Ibuku Mungkin Cuma Wanita Biasa, Tapi Pengorbanannya Untukku Luar Biasa

Fimela diperbarui 09 Agu 2018, 11:30 WIB

Apakah ada sosok pahlawan yang begitu berarti dalam hidupmu? Atau mungkin kamu adalah pahlawan itu sendiri? Sosok pahlawan sering digambarkan sebagai seseorang yang rela berkorban. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini. Seorang pahlawan bisa berasal dari siapa saja yang membuat pengorbanan besar dalam hidupnya.

***

Mother is another word for love. Seperti sebuah lirik lagu yang saat masih kecil sering kita nyanyikan. Sebuah lagu yang tak asing lagi di telinga kita

Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.”

Lirik lagu tersebut sangatlah benar. Kasih ibu itu tak pernah ada ujungnya. Tak pernah ada batasnya. Bahkan kita tak pernah sanggup membalasnya walaupun beliau pun tak pernah mengharapkan balasan dari semua kasih yang telah beliau beri.

Bagi banyak orang, mungkin ibuku hanyalah seorang wanita biasa. Lahir dari keluarga sederhana dan tumbuh pun dalam lingkungan sederhana. Beliau bukan wanita karier yang punya banyak title di belakang namanya. Ibuku hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Tapi bagiku ibu adalah wanita yang sangat luar biasa. Beliau memiliki perjalanan hidup yang kupikir tak semua wanita ber-title mampu melewatinya.

Ibuku menikah dengan ayahku yang tak memiliki pekerjaan tetap. Lebih banyak menjadi pengangguran ketimbang bekerja. Mungkin banyak istri di luar sana yang akan meminta cerai lalu menikah lagi dengan pria yang mampu menafkahinya. Namun, ibuku tetap memilih bertahan dengan pilihannya dan terus bersabar. Sabar itu tak ada batasnya. Hanya manusia saja yang membatasinya.

Lalu ibuku berusaha mencari pekerjaan. Hanya pekerjaan untuk sekadar mencari makan sehari-hari. “Anak-anakku perlu makan,” mungkin itu yang dipikirkan oleh ibuku. Beliau bekerja menjadi pemotong bawang di rumah tetangga kami. Tetangga kami adalah seorang penjual bawang di pasar yang posisinya dekat dengan rumah kami. Setiap hari akan ada berkarung-karung bawang yang datang dan harus dibersihkan. Aku, ibuku, dan kakakku selalu bekerja di situ. Aku tak begitu banyak membantu. Aku hanya bisa melakukan sebisaku sembari bermain bersama adikku. Usiaku saat itu masih 9 tahun. Sementara ayahku saat itu bekerja di sebuah kapal, yang pulang setelah berbulan-bulan di laut.

Aku selalu mengagumi ibuku. Kami hanya memiliki sedikit uang. Namun ibuku selalu mampu menyisihkan uangnya untuk ditabung. Perlahan-lahan, ibuku menjual bawang yang beliau beli dari penjual bawang tetangga kami. Beliau hanya mampu membeli sekeranjang bawang merah dan sekeranjang bawang putih. Beliau menjualnya di tepi jalan dekat pasar. Hanya menggunakan payung sebagai tempat berteduh. Ibuku juga pandai membuat keripik. Keripik-keripik tersebut kami jual. Aku dan kakakku yang bertugas menjualnya di sekolah.

Kami memang bukan orang kaya. Namun, ibuku selalu mampu membelikan buku pelajaran untukku. Aku selalu bersyukur karena setiap buku yang beliau belikan, aku dapat memanfaatkannya dengan baik. Aku selalu mendapat peringkat 10 besar hingga 3 besar di kelas setiap pembagian rapor. Aku bisa membuat ibuku bahagia.

Kami juga tak pernah kelaparan. Walau hanya sekadar makan mi instan. Ibu tak pernah membiarkan kami kelaparan. Mungkin justru beliau yang menahan laparnya. Ibu juga selalu ada untuk kami, baik dalam senang maupun saat kami sedih. Saat kami sehat maupun kami sakit. Beliau selalu ada saat kami membutuhkan beliau.

Usaha ibuku juga perlahan meningkat. Barang dagangan ibuku bertambah. Kemudian ayahku membuatkan kios kecil untuk ibuku agar ibu tak lagi kepanasan dan kehujanan. Hidup kami pun jauh lebih layak dari sebelumnya. Begitu besar usaha dan pengorbanan yang ibuku lakukan hingga akhirnya bisa memiliki kios kecil yang awalnya hanya berjualan di tepi jalan. Yang ketika ada pamong praja datang merazia, ibu harus berlari membawa keranjang bawangnya. Sekarang ibu bisa duduk lebih tenang dan santai di dalam kios kecilnya. Ibuku juga tak lagi menjual bawang, namun sudah beralih menjadi penjual sembako di pasar.

My mother is my hero. Beliau bukan hanya mampu berdagang dan mengurus rumah. Beliau juga menjadi seorang wanita hebat yang melayani suami dan mengurus anak-anaknya. Jika banyak anak di luar sana yang sebelum tidur dibacakan buku cerita oleh ibunya, maka aku merasa lebih istimewa lagi. Karena ibuku bukan membacakan buku, tetapi langsung menceritakan dongengnya tanpa membaca apa pun setiap malamnya.

Jika anak-anak lain harus ikut les membaca dan berhitung, maka aku lagi-lagi merasa memiliki guru yang lebih hebat lagi. Aku belajar membaca sambil berjalan-jalan bersama ibuku. Setiap hari aku dan ibuku berjalan kaki dari satu tempat tujuan ke tempat tujuan lainnya. Kami tidak memiliki kendaraan. Kami hanya memiliki sepasang kaki yang telah Tuhan beri kepada kami.

Sepanjang perjalanan, ibu selalu saja menyuruhku membaca tulisan-tulisan yang ada di jalan. Entah itu spanduk, papan nama toko, bungkus makanan atau pun kertas yang berserakan di tanah yang entah sengaja atau tak sengaja dibuang oleh pemiliknya. Kami belajar dan mengajar sepanjang perjalanan. Aku selalu membaca tulisan-tulisan yang aku lihat di sepanjang jalan. Kebiasaan itu pun terus terbawa hingga aku dewasa seperti sekarang. Aku masih saja suka membaca tulisan-tulisan di sepanjang jalan yang aku lewati.

Setelah aku lulus SMA, ibuku menginginkan aku untuk kuliah. Aku pun mengikuti tes masuk kuliah melalui jalur reguler. Aku sangat berharap bisa diterima di universitas negeri di kota kami. Jika teman-temanku mengikuti tes dari bermacam-macam jalur, aku hanya mampu mengikuti jalur reguler. Karena hanya jalur itu yang biaya pendaftarannya sangat murah.

Berkat doa ibuku, aku akhirnya berhasil diterima di jurusan pertama yang aku pilih. Setelah lima tahun kuliah, aku akhirnya lulus dengan nilai memuaskan. Aku sangat bersyukur karena wisuda ku dihadiri oleh ibu dan ayahku. Wisuda ku sebagai ucapan terima kasihku untuk beliau berdua. Aku sangat berterimakasih karena jasa beliau, aku dapat merasakan duduk menuntut ilmu di bangku universitas.

Tiga tahun setelah aku lulus kuliah, ibuku meninggal. Beliau sakit dan sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit. Aku masih mengingat jelas bagaimana hari itu berakhir.

Ketika aku sedang makan di warung makan di depan rumah sakit, lalu kakakku menelepon dan mengabariku bahwa ibu meninggal. Aku langsung berlari tanpa mencuci tanganku yang saat itu masih penuh dengan nasi yang menempel.

Aku berlari sambil menangis di sepanjang koridor rumah sakit. Jarak warung makan dan ruangan ibuku cukup jauh. Aku bahkan tak mampu lagi berlari. Sambil terus berlari, aku menangis dan memanggil-manggil, “Mamaaa... mamaaa… mamaaaa… .” Pandangan orang-orang di sekelilingku pun tertuju padaku. Dan beberapa dari mereka bahkan ada yang mengasihaniku. Sekencang apapun aku berlari, hasilnya tetap sama. Ibuku telah pergi. Seorang super hero-ku telah pergi. Seorang sahabat yang selalu ada saat aku senang atau pun sedih, kini telah pergi. Jiwaku separuh telah pergi menghadap Ilahi. Kini aku merasa sendiri.

Aku terbiasa bersama ibu. Bahkan ketika aku pulang ke rumah, hanya satu langkah memasuki rumah, aku selalu mencari ibuku. Kini, aku hanya bisa mengucap salam ketika aku pulang ke rumah. Aku merasa benar-benar sendiri. No matter how old you get, you always want your mother when you don’t feel good. My mother is my hero. My mother is my soulmate. My mother is my eveything.

Beliau pergi dan aku belum mampu membalas semua pengorbanan dan kasih yang telah beliau beri dengan kemampuan terbaik yang aku miliki. Ma, aku rindu. Semoga Tuhan mampu menyampaikannya lebih baik daripada aku.

(vem/nda)