Momen Memaafkan: Banyak Cerita, Banyak Makna

Fimela Editor diperbarui 20 Agu 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Cuma dari satu kata, maaf, banyak cerita bisa dibuat. Apalagi di momen Idul Fitri ini kata maaf pasti akan kembali menghadirkan cerita-cerita baru yang berkesan. Tapi, kalau maaf diucapkan sekadar karena tradisi sehingga jadi kehilangan makna, akan sayang sekali, bukan?

“Hal seperti itu rela atau nggak pasti terjadi, jadi fenomena tahunan yang mengecewakan,” ungkap Erni (30 tahun, sales & marketing staff). Lanjutnya, “Ramah saat ritual bersalaman, tapi beberapa menit kemudian kembali ke sikap semula yang cuek, iri melihat kesuksesan orang lain, lalu menjadikan mereka bahan gosip harian seperti hari-hari sebelumnya.” Lebaran yang seharusnya jadi momen paling berharga untuk memperbaiki hubungan dan membersihkan hati dari dengki disalahposisikan sehingga diucapkan bukan dari hati, melainkan cuma basa-basi.

Lain lagi dengan cerita Kumala (28 tahun, financial controller). Baginya, momen Lebaran yang tiap tahun dirasa monoton, tahun lalu berubah, “Aku pikir dulu bermaafan hal rutin yang dilakukan tiap Lebaran. Tapi, tahun lalu aku baru merasakan sendiri betapa menyentuhnya ketika permintaan maaf dilakukan dari hati. Sahabat sejak kecil yang ketika SMA putus hubungan denganku gara-gara ketahuan selingkuh sama pacarku, nggak sengaja bisa kutemui lagi di acara halal bihalal keluarga suamiku karena dia menikah dengan saudara jauh suami. Di situlah tiba-tiba aku luluh dan melupakan sakit hatiku sekian tahun. Kami berpelukan dan saling meminta maaf. Walaupun malu jadi tontonan keluarga besar, aku bersyukur dipertemukan dengannya lagi. Selain sudah jadi saudara, kami pun kembali bersahabat.”

“Kalau dengar kata memaafkan suka terharu. Beberapa bulan lalu aku dan mama sempat nggak bertegur sapa cukup lama setelah aku nggak sengaja menyinggung perasaannya. Aku tahu aku salah dan menyesal sembarangan bicara, tapi terlalu gengsi untuk minta maaf sampai Lebaran hampir tiba lagi. Aku pulang kampung kemarin, dan dari situ aku dan mama mulai ngobrol lagi, memperbaiki komunikasi yang sempat terhenti. Saat itu juga aku baru berani minta maaf. Eh, mama dengan santai bilang sudah memaafkanku sejak lama,” Imu (21 tahun, mahasiswi) juga mengenang momen permohonan maafnya baru-baru ini, “Mulai sekarang aku janji kalau berbuat salah, aku akan langsung minta maaf karena nggak mau mengecewakan mama lagi, apalagi kami nggak tinggal sama-sama, harus lebih perhatian.”

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

“Bermaafan di bulan penuh berkah memang menghadirkan makna khusus yang tak tergantikan. Tapi, tak menutup kemungkinan untuk terus ingat untuk meminta maaf ketika berbuat salah di situasi apa pun tanpa perlu menunggu momen spesial. Jangan sampai pula permintaan maaf hanya keluar dari mulut tanpa niat untuk kesalahan sikap. Sama halnya, ketika menerima permintaan maaf seseorang, kita pun harus mengimbanginya dengan sikap ikhlas dan membuang sakit hati, apalagi dendam. Gampang mengucap dan memberi maaf, tapi kalau sikap sama sekali tak berubah, sama saja tak ada artinya,” Novi (28 tahun, translator) punya pandangan lain.

“Memaafkan adalah proses kembali pada kondisi nol,” ungkap psikolog Ice Shofiyyatulloh dari Universitas Islam Bandung. Ia pun menjelaskan bahwa cukup dengan menuliskan kata maaf, kita sudah bisa merasa tenteram. Nah, apalagi kalau diucapkan langsung ditambah memperlihatkan wujud nyata penyesalan dengan berubah jadi lebih baik, pasti hasilnya lebih bermakna. “Seperti ketika aku memberi maaf pada anakku ketika dia memukul adiknya. Tak berhenti di situ, dia pun kuberi ‘hukuman’ mengurusi si adik sehingga bisa menebus kesalahan sekaligus belajar lebih bersabar lagi,” tambah Novi.

Ada pula yang mengatakan, walaupun memberi dan meminta maaf lebih baik ketimbang membiarkan emosi memuncak, tak baik jika terlalu sering mengandalkan kata tersebut. Eboi, 30 tahun, merasakannya sendiri, “Pasanganku sering banget bilang maaf tiap kami bertengkar, tapi besok-besok mengulangi salah yang sama lagi. Ketika ditegur, dia kaget. Selama ini dengan maaf selesai, kenapa sekarang ada teguran. Niatnya nggak mau membiarkan emosi berlarut atau bertengkar makin hebat dengan memaafkan, eh malah salah diartikan dan membuatnya keenakan.”

Karena itulah, untuk menyelesaikan masalah tanpa mempengaruhi kelanggengan hubungan kita dengan siapa pun, menunda pemberian maaf juga perlu dilakukan, bukan karena merasa diri paling benar, tapi sebagai bagian dari proses belajar. Di sinilah akhirnya momen istimewa sangat berguna untuk saling memaafkan di saat yang tepat. Setelah melalui proses panjang belajar dari tiap kesalahan, masing-masing dari kita perlu me-refresh, menetralkan kembali perasaan dan hubungan dengan saling memaafkan saat Idul Fitri. Ingat, dilakukan dari hati, bukan cuma basa-basi.