Melihat Peningkatan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Asia Pasifik akibat Pandemi COVID-19

Annissa Wulan diperbarui 04 Des 2020, 20:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Masa isolasi selama pandemi COVID-19 telah menyebabkan peningkatan kasus kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan di Asia. Laporan berjudul "Because We Matter" yang dirilis oleh Plan International Australia dan Save the Children menunjukkan peningkatan yang mengganggu dalam pelecehan online.

Laporan ini menyoroti anak-anak yang lebih sering terkena cyberbullying, konten berbahaya, dan eksploitasi seksual selama masa isolasi. Jumlah pelecehan seksual secara online yang dilakukan terhadap anak-anak di Filipina lebih dari 3 kali lipat selama pandemi COVID-19 berlangsung.

Antara awal Maret dan akhir Mei, tercatat sekitar 279.166 kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak, dibandingkan dengan 76.561 kasus pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Di Thailand, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tercatat hampir 2 kali lipat antara Februari dan April, seperti dilansir dari abc.net.au.

Kelompok Perlindungan Anak Desa Kediri di Indonesia juga menerima keluhan dari anak perempuan dan laki-laki tentang perjuangan mereka di rumah, seperti stres, eksploitasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pernikahan anak. Kristin Diemer, seorang peneliti senior di University of Melbourne mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di desa-desa terpencil di negara-negara seperti Myanmar, Vietnam, dan Filipina mengalami isolasi yang diperparah oleh pandemi COVID-19.

 

 

2 dari 3 halaman

Anak juga berisiko tinggi mengalami eksploitasi

ilustrasi/copyrightshutterstock/myboys.me

Kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID-19 sulit diukur, beberapa organisasi melaporkan keheningan yang mengerikan karena beberapa perempuan dikurung oleh pelaku dan tidak dapat meminta bantuan. Pada saat yang sama, peningkatan panggilan ke saluran bantuan bisa menjadi indikasi bahwa kekerasan yang parah telah menyebabkan lebih banyak perempuan mencari dukungan.

Selama masa isolasi, anak-anak menyaksikan dan mengalami lebih banyak kekerasan dalam rumah tangga, karena mereka tidak berada di sekolah atau dapat mengunjungi teman. Masa isolasi juga telah meningkatkan jumlah orang yang mengakses pornografi secara online.

Hal ini kemudian mengarah pada peningkatan permintaan yang dapat diterjemahkan ke dalam peningkatan eksploitasi anak untuk tujuan pornografi secara online. Plan International Australia juga menyoroti situasi di Asia Pasifik yang sangat berbahaya, mendesak tindakan segera dari pemerintah.

Tekanan ekonomi pada keluarga karena pandemi COVID-19 juga meningkatkan potensi anak perempuan dieksploitasi karena alasan ekonomi, baik melalui pernikahan dini dan paksa, atau dieksploitasi untuk seks. PBB telah memperkirakan dampak pandemi yang masih muncul dapat menyebabkan tambahan 13 juta pernikahan anak dan 2 juta kasus mutilasi alat kelamin perempuan selama dekade berikutnya.

3 dari 3 halaman

Kekerasan berbasis gender berpotensi menyebabkan gangguan mental pada perempuan

Kekerasan Perempuan/dok. Unsplash Cristian

Laporan "Unlocking the Lockdown" yang berfokus pada efek gender dari pandemi menemukan 53% perempuan telah melihat jam kerja mereka berkurang, dibandingkan dengan 31% pria. Perempuan menanggung sebagian besar beban pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar selama masa isolasi dan 66% perempuan telah melihat pandemi COVID-19 berdampak pada mereka secara finansial, dibandingkan dengan 54% pria.

Laporan tersebut mengatakan pandemi telah memicu krisis kesehatan mental di kawasan Asia Pasifik, dengan kehilangan pekerjaan dan kekerasan berbasis gender, menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi pada perempuan muda. Kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan masalah mendesak di Australia.

Sebuah laporan dari Australian Institute of Criminology yang baru-baru ini diterbitkan telah mensurvei 15.000 perempuan Australia tentang kekerasan dalam rumah tangga selama tahap pertama pandemi. Dua pertiga perempuan yang mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan dan saat ini masih bersama mengatakan bahwa kekerasan telah dimulai atau meningkat dalam 3 bulan sebelum survei.

#ChangeMaker