Jika Cinta yang Tulus Tak Pernah Dianggap, Buat Apa Mempertahankannya?

Fimela diperbarui 13 Okt 2018, 13:00 WIB

Cinta… kedua kalinya kurasakan kembali, setelah cinta pertamaku kandas. Cinta pertama yang begitu indah di masa-masa remaja di bangku kuliah. Kumengenalnya karena sesama anggota sebuah organisasi yang sama walau kami beda jurusan di universitas.

Awalnya aku tak mengenalnya walau sering melihatnya setiap kali berangkat dan pulang kuliah. Aku yang anak perantau dari Jakarta ke Medan dan belum banyak teman yang kumiliki jadilah kami sering berbincang-bincang sore kadang di kosnya dengan teman yang lain kadang di kosku dengan teman-temanku, ada juga yang satu jurusan dengannya hanya beda tingkat.

Singkat cerita entah mengapa kami pun menjadi pasangan seperti yang lainnya, usia kami tidak beda jauh hanya beda seminggu. Suatu hari kami pulang ke kampungnya dengan maksud hati mengenalkan aku pada orangtuanya, namun yang terjadi orangtuanya tidak merestui kami.

Cinta kami memang bukan cinta biasa karena kami berpacaran pun sesungguhnya tidak direstui orangtuaku di Jakarta. Esok paginya saat di dapur aku mendengar orangtuanya yang ternyata juga tidak merestui kami, aku pun memaksa pulang ke Medan.



Cintaku padanya bukan cinta biasa, begitu besar pengorbananku padanya selama 2,5 tahun namun dia lebih memilih keluarganya daripada hubungan kami, dan akupun belajar menerima kenyataan yang ditakdirkan Tuhan padaku. Aku kembali ke Jakarta dan jalani hari-hariku sambil mencari pekerjaan dan akhirnya aku diterima bekerja di sebuah sekolah dasar swasta. Setelah sekian lama aku sendiri menutup hati untuk yang lain hadir, tanpa sengaja kami bertemu di depan kantor kepala sekolah di mana saat itu dia berdiri seperti orang bingung.

Pikirku ia seorang sales buku yang datang ke sekolah-sekolah untuk menawarkan buku cetak untuk siswa. Ternyata aku salah, ia menjadi patner kami sesama guru. Saat itu aku belum merasakan cinta ataupun rasa suka karena dia berbeda sekali dengan tipe laki-laki idamanku yang tinggi, berisi dan juga putih serta lebih smart dari aku. Dia berbadan gelap dan kurus juga berambut keriting, jauh dari tipe cowok idamanku.

Empat bulan kami menjadi partner guru selalu kami bertengkar tidak jelas dan saling sindir walaupun tidak sampai pada pertengkaran hebat. Sejak itu kami menjadi dekat dan semakin dekat jika pergi selalu bersama pulang sekolah. Terkadang aku diantar pulang sampai di kos walau dengan jalan kaki. Tapi aku merasa bahagia karena ada teman untuk ngobrol sambil berjalan hingga tak terasa tiba di kos. Kami pergi ke mall pun dengan naik kopaja namun aku merasa aman dijaganya.

Kedekatan kami yang berbeda segalanya membuat kami pun menjadi semakin dekat. Usia kami pun berbeda 10 tahun jauhnya tapi dia tidak merasa malu. Saat itu aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Kebersamaan kami pun banyak orang yang tidak menyukainya karena perbedaan usia, suku dan juga status pekerjaan kami. Kami tetap jalani kebersamaan kami walaupun diam-diam bertemu di luar jam sekolah. Di sekolah kami tetap professional menjalankan tugas sebagai guru.

Setiap pulang les, kami pergi makan di luar dan jika hari minggu kami pergi ibadah setelah itu pergi mengunjungi keponakannya yang berbeda agama dari kami hanya untuk mengajaknya jalan-jalan ke mall terdekat. Kisah cinta kami memang seperti sinetron yang tak tahu bagaimana akhirnya menjalani hubungan yang tak pernah dia anggap ada.

Satu tahun kebersamaan kami, aku belajar membuka hati dan mencoba menyayanginya setulus hati walau tertekan batin berlajar menerima kehadirannya. Aku selalu mengiyakan kemana ia mengajakku untuk apa yang ia lakukan, seperti menemaninya ke bengkel dan juga bermain futsal walau dulu aku tidak suka bola sejak bersamanya belajar menyukai apa yang ia suka.



Setelah aku belajar menyayanginya, tetaplah cinta kami bukan cinta biasa. Aku masih belum diakui sebagai pacarnya ataupun sebagai calon istrinya. Selama tiga tahun bersama dan mencoba belajar mengikuti keegoisannya akhirnya aku pun ditinggal. Baginya lebih baik masuk penjara dibandingkan harus menikah denganku yang sudah mendampinginya saat dia susah dan dia butuh bantuan. Aku selalu ada untuknya, namun hatiku kosong dan aku pun tertekan dengan hubungan yang tak pernah diakui olehnya.

Kecemburuan dan juga  rasa iriku terhadap pasangan lain juga membuatnya tidak mau menganggapku ada. Seringnya aku menangis berdoa pada Tuhan untuk selalu diberi ketabahan mendampinginya. Walau dia berasal dari keluarga yang tidak mampu namun aku tak pernah menyinggung soal harta ataupun tingkat sosial kami. Karena cinta tidak akan memandang harta tapi cinta memandang ketulusan dan kesungguhan hati.

Hampir tiga tahun aku bertahan dengan tekanan batin yang terkadang tak sanggup lagi kujalani, dan selalu meminta Tuhan panggil aku. Namun Tuhan masih memberiku kekuatan menjalaninya untuk mendampingi dia yang tidak pernah menganggapku sebagai pasangannya.

Dia menganggapku hanya teman biasa, biasa untuk dia maki, biasa untuk menemaninya ke mana ia mau walaupun aku begitu lelahnya. Biasa untuk dia marahi bahkan pernah sekali kami bertengkar hebat hanya karena hal sepele hingga pisaupun bermain dalam pertengkaran kami, akhirnya aku beranikan diri meminta pernyataannya aku ini apa baginya setelah semua yang kulakukan, bahkan aku tak pernah meminta hadiah saat Valentine atau saat ulang tahun karena sadar untuk makan pun masih belum cukup.

Cinta kami memang bukan cinta biasa seperti layaknya pasangan muda yang masih remaja yang setiap saat inginnya selalu bersama. Cintaku hanya bertepuk sebelah tangan, akhirnya setelah dia pulang dari bermain futsal siangnya karena aku melihatnya dengan wanita lain begitu bahagia. Aku cemburu, marah, dan diam bahkan menjawab pesan darinya dengan kekecewaan serta emosi. Aku dikabari hanya lewat Whatsapp jangan lagi dekat atau datang atau mencarinya di kos cukup sampai di sini. Padahal sehari sebelumnya kami masih baik-baik saja setelah ia tiba di Jakarta sehabis pulang dari Kupang. Dia dimutasi kerja demikian juga dia mutasi perasaan hatiku.  



Hancur hatiku setelah sekian lama mendampinginya saat susah, saat gajinya belum cukup untuk biaya hidup hingga akhirnya bisa memiliki barang-barang yang dia mau. Walaupun itu semua uang hasil kerjanya dengan cara mencicilnya padaku, walau kadang ia tidak membayarnya dan pengorbananku selalu ada untuk dia, berkorban waktu, tenaga juga materi semua hancur sia-sia. Pengorbanan cinta yang tulus dariku yang ternyata hanya untuk dipermainkannya. Itulah cinta kedua yang kurasakan setelah aku menutup hati belasan tahun sejak ditinggal menikah cinta pertamaku.

Cintaku pada dia bukan cinta biasa, aku sungguh-sungguh ingin membina rumah tangga dan melewati semua rintangan bersama namun takdir berkehendak lain. Takdir memisahkan kami, cinta yang kuharapkan dapat bersatu seperti sebelum-sebelumnya kini tak akan mungkin lagi.

Hanya air mata yang selalu ada di setiap doaku. Sebulan lebih aku terpuruk dalam hubungan yang tidak pernah berarti baginya, aku sangat menyayanginya dan berharap bisa hidup bersamanya namun semua itu hanya tinggal mimpi. Aku belajar menerima takdirku bahwa cintaku tak mungkin terbalas sebesar apapun pengorbananku tak ada arti baginya.

Cintaku bukan cinta biasa untuknya tapi aku harus belajar terima kenyataan hidup. Jangan pernah memandang cinta karena perbedaan status ekonomi tapi binalah cinta dengan ketulusan, kejujuran juga niat untuk mengarungi bersama semua rintangan yang ada.




(vem/nda)