Menjadi Difabel Bukan Inginku, Tapi Jadi Ibu & Pegawai adalah Berkah Bagiku

Fimela diperbarui 14 Mar 2018, 14:30 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Ini adalah kisah tentangku. Seorang perempuan difabel yang pantang mengasihani diri. Aku selalu berusaha untuk bisa berperan di manapun dan sebagai apapun seperti layaknya orang normal. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang aku mengharapkan dan meminta dispensasi-dispensasi, namun bukan berarti untuk merendahkan diri sendiri tetapi karena aku sudah mengukur kemampuanku.

Tidak mudah menjadi seorang difabel di negeri ini. Fasilitas-fasilitas umum belum ramah bagi penyandang difabel. Syukurlah kondisiku dulu masih bisa seperti orang normal walaupun dengan kesulitan, sehingga aku bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S1, namun seiring dengan usia yang semakin bertambah lambat laun kondisiku mulai menurun. Sekarang untuk pergi ke suatu tempat dalam jangka waktu yang agak lama aku harus berpikir dulu, jangan-jangan di tempat itu tidak ada closet duduk atau aku harus mengatur waktu agar tidak ke toilet.



Post Polio Syndrome, inilah kata yang tepat menggambarkan keadaan diriku saat ini. Betul memang, penderita polio itu sekali diserang dua kali menderita. Penderitaan pertama yaitu ketika virus polio hinggap di tubuhku waktu usia 1,5 tahun. Menurut cerita yang sering aku dengar dari ibuku, ketika lahir aku normal. Sampai suatu hari tubuhku demam, yang ternyata virus polio menyerang tulang belakangku. Aku yang sudah bisa berjalan akhirnya tidak berdaya seperti bayi. Aku belajar berjalan dari nol lagi. Usia 3 tahun aku baru bisa berjalan. Syaraf besar kaki kiriku mati yang menyebabkan pertumbuhan kaki kiri tidak normal. Kaki menjadi lebih kecil, lebih pendek, dan tentu saja lebih lemah.

Penderitaan yang kedua muncul 30 tahun kemudian. 30 tahun lebih kaki kanan seolah menanggung beban sendirian, sampai akhirnya kerusakan dialami kaki kanan, sendi panggulnya mengalami kerusakan dan harus diganti dengan implan titanium melalui operasi Total Hip Replacement 10 bulan yang lalu. Jika dulu aku bisa berjalan tanpa alat bantu walaupun pincang, sekarang aku harus dibantu dengan dua tongkat elbow.

Hamil adalah pengalaman paling exciting bagi seorang perempuan. Tidak terkecuali aku. Tapi bagiku setiap memasuki bulan ke-7 aku selalu merasa kepayahan. Sampai pada kehamilan yang pertama aku memohon kepada dokter agar bisa melahirkan pada usia kehamilan 36 minggu. Kebetulan sejak awal aku sudah divonis tidak bisa melahirkan normal akibat mioma uterus yang pernah aku derita. Tentu saja dokter tidak mengizinkan, namun Allah ternyata punya rencana lain, pada usia kehamilan 32 minggu ketubanku pecah, alhamdulillah anak pertama lahir sehat meskipun dengan berat badan hanya 2,2 kg. Kehamilan kedua pun sama tapi yang ini aku mampu bertahan sampai usia kehamilan 39 minggu.



Mengurus dua anak kecil tidak mudah bagiku. Aku bahkan tidak berani memandikan anak sampai mereka bisa berjalan. Terpeleset sedikit atau jika kaki kiri menginjak benda kecil sekalipun akibatnya bisa fatal. Ibuku sangat paham dengan keadaan itu. Beliau selalu membantuku mengurus anak-anak maupun pekerjaan rumah lainnya. Apalagi karena pekerjaannya, suamiku kadang harus tidak pulang.

Allah Maha Tahu apa yang terbaik baik makhluk-Nya. Suatu hari karena ada suatu masalah suamiku memutuskan untuk pindah usaha ke rumah. Tapi justru usaha tidak berjalan lancar. Bukannya mendapat penghasilan, malah besar pasak daripada tiang. Akhirnya kami sepakat menutup usaha itu. Seiring dengan hal itu, ibuku meninggal. Sungguh kehilangan yang sangat berat, apalagi aku sangat tergantung pada beliau.

Ada yang patut disyukuri dari kepindahan usaha suami ke rumah meskipun pada akhirnya harus tutup, ada yang membantuku untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kondisiku kakiku saat itu sudah mulai menurun. Berjalan beberapa meter saja sangat sakit rasanya. Untungnya di kantor pekerjaanku di belakang meja jadi tidak terlalu masalah.



Hampir tiga tahun suamiku tidak bekerja. Aku lebih suka mengambil positifnya dari keadaan ini. Tugas rumahku hanya memasak, menyetrika dan memandikan anak, selebihnya dikerjakan suamiku. Penghasilanku sebagai karyawan di sebuah lembaga pendidikan tidak besar. Penghasilan suamiku hanya dari bagi hasil deposito yang tidak seberapa. Kadang ada keinginan menggunakan uang untuk modal usaha, tapi kami pesimis dengan hasilnya. Sampai suatu hari akhirnya suami menjadi driver ojek online. Alhamdulillah aku tidak perlu kasbon lagi ke kantor untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Aku atur uang sedemikian rupa agar mencukupi kebutuhan kami.

Sejak bekerja sebagai driver ojek online, hampir tiap hari pulang sangat larut. Pekerjaan suami yang menguras tenaga dan waktu membuat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Bahkan jika sebelumnya suami selalu antar jemput kerja dan anak-anak sekolah, sekarang pulang kerja aku tidak dijemput. Anak-anak kebetulan bersekolah di tempatku bekerja. Tiap sore kami pulang bertiga dengan menggunakan transportasi online, bagiku sangat tidak mungkin jika harus menggunakan angkot, untuk naik ke mobilnya saja aku tidak bisa. Belum lagi harus jalan ke jalan raya, menyebrang dan naik ojek lagi. Sementara kalau transportasi online aku bisa memilih mobil, jika mobilnya tinggi aku tinggal batalkan saja pemesanannya.



Di rumah aku tidak dibantu oleh asisten rumah tangga, kondisi keuangan kami tidak memungkinkan untuk itu. Mobilitas di dalam rumah lebih sering menggunakan kursi roda untuk meminimalisir risiko jatuh dan memudahkan aku dalam bergerak. Setiap hari aku bangun pukul 03.30. Memasak, cuci piring, mencuci pakaian, menyiapkan keperluan anak sekolah adalah aktivitas rutinku. Ketika kegiatan-kegiatan itu sudah beres aku baru membangunkan suami dan anak-anak. Pukul 06.30 kami harus segera berangkat. Sekarang aku harus berdamai dengan keadaan. Jika sebelumnya rumah selalu rapi dan halaman dipenuhi dengan tanaman, kini bisa membersihkan rumah seminggu sekali pun sudah untung. Tidak ada lagi tanaman di halaman karena tidak terurus. Pukul 17.00 aku baru sampai di rumah, menyiapkan makan malam dan mengurus anak menjadi prioritas utamaku.

Satu hal yang tidak pernah aku lewatkan di sela-sela kesibukanku, aku selalu menemani tidur kedua buah hatiku. Bercerita tentang apapun menjadi ritual setiap malam sebelum tidur. Mereka tidak pernah bosan mendengar ceritaku, mulai dari dongeng-dongeng untuk anak-anak, pengalaman masa kecilku, kisah-kisah nabi, sampai pada cerita tentang pahlawan mereka antusias mendengarnya. Setidaknya aku pun bisa beristirahat dari aktivitas yang lumayan menguras tenaga dan pikiran.



Dalam rasa lelahku kadang ada keinginan untuk resign dari pekerjaan. Tapi aku tidak yakin itu akan menyelesaikan masalah, selain faktor kebutuhan ekonomi aku juga merasa di tempat bekerja kebutuhanku yang lain bisa terpenuhi. Di sini aku bisa bergaul, mengembangkan potensi, dan menambah pengetahuan. 18 tahun aku bekerja di yayasan ini, awalnya aku masuk bekerja di bagian tata usaha di SD. Pekerjaanku lebih banyak menangani administrasi kesiswaan, kepegawaian, dan surat menyurat. Tahun ke-11 Ketua Yayasan mengangkatku untuk menjadi Kepala Sekretariat Yayasan.

Di kantor kami hanya berlima. Ketua Yayasan yang tidak setiap hari ada di tempat karena beliau juga seorang direktur salah satu rumah makan terkenal di kota Bandung, Kepala Biro Pendidikan yang juga menjabat kepala SMP, seorang staf laki-laki yang juga menjabat sebagai dosen akademi yang juga lembaga di bawah kami, seorang staf perempuan, dan seorang driver yang lebih banyak tugas keluar. Otomatis aku lah yang full setiap hari ada di tempat. Pekerjaan yang aku tangani selain bertanggung jawab pada urusan rumah tangga kantor juga keuangan termasuk penggajian, urusan pengadaan seragam pegawai, admin BPJS, dan banyak terlibat dalam urusan rekrutmen pegawai.



Alhamdulillah aku nyaman berada di lingkungan kerjaku. Atasan dan rekan kerja yang peduli membuat aku tidak merasa kesulitan dengan kondisiku. Ketika aku mulai kesulitan menggunakan closet jongkok tanpa diminta atasan mengubahnya dengan closet duduk. Ketika rapat-rapat diadakan sengaja dicari tempat yang mudah aku jangkau, bahkan yang sering membuatku malu sendiri ketika diajak untuk pulang bareng sedangkan mobil fortuner cukup tinggi bagiku, tanpa segan beliau dan istrinya mencari pijakan untuk memudahkanku naik ke mobil.

Menjadi difabel memang bukan pilihanku, menjadi seorang istri dan ibu adalah berkah untukku, dan menjadi pegawai adalah pilihanku. Dalam keterbatasan, aku terus berusaha memaksimalkan peranku sebagai seorang istri, ibu, dan pegawai. Merasa lelah dengan semuanya manusiawi namun kepuasan dan kebahagiaan yang kurasakan telah menjadi penawar yang ampuh. Dalam sisa umurku aku hanya ingin berarti untuk orang-orang di sekitarku.




(vem/nda)
What's On Fimela