Cinta Sejati Ibuku Mengalahkan Kekuatan Dukun Nenekku

Fimela diperbarui 22 Feb 2018, 13:00 WIB

Kisah bagaimana kedua orangtua kita bertemu dan jatuh cinta memang selalu menarik. Seperti kisah yang diceritakan Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Namaku Endang Indri Astuti, bungsu dari tiga bersaudara. Tak ada yang istimewa denganku, aku adalah anak biasa yang belum menemukan tambatan hatinya di usia yang hampir kehilangan kepala dua. Ini cerita bukan tentangku. Karena kisah cintaku biasa-biasa saja. Ini kisah cinta tentang Bapak dan ibuku. Mungkin bagimu ini biasa, tapi bagiku tidak. Karena di kepalaku aku selalu bertanya, “Bagaimana ibu bisa mencintai ayahku yang keras kepala?”

Cinta? Itu apa? Cinta yang manis hanya ada di dua tempat. Pertama novel romance yang pengarangnya pintar menciptakan hal-hal romantis, kedua hanya ada di drama Korea yang dibintangi oleh oppa-oppa yang wajahnya tak pernah membosankan.

41 tahun bukan waktu yang sedikit untuk mencintai seseorang. Hari-hari yang berat pasti pernah dilalui orangtuaku dengan baik hingga sampai sekarang mereka masih bertahan saling bergenggaman tangan. Ini cerita tentang bapak dan ibuku yang tidak ada romantis-romantisnya seperti di drama Korea. Tak ada kata-kata romantis, panggilan sayang, dinner dengan makanan mahal, atau bahkan perayaan hari jadian. Bahkan bapak dan ibuku lupa tanggal ulang tahunnya satu sama lain.



Dari bibir ibuku aku sering mendengar bagaimana perjumpaan mereka dan bagaimana bapakku yang keras kepala ini akhirnya luluh dan menikah dengan ibuku. Bapakku bekerja sebagai buruh tukang kayu. Kesehariannya bekerja di proyek, membangun rumah, gedung  dan bangunan lainnya. Sementara ibuku adalah seorang penjahit.

Di zaman ponsel belum lahir, mereka bertemu. Dan pertemuan mereka sama sekali tak romantis. Ibuku bekerja di suatu konveksi yang berada di Solo, sementara bapakku bekerja sebagai tukang bangunan di sana. Singkat cerita mereka berdua tinggal di kawasan mess yang sama. Tiap pagi mess tersebut selalu gempar dengan satu hal. Yaitu perebutan kamar mandi. Hanya ada dua kamar mandi yang dipakai bergantian antara perempuan dan laki-laki. Tiap pagi ibuku selalu dibuat kesal dengan seorang laki-laki bernama Sucipto, yaitu bapakku hanya karena dia mandinya lama. Melebihi durasi para k0popers yang marathon drama di malam Minggu.

Alhasil mereka selalu bertengkar. Di satu sisi bapakku diam-diam mulai mencintai ibuku yang lebih sering beradu mulut dengannya daripada mengucapkan kata-kata manis. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibuku saat itu karena belum lahir, namun satu hal yang pasti, ibuku telah dijodohkan dengan orang lain. Namanya Paidi. Orangtua ibuku (sebut nenek dan kakekku) sangat menyukai Paidi. Dia mapan dan juga berasal dari keluarga terpandang. Ibuku bilang tak menyukai Paidi, namun nenekku terus mendesak ibuku agar menerima Paidi. Bahkan nenekku sampai pergi ke dukun agar ibuku menyukai Paidi.



Singkat cerita kekuatan dukun nenekku tak begitu ampuh, mungkin sesajennya kurang, ibuku jatuh cinta pada pria lain. Dia tidak bisa memungkiri kalau pada akhirnya dia lebih memilih bapakku daripada Paidi. Mereka akhirnya menikah. Kehidupan pernikahan yang sebenarnya dimulai. Tak ada bulan madu atau rumah megah. Hanya sebuah rumah kecil berdinding bata dan beralas tanah yang menjadi naungan ibuku. Namun meskipun begitu selama lebih dari dua puluh tahun sejak aku lahir, aku tumbuh menjadi anak yang tak pernah kekurangan kasih sayang. Di rumah ini dengan predikat anak bapak dan ibuku.

Keluargaku hangat, meski kadang bapak dan ibuku bertengkar. Bapakku adalah seseorang yang keras kepala. Dia tidak bisa mengungkapkan hal-hal romantis dengan kata-kata. Aku bahkan tidak pernah mendengar dari bibirnya kata-kata seperti “Sayang” dan “Aku mencintaimu” seperti yang kudengar di film atau drama Korea. Baginya menonton sinetron bersama ibu sudah jadi hal romantis. Baginya romantis tak selalu harus dilukiskan lewat kata-kata. Bapakku bukan sosok yang akan memeluk anaknya dengan hangat. Ah, aku rindu dipeluk bapak. Semenjak aku tumbuh menjadi gadis remaja bapak tak pernah memelukku seperti bapak-bapak temanku yang tak segan memeluk anaknya. Aku kadang iri. Tapi itulah bapakku yang tak bisa dan tak mau kutukar dengan bapak temanku.



Tapi darinya aku belajar banyak, dia tak pernah memelukku bukan karena tak menyayangiku. Tapi karena aku sudah dewasa, dan memeluk anaknya yang dewasa sudah menjadi hal yang asing baginya. Meski terkadang bapakku keras kepala, tapi aku menyayanginya.

Jika aku bisa mengatakan satu hal pada ibuku, aku ingin mengatakan terima kasih karena dia mencintai bapakku yang keras kepala. Bertahan dengan hal-hal yang tak mudah dan tetap mendampinginya. Terima kasih karena telah memilih bapakku dan tak menyesal hidup bersama dengannya. Karena jika saat itu kau memilih lelaki lain, Paidi atau siapapun, maka mungkin aku tak akan pernah ada di dunia ini. Karena aku adalah separuh bapak dan ibuku.

Jadi kukatakan pada ibuku, "Terima kasih telah mencintai bapakku yang keras kepala."





(vem/nda)