebih besar dibandingkan perempuan di desa yaitu sebesar 29,8 persen," ucap Kepala BPS Suhariyanto di Kantor BPS di Jakarta Pusat, Kamis (30/3/2017).

Menurut Suhariyanto, banyak perempuan di kota mengalami kekerasan karena tekanan hidup di kota lebih tinggi, sehingga orang-orang lebih cepat marah dan melampiaskan kemarahan kepada perempuan. Bagi perempuan yang pernah atau sedang menikah ada beberapa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan kepada kepada mereka, seperti kekerasan emosional, ekonomi, fisik dan sosial.

Sekitar 24,5 persen atau satu dari empat perempuan yang pernah atau sedang menikah mengalami kekerasan ekonomi dari pasangannya selama hidupnya. Sedangkan 20,5 persen atau satu dari lima perempuan yang pernah atau sedang menikah mengalami kekerasan psikis dari pasangannya.

Untuk kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), lebih banyak dialami wanita yang berpendidikan rendah (dibawah SMA) dibandingkan yang berpendidikan tinggi (diatas SMA). Survei ini dilakukan di tingkat nasional dengan cakupan sebanyak 9.000 rumah tangga dengan tingkat respons survei 97,3 persen atau 8.757 rumah tangga.

Dari setiap rumah tangga dipilih satu perempuan untuk menjadi responden. Survei ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih akurat, karena selama ini data kerap didapat dari kasus kekerasan yang dilaporkan ke pihak berwajib. “Padahal ada sejumlah kasus kekerasan yang tidak dilaporkan karena beragam alasan,” terang Suhariyanto. Untuk itu, petugas yang melakukan survei dilatih khusus untuk mewawancarai responden karena melihat sensitifnya isu ini.

Petugas pun semuanya wanita dan mereka harus mewawancarai responden berdua saja tanpa dihadiri siapapun. Data tentang masih maraknya kekerasan terhadap perempuan Indonesia diharapkan bisa memicu berbagai tindakan dan usaha untuk lebih melindungi kaum perempuan.

 

What's On Fimela