Trauma Pelecehan yang Kualami Waktu Kecil Membuatku Takut Menatap Mata Pria

Fimela diperbarui 24 Agu 2017, 12:10 WIB

Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan sangat menyayat hati. Tak terbayang bagaimana ia bisa menahan dan memendam semua trauma dan luka itu seorang diri.

***

Semua rasa trauma ini berasal dari pengalaman pahit yang kualami semenjak aku masih kecil.

Kesibukan ayah dan ibu menjadi jalan bagi pria bertubuh besar itu untuk menggoda, kemudian “menyentuhku”.  Pria yang masih ada hubungan keluarga itu tinggal di rumah kami. Waktu itu dia duduk di bangku SMA sementara aku masih TK. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku selalu diam dan tak berdaya setiap kali ia mulai melakukan kebiadabannya. Hingga pada suatu hari saat hendak buang air kecil, aku merasakan sakit pada organ kewanitaanku. Tapi aku memilih diam. Tidak ingin ayah ibu tahu dan pada akhirnya malah memarahiku. Ya, aku takut, takut sekali.

Bertahun-tahun lamanya, aku memendam cerita ini sendiri. Cerita yang tak akan mungkin lekang dari ingatanku, ingatan seorang gadis kecil yang mencoba mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya, hingga ia beranjak dewasa.

Takut, marah, dan sedih. Ketiga perasaan ini selalu menyelimutiku tiap kali mengingatnya. Aku terlalu takut untuk menceritakannya kepada siapapun, terlalu marah saat membayangkan wajahnya, terlalu sedih bila menyadari bahwa sampai saat ini aku belum bisa  mempercayai satu orang pun laki-laki. Bukan aku menganggap semua lelaki sama, tapi perasaan takut, trauma, dan hanya ingin mempermainkan itu selalu menghantuiku. Akibatnya aku selalu gagal setiap kali menjalin hubungan. Karena aku sendiri tak percaya pada cinta.

Seperti yang kita tahu, orang-orang di Indonesia menganggap usia 27 tahun adalah waktu yang cukup matang untuk melangsungkan pernikahan. Tapi tidak bagiku. Aku masih belum bisa berdamai dengan masa laluku. Pertanyaan, “Sudah punya pasangan?" "Kapan menikah?" "Kenapa masih melajang?” dan pertanyaan serupa lainnya selalu kutanggapi dengan raut wajah tenang. Namun, hal itu pula lah yang  membuat mereka semakin sering mencandaiku dan menganggap aku sebagai wanita pemilih. Bahkan ada di antara mereka berkata bahwa orang yang tidak mempunyai pasangan adalah orang-orang yang “tidak laku”, menyedihkan, dan malang. Tidak, dia tidak tahu apa yang kualami.

Aku seperti terhempas kembali. Lingkunganku memojokkanku. Ingin rasanya aku berteriak kepada mereka yang menganggapku buruk, bahwa aku dulu adalah korban dari seorang PEDOFIL! Aku trauma. Untuk sekadar bertatapan lama dengan laki-laki saja aku langsung bergetar dan takut. Bayangan si penjahat itu selalu menghantuiku. Bagaimana bisa aku menikah dengan keadaan yang seperti ini?

Semua perasaan sakit ini hanya bisa kutuangkan dalam buku diari yang selalu kukunci. Bisa ditebak, dengan masa lalu yang seperti itu kini aku tumbuh menjadi wanita pemalu, selalu menarik diri dari keramaian, dan tidak mempunyai kepercayaan sama sekali dalam diri.  Mungkin kalian juga bertanya-tanya, apakah keluargaku tidak tahu masalahku? Apa mereka tidak curiga? Tidak. Aku tidak mau membuat mereka khawatir, aku juga tidak mau menyusahkan. Biarlah hanya aku yang menyimpan aib ini. Aku hanya bisa berdoa kepada Yang Kuasa agar aku selalu dikuatkan dan diberi kedamaian dalam hati. Semoga kelak aku bisa memercayai seorang laki-laki, percaya pada cinta, dan tentu dia yang bisa menerima diriku apa adanya. Aku ingin pulih dan sembuh.  

Stop tanya kapan menikah! Memutuskan untuk menikah tidak semudah memilih makanan pada menu. Seseorang mempunyai alasan atas sebuah keputusan dalam hidupnya. Bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dialaminya.  

(vem/nda)
What's On Fimela