Kukorbankan Segalanya untuk Suamiku, Tapi Khianat adalah Balasnya

Fimela diperbarui 23 Agu 2018, 14:30 WIB

Sedih dan terluka pastinya bila semua pengorbanan yang kita lakukan malah dibalas dengan pengkhianatan. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Dulu, aku adalah seorang ibu yang penyayang dan istri yang sangat taat kepada suaminya. Aku menikmati hari-hariku berperan sebagai seorang ibu dan seorang istri dengan penuh cinta. Segala yang kulakukan kucurahkan kasih sayang di dalamnya.

Saat mencuci baju, kubersihkan hingga tidak setitikpun noda menempel di pakaian suami dan anakku. Saat menyetrika, kurapikan agar tidak ada kain yang kusut sedikitpun. Saat memasak, kuperhatikan nilai gizi dan rasa agar keluargaku suka dengan masakanku. Terkadang aku mencoba menu-menu baru yang kudapat dari youtube agar keluargaku tidak bosan dengan masakanku yang itu-itu saja. Semua itu kulakukan dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Sebab yang kurasakan saat itu adalah memiliki mereka dalam hidupku bukan hanya sebuah anugerah, tetapi juga sebagai amanah yang Tuhan berikan kepadaku agar aku rawat dan aku jaga mereka untuk menyusuri bahtera ini sesuai tujuan awal pernikahan, menuju surga-Nya. Tidak ada sedikitpun terbayang olehku bagaimana jika aku kehilangan mereka.



Sebenarnya, saat kami menikah, suamiku belum memiliki pekerjaan yang layak. Dia hanya memiliki bisnis kecil-kecilan yang kami urus bersama. Aku meminta modal kepada ayahku untuk membenahi usaha kami. Agar bisa kami kembangkan sehingga bisa mencukupi kebutuhan kami. Ayahku selalu percaya denganku, beliau berikan modal yang kubutuhkan.

Awalnya kami membelanjakan modal itu demi kepentingan bisnis kami, tapi tiba-tiba aku melihat aset yang kami miliki untuk bisnis itu berkurang. Aku menanyakan kepada suami, lalu beliau jawab kalau aset-aset itu dia jual, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Karena saat itu pelanggan sedang sepi. Jadi kami tidak memiliki pemasukan. Jadilah suamiku menjual aset itu demi dapur bisa ngebul. Aku percaya saja, karena yang kutahu selama ini suamiku adalah orang yang jujur. Lagipula memang sejak awal seluruh keuangan dia yang memegang. Jadi dia yang lebih tahu tentang kondisi keuangan kami.

Ya, dalam hal keuangan, suamiku yang memegang kendali penuh. Aku bahkan tak pernah memegang uang sepeserpun. Jika aku butuh sesuatu, bahkan sekadar membeli beras sekalipun, aku harus meminta uang kepada suamiku. Kami tidak memiliki sumber penghasilan lain selain usaha yang kami rintis bersama itu.



Aku pernah punya inisiatif, aku bekerja sebagai penjaga toko di kios milik temanku. Ada sedikit rasa tidak enakan sebenarnya, karena ada kemungkinan aku tidak akan profesional memegang amanah itu. Karena pikiranku terbagi dengan keluarga, dan bisnis yang kugeluti bersama suamiku. Namun karena pertemanan, temanku tidak masalah, karena dia hanya butuh ada orang yang membantunya mengurus toko.

Aku merasa telah mengambil keputusan yang salah sebenarnya, karena anakku masih bayi. Jadi aku merasa sangat kerepotan mengerjakan semua tugas itu. Aku pernah membicarakannya dengan suamiku, namun dia memberikan jawaban yang sangat jauh dari ekspektasiku. Bukannya memberikan pengertian, dia malah menyesal jika aku harus berhenti bekerja.

“Terus kita mau makan apa kala kamu berhenti bekerja?” katanya. “Anak-anak beli susu dari mana? Kan yang paling besar itu kebutuhan untuk beli susu. Inget bisnis kita sedang kolaps. Bantu saya ya, sementara saya sedang membenahi bisnis kita, kamu cari uang dari cara lain ya sayang,” katanya lagi.



Ada benarnya sih, barangkali memang aku harus membantu suami. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada yang janggal. Kenapa bukan dia saja yang mencari kerja di luar? Kenapa tidak dia saja yang menggunakan ijazah kuliahnya untuk melamar pekerjaan? Kurasa banyak perusahaan yang bersedia menerimanya dengan ijazah itu.

Aku ingat sekali saat aku menghadiri Job Expo, temanku menaruh berkas di sebuah booth milik perusahaan telekomunikasi. Dia ditanya IPK oleh mbak-mbak yang menjaga booth itu, apakah IPKnya di atas 3,3? Sayangnya IPK temanku 3,25. Dia langsung ditolak begitu saja oleh perusahaan itu. Lalu datanglah seseorang yang melamar ke perusahaan itu juga. Mungkin karena dia melihat temanku yang ditolak karena IPKnya kurang dari 3,3 jadi dia bertanya terlebih dahulu kepada petugas karena IPK dia tidak memenuhi syarat.

“Mbak, IPK saya 2,75. Apa bisa melamar di sini?” katanya sambil menyodorkan berkas.
Mbak-mbak penjaga booth membuka dan melihat amplop cokelat yang berisi berkas lamaran itu, baru sedikit dibuka aku langsung bisa mengenali ijazah itu, karena suamiku pun memilikinya. Itu adalah ijazah dari kampus ternama.

Tanpa mengobrak-abrik berkas itu, si Mbaknya langsung berkata, “Nggak apa-apa, masukin aja dulu,” katanya.
Aku dan temanku hanya bisa melongo melihat kejadian itu. “Coba suami kamu mau kita ajak kesini ya,” kata temanku.

Iya, aku pun berpikir demikian. Coba dia mau melamar pekerjaan. Biar bisnis kami aku saja yang mengurus. Tapi dia tidak pernah mau bekerja. Maunya diam di rumah ongkang-ongkang kaki tapi duit tetap mengalir. Astaghfirullah, maaf karena telah berkata begitu tentang seseorang yang seharusnya kuhormati.



Aku sudah capek hati dengan sikapnya. Maksudku, dia punya ijazah 'ajaib', dengan ijazah itu dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada bisnis alakadarnya seperti ini. Daripada aku yang harus bekerja, aku hanya mendapat pekerjaan sebagai penjaga toko, dengan gaji seadanya, dan keluarga jadi tidak terurus. Aku kecapekan, rumah berantakan, anak juga jadi terlantar. Kenapa dia tidak memikirkan kondisi kami sama sekali?

Hari itu, aku mendapat gaji pertamaku. Karena saat itu aku sedang menyusui anakku, temanku memberikan gajiku kepada suamiku. Dia pegang semua uang itu. Aku tidak mendapat sepeser pun. Aku bertanya kepadanya apakah aku bisa meminta uang itu untuk membeli kebutuhan sehari-hari? Tapi katanya uang itu akan digunakan untuk menambah modal bisnis. Aku hanya menerima sepertiga dari gajiku yang bahkan untuk membeli susu anakku pun tidak cukup. Dalam hati, kalau ternyata dia tidak bisa bertanggung jawab seperti itu, untuk apa dia dulu bersikeras menikahiku?

Dulu aku menerima lamarannya karena aku berharap ada yang bisa mendampingiku melalui masa-masa sulit. Ada yang memberi dorongan dan motivasi sehingga kita bisa melalui masa-masa sulit bersama. Karena saat itu aku terancam berhenti kuliah karena ibuku menganggap aku kuliah hanya buang-buang duit.

Memang banyak sekali kebutuhan di samping biaya kuliah yang tidak sedikit, juga biaya kost dan biaya hidup yang mencekik. Sehingga uang beasiswaku tidak cukup untuk memenuhi semuanya. Di saat aku merasa stres dan membuat prestasiku di kampus menurun drastis, datanglah dia memberikan angin segar.



Dia banyak memberikan janji manis ditambah iming-iming ijazah 'ajaibnya' itu. Namun di tengah perjalanan terjal pernikahan kami, dia malah menyuruhku untuk berhenti kuliah. Toh nantinya juga aku akan diam di rumah, mengurus rumah tangga, tidak akan menggunakan ijazahku untuk bekerja, katanya.

Aku sudah menjelaskan bahwa aku kuliah bukan hanya untuk ijazah, kuliah benar-benar menjadi hal yang sangat penting buatku. Tapi dia punya argumen yang lebih kuat untuk membuatku berhenti kuliah. Dia mulai menguras seluruh isi dompetku, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa seizinnya. Akhirnya aku pun berhenti kuliah karena selain aku merasa stres karena nilaiku, aku juga tidak memiliki uang sepeser pun untuk membayar biaya kuliahku. Itulah sebabnya aku hanya bisa menjadi penjaga toko untuk membantu keuangan keluarga kami.

Suatu hari, suamiku tertipu oleh rekan bisnisnya. Uang milik customer-nya dibawa kabur oleh rekannya yang baru dia kenal dari Facebook. Setiap hari banyak yang menggedor rumah kami untuk meminta pertanggungjawaban suami. Aku yang sudah stres dengan kondisi yang kualami, semakin tertekan dengan semua itu. Untungnya aku masih rutin ikut pengajian ibu-ibu di dekat rumah setiap minggunya. Sehingga ada yang merangkulku dan memberiku nasihat untuk bersabar dan tetap kuat dengan kondisi ini.

Pada awalnya, aku masih malu-malu untuk menceritakan kondisiku kepada ustazah yang memberikan ceramah itu. Tapi lama-lama semakin ada dorongan yang kuat untuk menceritakan hal ini. Karena aku butuh nasihat dan dukungan dari orang-orang yang punya pandangan lurus. Aku tidak mau bertindak gegabah yang pada akhirnya hanya akan merugikan diriku sendiri. Tapi aku juga tidak mau terus-terusan terjebak dalam penderitaan seperti ini.

Ustazah itu kaget mendengar ceritaku. Namun beliau hanya bisa memberiku nasehat untuk bersabar. Beliau menceritakan tentang Bunda Khadijah yang selalu “jor-joran” memberikan hartanya untuk dakwah Rasulallah. Imbalannya bukan main-main, Allah memberikan surga dan hingga kini beliau dikenal sebagai Ummul Mukminin, ibunya orang-orang yang beriman, karena pengorbanannya yang begitu besar untuk memelihara orang-orang mukmin yang pada masa itu kebanyakan dari kalangan dhuafa.

Beliau memotivasiku agar seperti Bunda Khadijah, istri Rasulallah, yang ikhlas memberikan hartanya untuk usaha suaminya. Akhirnya dengan penuh perasaan taat karena ingin mencontoh sebaik-baik wanita dalam sejarah islam, aku pun mengiyakan nasihat ustazah itu. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya bisa membantu suami keluar dari masalahnya.

Aku terus berpikir hingga satu ide keluar dari renunganku. Aku masih punya warisan peninggalan almarhum Ayah. Ada sebidang tanah, aku bisa menggadaikan sertifikatnya untuk modal usaha yang lebih baik. Agar kami tidak terseret-seret terus dengan usaha yang hampir tidak jalan karena kemalasan suamiku.

Aku berharap dengan usaha itu pula kami bisa mencicil uang customer yang dibawa kabur itu. Tapi, ibuku pasti tidak akan setuju. Apalagi beliau tidak percaya kepada kami karena suamiku yang pemalas. Aku terus membujuk ibu, dengan berjanji akan memaksa suamiku untuk bekerja. Aku tidak ingin seperti ini terus. Aku ingin punya rencana yang matang dalam mengarungi rumah tangga ini. Tidak hanya berdiam diri menunggu keajaiban seperti ini. Kalau suamiku tidak bisa menahkodai bahtera ini, maka aku yang akan mengambil alih. Meskipun mungkin aku tidak akan bisa maksimal, karena fokus utamaku adalah anak-anak.

Singkatnya, aku menggadaikan tanah itu. Aku akan menjadi Khadijah seperti yang dinasehatkan ustazah itu. Aku akan berkorban untuk suamiku. Siapa tahu jika ini berhasil dia akan berubah menjadi lebih perhatian dan bertanggungjawab kepada kami. Namun tiba-tiba suamiku menjadi paranoid.

Dia takut jika kelak dia lah yang harus menebus utang gadai itu. Setiap aku menyodorkannya info lowongan kerja, dia akan marah-marah, karena dia merasa aku akan menjebaknya. Dipikirnya, aku akan enak-enakan menikmati uang hasil gadai itu, sementara dia yang akan pusing memikirkan bagaimana membayarnya. Ya Tuhan, padahal itu hanya persyaratan yang ibu ajukan kepadaku, agar setidaknya uang itu digunakan seperti semestinya. Bukan dihambur-hamburkan untuk konsumsi, sementara penghasilan kami tidak juga membaik.

Sampai suatu hari, entah apa yang ada di pikiran suamiku, dia mengambil semua uang itu dariku. Dia kembali dengan strateginya, menguras seluruh isi dompetku agar aku tidak berdaya tanpanya. Tuhan, impianku pupus sudah. Padahal aku hanya ingin kami sama-sama berjuang membangun keluarga ini. Kita selesaikan bersama segala rintangan yang kita hadapi.

Aku tahu, aku juga sering mendengar tentang nasihat-nasihat pernikahan, bahwa tidak mudah menyatukan pemikiran dua orang yang sama sekali berbeda. Tapi aku tidak berpikir akan serumit ini. Kenapa dia tidak pernah bisa sepakat denganku? Apa dia tidak berpikir kalau aku begitu susahnya berkorban untuknya sampai sejauh ini?

Ah, aku terkadang iri mendengar ceramah-ceramah pernikahan, di mana sang penceramah menyuruh sang suami ikhlas menafkahi istrinya dengan layak. Karena sang istri sudah berkorban untuknya, telah mengandung dan mengurus anaknya, telah mencuci bajunya, telah memasakkan makanan enak untuknya, telah menjaga rumahnya, telah menjaga harga dirinya hanya untuk suaminya. Dadaku sesak setiap kali mendengar ceramah-ceramah semacam itu. Aku ingin sekali meminta sang penceramah untuk menceramahi secara pribadi kepada suamiku. Aku ingin ada yang mengatakan kepadanya bagaimana perjuanganku. Tolonglah  hai suami, jangan hancurkan rencanaku begitu saja.

Wahai sang suami, andai saja aku tidak takut dengan perihnya azab, aku mungkin sudah mencintai laki-laki lain yang mempunyai kepribadian jauh lebih baik darimu. Tapi selama menjadi istrimu, aku selalu menjaga cinta ini hanya untukmu. Jika saja aku tidak kasihan padamu, tentu aku dulu sudah kabur darimu dengan membawa uang gadai itu untuk memulai kehidupanku sendiri, tanpa terus menerus disakiti olehmu. Tapi nyatanya aku malah menyodorkan uang itu kepadamu.

Semata-mata aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah wanita terbaik yang mampu mendampingimu dalam suka dan duka. Aku adalah Khadijah terbaik untukmu. Tapi semua itu tampak tidak berarti apa-apa untukmu. Aku capek. Aku hanya ingin menjadi seperti Khadijah, berharap kau pun akan meneladani Muhammad. Tapi sepertinya aku salah, di saat aku berikhtiar menjadi Khadijah, kau malah mendekati sifat Firaun. Zalim dan kejam. Aku belum siap mental untuk menjadi Asiah (istri Firaun yang beriman dan sabar), wahai suami!

Di tengah kekecewaanku, aku sudah banyak menunjukkan kode-kode keras kepasa suami. Dari mulai mendiaminya, sampai pulang ke rumah orangtuaku. Aku hanya ingin menyampaikan kepadanya, “Tolong, jangan seperti itu. Jangan bersikap begitu. Aku sudah sangat menderita dengan sikapmu itu!”

Tapi tanggapan yang aku dapatkan apa? Dia bilang, “Maaf, aku hanya laki-laki miskin yang tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu,” katanya.

Ya Tuhan, andai saja hanya karena harta dan status sosial, sudah kutolak lamarannya dari dulu. Aku hanya ingin kita berjuang bersama. Bukan seperti ini. Aku sudah mengecewakan ibuku, tidak adakah rasa kasihan sedikitpun terhadap seorang tua renta yang telah banyak membantunya itu? Bahkan orangtuanya sendiri tidak pernah sebaik ibuku mengizinkan dia memegang uang sebanyak itu.

Aku sudah tidak punya harapan lagi ketika itu. Aku sudah tidak punya harapan dia akan berubah. Ucapan dan tindakan sudah tidak mempan lagi untuk menyadarkannya. Aku memilih mundur. Dan di saat aku menyerah pasrah seperti itu, seorang wanita datang kepadaku, mengaku sebagai pacarnya. Pacar suamiku. Dan dia memintaku untuk segera menceraikannya.

Tuhan... sekejam itukah dia kepadaku? Di saat aku harus mempertanggungjawabkan semuanya kepada ibuku, di saat aku pontang panting membayar utang, dia malah enak-enakan dengan wanita lain. Bahkan secara terang-terangan memintaku segera menceraikannya.



Di satu sisi, aku bersyukur Tuhan telah menunjukkan kepadaku bahwa dia bukanlah lelaki yang baik untukku. Tapi di sisi lain, pengkhianatan tetaplah menyakitkan. Lebih-lebih dia mengkhianatiku di saat aku benar-benar terpuruk seperti ini. Bukannya bersama-sama menyelesaikan masalah ini, dia malah meninggalkanku sendirian menanggung beban yang menyakitkan ini.

Selama menghadapi ini, aku dan anakku hanya makan nasi dan garam dengan sedikit minyak kelapa untuk mengganjal perut lapar kami. Perih rasanya hati ini setiap tangan ini menyuapkan makanan ke mulut mungil mereka. Sementara suamiku dan pacarnya kompak pamer makanan mewah di media sosial. Setiap hari jalan-jalan ke tempat wisata yang sedang hits. Sedangkan aku dan anakku, bahkan harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki untuk mengais rezeki demi kami bisa makan hari ini.

Bukan nasi dan garamnya yang membuatku perih, tapi pengkhianatan itu yang membuatku merintih. Apakah dia tidak berpikir kalau aku akan sangat tersakiti dengan perbuatannya itu? Apa sudah hilang seluruh rasa empati di hatinya untuk sekadar menjaga perasaanku?



Tuhan, jika saja aku tahu yang kunikahi adalah sosok Firaun yang kejam, aku tidak akan menjadi Khadijah untuknya. Keenakan dia! Tahu begini, aku harusnya meninggalkannya sesaat setelah mendapatkan uang hasil gadai itu. Kugunakan untuk membuka usaha kecil-kecilan dan menitipkan anakku ke daycare sementara aku bekerja. Andai saja saat itu aku melakukannya. Ah, sayangnya aku terlalu dibutakan oleh cinta ketika itu.

Untungnya aku masih memiliki teman-teman yang setia. Yang tidak terpengaruh oleh fitnah yang dikarang oleh suamiku dan pacarnya. Ya, mereka mengarang cerita tentang aku yang sudah menyakiti suamiku. Hingga dia sedih dan terluka.

Perempuan itulah yang konon membantunya bangkit. Duhai suami, jika sudah tak cinta, cukup tinggalkanlah aku. Tidak usah menebar fitnah yang malah semakin mempersulitku seperti itu! Beruntung tidak semua orang percaya ucapannya. Tapi mereka yang telah terpengaruh, begitu teganya memaki-maki aku melalui pesan singkat ataupun media sosial. Perih memang, tapi teman-teman yang masih mempercayaiku bilang, kalau roda akan terus berputar. Entah perputarannya cepat atau lambat, tapi yang pasti karma masih berlaku. Mereka akan mendapatkan balasannya. Tunggu saja. Lebih baik aku segera menceraikannya, agar aku tidak lagi terikat olehnya. Lalu aku pun mengurus perceraian itu.

Kini, Tuhan begitu banyak memberikan keajaiban-Nya kepadaku. Memang aku belum bangkit dari segi ekonomi, aku masih terseret-seret, aku belum pernah memegang uang banyak sejak kejadian itu. Tapi masha Allah, Tuhan selalu memenuhi kebutuhan kami.



Anak-anakku tumbuh sehat, dan selalu terpenuhi uang jajannya. Bahkan dengan izin-Nya, utang gadaiku lunas sudah. Entah aku mendapatkan uang dari mana, ada saja rezeki yang datang selama aku bertekad untuk bertanggungjawab. Sementara mantan suamiku (aku sudah menceraikannya), dia masih berfoya-foya, tapi beberapa waktu lalu ada beberapa orang yang menghubungiku dan menagih utang mantan suami. Lalu aku jelaskan pelan-pelan tentang kejadian sebenarnya. Mereka tampak marah dan kesal kepada mantan suamiku, karena tidak mau bertanggungjawab mengganti uang mereka yang dibawa kabur itu. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa.

Kata orang bijak, "Biar saja orang seperti itu mah dapat uang berapapun juga akan habis-habis terus." Boro-boro untuk bayar utang, untuk kebutuhannya sendiri saja akan merasa kurang terus. Karena Tuhan telah menghilangkan keberkahan di dalamnya. Berbeda dengan orang yang mendapatkan berkah Tuhan, meski penghasilan sedikit tapi semua kebutuhan bisa terpenuhi, bahkan masih bisa sedekah dan berbagi.

Aku memang tidak bisa melupakan apa yang telah dilakukan mantan suamiku kepadaku. Tidak mudah untuk memaafkannya. Tapi aku tidak ingin perasaan ini menghambat perkembanganku. Aku cukup fokus saja menjadi manusia yang lebih baik, dan berjuang untuk anak-anakku. Semoga sedikit demi sedikit aku bisa mengumpulkan uang untuk bisa kuliah lagi. Dan semoga aku bisa mendapatkan jodoh yang akhlaknya seindah Muhammad, agar perjuanganku menjadi Khadijah tidak sia-sia.

(vem/nda)