Saat Ketemu Orang Seperti Ini, Saya Menjadi Perempuan Paling Rese Sedunia

Fimela diperbarui 11 Okt 2017, 13:49 WIB

Gambaran sosok perempuan ideal di Indonesia itu memang kadang rumit. Kalau kata rakyat zaman now, "Netizen riwil." Pengennya perempuan yang keibuan dan lemah lembut. Tapi diminta tolong teman perempuannya ngangkatin galon, langsung nyerocos, "Mbok pikir aku tukang?" Besok-besok ngelihat perempuan seperti Bu Susi, mulutnya nggak tahan juga pengen komentar, "Perempuan kok gitu ..."

Lha sebagai perempuan harusnya bagaimana? Apa diam saja kayak portalan gang? Lha wong helm cakil aja boleh mangap, mosok saya cuma mingkem aja.

Memang, pengalaman-pengalaman di masa lalu selalu menggerakkan hati dan mulut saya supaya nggak diam saja kalau ada yang mengganjal di mulut. Selama bisa disampaikan dengan baik ... atau justru disampaikan dengan sangat tidak baik. Tergantung tingkatan perlakuannya dan tergantung bagaimana emosi bisa dikendalikan. Hehehe, maklum kadang keprucut.

Tapi, bagaimana pun kondisinya, mulut ini memang nggak bisa direm tapi malah ngegas terus kalau ketemu case-case begini:

Dikit-dikit share berita seksis

Dalam setiap lingkaran pergaulan atau pun lingkaran per-Facebook-an, selalu ada model-model pria yang seperti ini. Dikit-dikit share berita soal perempuan, bukan yang baik-baik malah cenderung suka memojokkan dan komentar-komentar soal fisik yang nganu. Ya, ya, mungkin masnya menganut paham "bad news is a good news" sampai ke relung hati terdalam. Tapi yang sering terjadi, berita biasa jadi luar biasa gara-gara caption dan komennya. Sekali-dua kali, ya sudahlah. Tapi kok sering. Maunya komen, "Mbok ya wis, Mas, jemuranmu diangkat keburu kemripik itu lho," tapi mulut malah berkata, "Kenapa ya kok suka share-share begini? Gak faedah komentarmu."

Kemudian setelah berdebat panjang lebar, orangnya malah ngilang, rasa hati ingin kumur Bayclin.

"Oooo, ancene wedok!"

Seperti layaknya pagi-pagi yang berseri-seri, saya memulai hari dengan naik motor menuju ke kantor. Tiap hari memang seperti itu. Sungguh perjalanan dari rumah ke kantor ini mendidik saya menjadi pribadi yang tangguh dan perkasa. Lha wong tiap hari papasannya sama truk tronton.

Lampu merah di jalan raya depan kantor itu memang tergolong lampu merah yang cukup lama di Malang. Standar 'lamanya' orang Malang memang beda sama kota-kota lain. 90 detik itu bagi kami sudah lama. Pokoknya cukup buat nyanyi bagian bait sampai reffrennya mars para pekerja-nya Dropkick Murphys sambil melamun kenapa tarif dasar listrik naik terus, sampai detik-detik akhir menuju ke lampu hijau.

Seperti layaknya orang-orang bilang bahwa jalanan bagaikan hutan rimba di kota, nah memang ada benarnya. Ndilalah, wong hitungan angka di lampu merah masih kurang 3 detik, mobil di belakang saya sudah nggak sabaran pengen tancap gas. Masalahnya, mau sedetik, setengah detik pun kalau belum waktunya lampu hijau risiko bahayanya besar. Apalagi kalau musuh jalanannya truk-truk besar. Ya situ aja kali mau mati, mati duluan sono. Sini mah nggak mau mati duluan, belum salaman sama Dave Grohl soalnya.

Keputusan saya menunggu sampai detik-detik terakhir sebelum warna lampu berubah, rupanya nggak direstui sama pengemudi mobil di belakang. Mobil melaju, melewati samping saya dan si penumpang yang adalah bapak-bapak separuh baya teriak, "Oh, ancene wedok!" (Oh, dasar perempuan!)"

Lhe? Saya nggak ketemu korelasinya antara menunggu lampu hijau, situ keburu-buru dengan saya perempuan. Saya merasa berada pada lajurnya, on track, nggak melanggar apapun, mau belok kanan lampu sein juga nyalanya yang kanan. Hmm, memang ada misteri-misteri di dunia ini yang seringkali nggak ketemu ujung pangkalnya.

Akhirnya, kala mata tak lagi melihat, saat telinga tak lagi mendengar, saat hati tak lagi merasa, izinkanlah mulut yang bicara, "Lek gelem cepet, budhal o wingi, Pak!" (Kalau mau cepet, berangkatnya kemarin, Pak!)

Jadi perempuan itu jangan manja ...

... tapi juga jangan terlalu mandiri, nanti laki-laki kabur. Nah ini, terkadang saya suka bingung sama pernyataan ini. Jadi begini, perempuan-perempuan yang pintar, karirnya bagus, atau pintar ber-make up itu ... bukan cuma pengen membuat kamu saja yang terkesan lho, Mas. Lhaya ngapain kalau cuma pengen mengesankan seorang pria saja kami-kami ini skripsi-tesis sampai njungkir balik, bangun pagi nguber-uber mlijo demi keberlangsungan dapur atau direwangi bikin alis sampai limabelas menit belum termasuk pas bersin alisnya mleyot. Terlalu keras perjuangan kami kalau cuma untuk memikat perhatian laki-laki, Mas. Yang kami lakukan itu adalah semata-mata demi kepuasan batin kami.

Perempuan masa kini sadar kalau harus berkali-kali lipat lebih strong, punya daya juang dan daya saing tinggi. Kami ingin menjadi pribadi yang suportif terhadap keluarga dan keberadaan kami nyata sebagai makhluk sosial yang butuh dihargai. Bukan semata menghadapi perekonomian global, tapi ya mungkin saja suami di-PHK, suami bangkrut, suami sakit, suami dipanggil duluan atau pamitnya poligami tapi nyatanya nggak pernah dihampiri. Sementara ada diri sendiri, lebih-lebih anak-anak yang masih kecil, yang bergantung sama kami. Kalau nggak mandiri, nggak tegas, terus harus gandolan sama siapa? 

Pernah saya ketemu yang model begini. Riwil melulu, sendirinya yang banyak mematok standar, tapi yang salah lagi-lagi perempuannya. "Aku nggak mau sama yang itu, manja banget," besoknya, "Si itu serem ya, terlalu setrong, aku merasa tidak menjadi pria sejati." Komentar saya, "Rabi o karo wit gedhang, Mas." (Kawin aja sama pohon pisang, Mas)

Kalau kata penelitian, orang yang sarkas sebetulnya adalah orang yang cerdas. Beberapa orang berpikir lontaran-lontaran kalimat seperti ini menunjukkan seorang perempuan yang nggak mau kalah, nggak hormat sama laki-laki dan cenderung feminis. Kalau saya pribadi, ketimbang mengukuhkan diri sebagai seorang feminis, saya lebih nyaman menjadi orang yang humanis. Wong saya sungguh sangat mengizinkan pria untuk menangis kok.

Cuma ya begitu, kalau kadung mangkel biasanya memang saya suka ngurat, padahal sudah diingatkan sama teman-teman kalau urat itu makin mahal, sekarang Rp3.000. Lha masak setiap kali kesel saya kudu ngurat, 'kan ya nanti jadi kolesterol. Lho ini bukan ngomongin makan bakso toh?

(vem/wnd)
What's On Fimela