Meminta Maaf pada Suami Jadi Caraku Menyelamatkan Rumah Tanggaku

Fimela diperbarui 25 Apr 2018, 11:40 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Saya seorang ibu dengan dua orang putra. Saya dan suami sama-sama bekerja di perusahaan swasta. Kami berdua membangun rumah tangga kami dari nol. Hidup sederhana di rumah kontrakan namun penuh dengan kebahagiaan. Suami sangat mencintai saya dan anak-anak. Seiring berjalannya waktu, saya yang hanya tamatan SMA mendapatkan promosi dari kantor untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa tahun kemudian, saya mendapatkan fasilitas rumah dengan perjanjian ikatan dinas. Kami memutuskan untuk menempati rumah tersebut. Kehidupan keluarga kami semakin bahagia.

Tahun 2012, keluarga kami mulai mengalami cobaan atau ujian hidup berumah tangga. Suami saya harus kehilangan pekerjaannya, karena perusahaan tutup. Bersyukur karena suami saya sangat dipercaya atasannya, suami masih dipekerjakan secara pribadi dan mendapatkan penghasilan seperti ketika masih di perusahaan. Di tahun yang sama, saya dipromosikan pindah bekerja ke tempat yang lebih baik dengan penghasilan yang semakin baik. Pergaulan saya semakin luas bahkan saya memiliki teman dari berbagai negara. Saya juga sering liburan ke luar kota atau luar negeri. Keluarga kamipun bisa mencicil sebuah mobil. Dan saya bisa merintis bisnis kecil-kecilan.



Keberhasilan yang saya terima dari Tuhan, saya salah gunakan. Saya menjadi seorang yang sombong terhadap suami dan selalu membandingkan suami saya dengan keberhasilan saya. Tanpa saya sadari saya menjadi dominan di dalam rumah tangga. Saya mengubah kehidupan rumah tangga saya menjadi “satu kapal dua kapten”. Saya mulai lupa diri dan merendahkan suami sebagai kepala keluarga. Suatu hari saya mengancamnya dengan membuat keputusan untuk keluar dari pekerjaan saya. Dengan keputusan saya ini, saya berharap suami bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab menurut pandangan dan cara pikir saya.

1 Mei 2016 saya pensiun dini. Keputusan bodoh yang telah saya ambil tidak pernah saya sadari akibatnya. Keputusan yang tidak pernah dipikirkan lebih dahulu, hanya mengedepankan emosi. Saat itu juga saya telah kehilangan pekerjaan dan rumah karena perjanjian ikatan dinas. Tiga bulan kemudian saya kehilangan mobil karena tidak sanggup mencicil lagi. Bahkan uang pensiun saya selama saya bekerja 21 tahun telah saya investasikan ke sebuah koperasi simpan pinjam dibawa kabur pemilik koperasi. Bisnis yang saya bangun hancur karena teman saya tidak mau lagi berbisnis dengan orang yang tidak punya uang.



Sekarang saya tidak memiliki harta lagi. Kami harus mengontrak rumah. Bahkan anak pertama saya terancam tidak kuliah karena tidak ada biaya. Saudara dan teman menjauhi saya. Saya memakan buah dari perbuatan saya sendiri. Saya sakit parah selama satu setengah tahun, dan harus mondar-mandir ke rumah sakit. Hari-hari yang saya dan keluarga saya jalani semakin berat. Kami kekurangan secara ekonomi. Tidak ada hari tanpa bertengkar dengan suami. Bahkan di depan anak-anak kami. Keributan demi keributan selalu saya yang mengawali. Seolah-olah semua ini terjadi karena kesalahan suami. Saat terjadi keributan tidak jarang saya mengeluarkan kata-kata pelecehan kepada suami, sehingga membuat hati suami sakit dan terluka. Bukan hanya suami, anak-anak pun ikut menderita. Saya sendiri pun mulai merasakan penderitaan yang begitu hebat karena perbuatan saya.

Di dalam ketidakberdayaan saya sebagai seorang istri dan seorang ibu, seringkali saya minta cerai dari suami, tapi suami saya tidak mau. Sampai suatu hari suami saya lelah dan capek menghadapi saya dan berkata, "Kalau memang bercerai membuat kamu bahagia. Lakukanlah!" Jantung ini seperti berhenti sebentar dan terasa sakit sekali. Hati nurani saya mulai berkecamuk.

Saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Saya hanya punya keluarga saja. Apakah saya tidak ingin mempertahankan keluarga saya? Ataukah saya juga ingin menghancurkannya? Saya mulai berpikir, banyak orang-orang di luar sana yang tidak memiliki keluarga yang utuh seperti saya. Mempunyai suami dan anak-anak yang baik dan sangat menyayangi saya. Kenapa sih, saya tidak pernah bersyukur? Saya masuk kamar menangis dan berdoa kepada Tuhan. Saya tiba-tiba menyesali semua perbuatan saya kepada suami dan anak-anak. Saya memberanikan diri meminta maaf kepada mereka dan menyalahkan diri saya atas semua yang terjadi di dalam rumah tangga kami.

Di dalam pergumulan hidup yang saya alami, Tuhan mempertemukan saya dengan seorang wanita yang begitu baik berkorban buat saya dan keluarga saya. Sekarang wanita ini seperti saudara dan menjadi sahabat terbaik saya. Dia seperti malaikat yang Tuhan kirimkan buat keluarga kami. Teman saya ini mendaftarkan saya untuk mengikuti sebuah camp. Saya mendapatkan pencerahan bahwa apa yang saya lakukan terhadap suami dan anak-anak selama ini salah bahkan merugikan bukan hanya orang lain tetapi diri sendiri. Saya telah meletakkan “keberhargaaan” diri kepada hal-hal duniawi yang fana tidak kekal dan bersifat sementara. Yang paling fatal, saya tidak tunduk terhadap suami.



Saya selalu berpikir bahwa berkat-berkat yang saya terima itu benar-benar atas kerja keras saya. Saya sadar dan bertobat! Sejak di camp selama tiga hari dua malam, saya terus merenungi semua yang terjadi dan keberadaan diri saya. Saya belum terlambat. Saya memutuskan dan memilih meletakkan “keberhargaan” diri saya kepada firman Tuhan, berdoa dan berusaha melakukannya dalam hidup sehari-hari. Saya mau menyelamatkan kembali rumah tangga saya. Saya sadar bahwa wanita berharga tidak ditentukan oleh penampilannya, jabatannya, kekayaannya, tetapi bagaimana ia bisa menerima dirinya sendiri.

Kalau hidup adalah sebuah pilihan dan sebuah keputusan, maka saya memilih menjadi wanita yang baik dan bijak untuk membangun kembali rumah tangga saya dan bukan meruntuhkannya. “Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri." Kalimat ini yang menyadarkan saya kembali. Tuhan menolong saya berubah saat itu juga.

Pulang dari camp tersebut, saya sujud kepada suami meminta maaf atas semua yang terjadi. Kami saling membuka hati dan bermaafan. Saya dan suami berkomitmen membuka lembaran baru. Dan mempersilakan suami saya untuk mengambil alih pimpinan nahkoda kapal kami. Penundukkan diri saya terhadap suami dan kesehatian kami berdua membuat rumah tangga kami mulai bangkit bersinar dan memiliki semangat yang baru penuh dengan damai sejahtera.

Masalah tetap ada dan sama tapi cara pandang kami berbeda. Keluarga saya dipulihkan. Sakit saya disembuhkan oleh karena muljizat Tuhan. Saya sangat bersyukur sekali kepada Tuhan yang telah menolong saya berubah dan menyelamatkan rumah tangga saya. Dan berterima kasih kepada sahabat saya yang membantu saya selama ini. Berterimakasih kepada suami saya terkasih dan anak-anak saya tercinta.

Semoga cerita ini menjadi inspirasi bagi wanita-wanita di luar sana.






(vem/nda)