Momen Tukar Kado Terakhir dengan Ibu Tercinta

Endah Wijayanti diperbarui 31 Des 2019, 14:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya momen yang tak terlupakan bersama ibu? Memiliki sosok ibu yang inspiratif dan memberi berbagai pengalaman berharga dalam hidup? Seorang ibu merupakan orang yang paling berjasa dan istimewa dalam hidup kita. Kita semua pasti memiliki kisah yang tak terlupakan dan paling berkesan bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam lomba dengan tema My Moment with Mom ini.

***

Oleh: Safrida Liasna Tarigan - Pangkalan Brandan

Suara lonceng yang berdenting di loteng-loteng gereja sejenak memenuhi kepala, membawa lamunanku jauh ke malam natal tahun lalu. Masih tergambar dengan jelas bagaimana hebohnya kami membungkus kado-kado untuk diletakkan di bawah pohon natal itu. “Nanti kita tukeran kado ya, pokoknya pas tanggal 25 pagi langsung kita acak-acak, cabut nomor,” kata ibu dengan semangatnya. Tidak seperti ibu yang biasanya, pikirku.

Ya, ibuku bukan orang yang “romantis”, bahkan cenderung kaku. Jujur aku merasa tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ibu, rasanya selalu ada dinding pembatas di antara kami. Kami mungkin sepasang ibu-anak yang paling klop kalo untuk urusan debat dan gontok-gontokan. Aku selalu menilai ibu sebagai orang yang keras kepala, mau menang sendiri, dan selalu merasa paling benar. Oke, kalian bisa menilaiku sebagai anak kurang ajar sekarang.

Tak habis pikir rasanya melihat begitu kerasnya ibu berusaha untuk tetap mendekatkan kami dengan keluarga ayahku setelah peristiwa satu itu. Masih kuingat betapa beringasnya mereka ketika saling bersatu hati untuk menjual rumah warisan nenek. Mendiang ayah memang sempat berpesan agar nenek bisa menghabiskan masa tuanya di rumah itu namun sepeninggal ayah justru rumah dijual dilengkapi dengan bumbu-bumbu fitnah bahwasanya ibu adalah pihak pelit yang berkuasa untuk menguasai harta nenek. Kutolak mati-matian bujukan ibu untuk mengunjungi mereka namun ibu dengan lembutnya berkata, “Sesakit hati sedalam apa pun Ibu kepada mereka, kalian tetap anak ayah, darah mereka juga mengalir di diri kalian." Alasan yang konyol pikirku saat itu.

Ibuku… perempuan yang sok baik. Entah sudah berapa banyak uang yang dipinjamkan untuk orang-orang sekitar kami, tentu kebanyakan tidak kembali atau justru si peminjam menghilangkan dirinya bak di telan bumi. Ibu adalah tipe orang yang mau mengantarkan temannya mengurus berkas kantor kesana kemari bahkan sampai mengorbankan kesehatannya sendiri karena terlalu kelelahan. “Ibu hanya ingin mengerjakan bagian ibu, berbuah untuk sekitar." Jawaban klise yang biasanya hanya ku balas dengan bantingan pintu di sela-sela debat kami.

Aku tak mau ibu dibodohi dan hanya dimanfaatkan oleh orang lain. Toh nanti di saat kita yang membutuhkan, belum tentu mereka segiat ibu menyodorkan bantuan. Tapi entah kenapa rasanya tiap alasan yang kusampaikan justru hanya berakhir pada debat panjang berujung pada perang dingin di antara kami. Ibu tetap menjadi ibu yang biasa, memberikan semua yang dia punya, termasuk kesehatannya sendiri.

 

2 dari 2 halaman

Ibu Pergi untuk Selamanya tapi Kebaikannya Terus Dikenang

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Dragon+Images

Kesehatan ibu memang agak menurun di awal tahun. Ibu punya penyakit maag, tapi sudah sangat lama tidak pernah kambuh. Entah karena kelelahan atau stres pekerjaan, nyeri di ulu hati semakin sering muncul. Beberapa kali kunjungan ke dokter, lemas di tubuh ibu tak juga menghilang. Aku dan adik pun memutuskan untuk membawa ibu ke RS. Masih kuingat jelas ketika hasil USG abdomen ibu dibacakan, ada penjalaran kanker di liver ibu. Kabar yang menyentakkan jantung kami pada saat itu. Kupegang kedua telapak tangan ibu yang dingin pucat, air mata menetes tanpa henti membanjiri wajah kami. 

Hidupku rasanya tak lagi sama selepas vonis itu. Aku tak akan pernah siap untuk kehilangan ibu, bisikku dalam doa tiap malamnya. Senyum pun tak pernah lagi terukir di wajah ibu. Anak mana yang tak hancur hatinya ketika mendengar permintaan ibunya mengenai dimana ia ingin dimakamkan nantinya. 

Hari-hari terakhir ibu kami habiskan dengan mendung. Walaupun demikian ibu menyempatkan untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya mengenai pelajaran hidup yang belum pernah kami dapatkan sebelumnya. Pilihlah pasangan hidup yang mau diajak kerja sama, jangan sampai kalian terpecah hanya karena harta, dan beberapa petuah lainnya. “Kami tak bisa hidup tanpa Ibu," bisikku di pelukannya. “Bisa, Nak, kalian pasti bisa."

Ibu menghembuskan napas terakhirnya 8 hari sesudahnya di kamar di rumah kami. Ia memilih untuk pulang dan tak ingin dibiopsi. Ibu ingin kembali ke rumah Tuhan tanpa ada bagian tubuhnya yang dirusak. Ratusan pelayat mengantar kepergian ibu. “Ibumu orang yang baik, Nak. Ibu sering kali ditolongnya," kalimat-kalimat sejenis juga semakin sering kudengar. Aku bangga, ibu yang dulu kuanggap sok baik, justru meninggalkan kesan mendalam untuk orang-orang di sekitarnya. Ibu yang kubilang keras kepala, ternyata hidup dan berbuah bahkan menjadi terang bagi sesamanya.

Tak pernah kusangka, pertukaran kado yang kami buat menjadi yang pertama sekaligus terkahir untukku. Natal tahun ini, aku tahu ibu tetap melihat kami dari atas sana. Terima kasih, Bu untuk  kekerasan kepala ibu dalam mengajarkan kami apa arti mengasihi dan berdampak. Aku janji tak akan menjadi egois seperti dahulu. Maafkan aku, Bu karena belum bisa maksimal menjalankan peranku sebagai anak. Aku sayang Ibu. Tenang di sana ya, Bu, kirim salam juga untuk Ayah.

#GrowFearless with FIMELA