7 Sikap Tepat Menghadapi Orang yang Sengaja Mempermalukanmu

Endah WijayantiDiterbitkan 29 Maret 2025, 12:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Tidak semua yang tampil lantang di depan umum layak diberi ruang dalam hati kita. Di tengah keramaian atau bahkan lingkaran sosial terdekat, selalu ada satu-dua orang yang menjadikan mempermalukan orang lain sebagai alat untuk merasa lebih tinggi.

Mereka melontarkan sindiran, memperbesar kesalahan kecil, atau melabeli sesuatu yang seharusnya tak perlu dibahas di depan orang banyak. Ironisnya, orang-orang seperti ini sering kali tidak sadar bahwa sikap mereka adalah cermin dari kekosongan batin sendiri. Namun, bagaimana kita harus menyikapi? Diam bukan selalu emas, melawan bukan selalu jawaban. Ada cara yang lebih bijaksana, lebih elegan, dan tetap menjaga harga diri kita utuh tanpa harus terjebak dalam permainan emosi mereka.

Sahabat Fimela, artikel ini tidak akan mengajakmu sekadar bersabar atau memendam rasa tak nyaman. Kita akan menelaah tujuh sikap yang jarang dibahas tetapi sangat efektif untuk menghadapi mereka yang berniat menjatuhkanmu di depan umum. Bukan dengan menunduk, bukan pula dengan membalas, melainkan dengan pendekatan yang memosisikanmu tetap di kursi pengendali suasana.

What's On Fimela
2 dari 8 halaman

1. Kendalikan Ekspresi tanpa Harus Membalas Tatapan

Hidup bahagia./Copyright Fimela - Guntur Merdekawan

Sahabat Fimela, sering kali serangan verbal yang bersifat mempermalukan bukan sekadar kata-kata, melainkan teatrikal—mereka ingin melihat reaksimu. Mereka menunggu perubahan ekspresi wajahmu, tatapan terguncang, atau mungkin nada bicara yang meninggi sebagai bukti bahwa mereka berhasil menguasai suasana. Di sini, sikap paling kuat justru terletak pada ketenangan yang tak terpancing.

Tidak semua tatapan harus dibalas, apalagi dengan wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Alih-alih menatap balik dengan emosi, alihkan fokusmu pada hal lain, seperti memerhatikan sekitar atau menyesuaikan postur tubuh. Orang yang berniat mempermalukan akan kehilangan panggungnya ketika targetnya tak menunjukkan reaksi seperti yang mereka harapkan.

Dengan mengatur mimik wajah tetap tenang dan bicara seperlunya, kamu mengirim sinyal kuat bahwa harga dirimu tidak tergantung pada opini mereka. Sikap ini bukan bentuk menghindar, tetapi seni mengendalikan medan sosial tanpa mengorbankan martabat diri sendiri.

3 dari 8 halaman

2. Gunakan Diam sebagai Bahasa Tertegas

Semangat hidup./Copyright Fimela - Risang Abel

Banyak yang mengira diam adalah tanda kalah, padahal justru sebaliknya. Sahabat Fimela, diam bisa menjadi bahasa paling tegas ketika disematkan di momen yang tepat. Saat seseorang berusaha mempermalukanmu di hadapan banyak orang, tak perlu tergesa-gesa membalas atau memberi klarifikasi yang berlebihan.

Diammu mengandung dua pesan. Pertama, kamu tidak merasa perlu membenarkan diri di depan mereka yang niatnya jelas ingin menjatuhkan. Kedua, kamu memberi ruang bagi orang lain untuk menilai situasi tanpa harus repot menjelaskan siapa yang sebenarnya tidak dewasa.

Di saat banyak orang sibuk bereaksi, kamu tampil sebagai pribadi yang memilih kendali atas emosinya. Diam di sini bukan kepasrahan, melainkan bentuk kekuatan tersembunyi yang menempatkanmu satu langkah lebih tinggi tanpa harus bersuara.

4 dari 8 halaman

3. Balikkan Fokus pada Hal yang Lebih Penting

Pertambahan usia./Copyright Fimela - Abel

Sahabat Fimela, salah satu trik yang jarang disadari saat menghadapi situasi memalukan adalah kemampuan mengalihkan fokus. Alih-alih terpaku pada perkataan orang tersebut, kunci kemenanganmu terletak pada menggeser perhatian semua orang ke hal yang lebih substansial.

Misalnya, jika di forum kerja ada yang mempermalukan kontribusimu, arahkan kembali pembicaraan pada solusi atau pencapaian yang relevan. Tak perlu menyangkal atau terpancing, cukup tunjukkan kompetensi lewat tindakan. Perlahan, audiens akan melupakan komentar negatif dan lebih tertarik pada esensinya.

Sikap ini menunjukkan bahwa kamu tidak terjebak dalam pusaran drama. Energi yang kamu miliki dialihkan untuk hal yang produktif, bukan sekadar adu argumentasi yang justru membuang waktu.

5 dari 8 halaman

4. Jangan Jadikan Diri Sendiri Musuh Kedua

Pesona menarik./Copyright Fimela 

Sering kali, Sahabat Fimela, musuh terbesarmu bukan mereka yang mempermalukanmu, melainkan dirimu sendiri yang terus mengulang-ulang kejadian itu di kepala. Begitu acara selesai, justru kita yang tanpa sadar menghukum diri, mempertanyakan harga diri, dan membiarkan kata-kata mereka terus bergema.

Berhenti di titik ini. Jangan biarkan momen memalukan menjadi hantu dalam benakmu. Setiap orang pernah mengalami situasi tak menyenangkan, namun mereka yang tangguh tahu kapan harus menutup babak itu dan melangkah ke lembaran baru.

Sikap menerima tanpa menyalahkan diri sendiri justru akan membebaskanmu dari belenggu rasa malu berkepanjangan. Apa yang sudah lewat tidak layak disimpan di memori sebagai penghambat.

6 dari 8 halaman

5. Ubah Rasa Malu Menjadi Bahan Bakar Empati

Bangkit dari titik terendah./Copyright Fimela - Risang Abel

Ada rahasia kecil yang sering dilupakan: orang yang suka mempermalukan biasanya adalah orang yang sendiri tidak pernah mendapat ruang aman untuk merasa cukup. Alih-alih membalas dengan amarah, Sahabat Fimela bisa memilih jalur yang lebih manusiawi—mengolah rasa malu itu menjadi empati.

Ketika kamu menyadari bahwa tindakan mereka hanyalah manifestasi dari kekurangan mereka sendiri, hatimu tak lagi penuh dendam. Tidak semua serangan harus dijawab dengan senjata yang sama. Kadang, cukup dengan memahami akar dari tindakan mereka, kamu sudah memenangkan pertarungan.

Empati bukan berarti membiarkan, melainkan menyadari bahwa dirimu lebih utuh tanpa harus terlibat dalam siklus saling menjatuhkan.

7 dari 8 halaman

6. Buat Batas tanpa Drama

Menjaga kesehatan./Copyright Fimela - Adhib

Bersikap tegas bukan berarti menciptakan konfrontasi terbuka. Sahabat Fimela, menghadapi orang yang gemar mempermalukan butuh seni membuat batas tanpa menimbulkan drama baru. Cara terbaik adalah menempatkan jarak, baik secara emosional maupun sosial.

Tidak perlu pengumuman besar atau sindiran balik. Cukup kurangi interaksi, minimalisir keterlibatan personal, dan jika perlu, hanya berbicara seperlunya di konteks formal. Kamu tidak perlu membiarkan orang seperti itu masuk ke ranah pribadimu lebih jauh.

Batasan ini bukan benteng ketakutan, melainkan pagar sehat yang melindungimu dari energi negatif tanpa harus menambah keributan.

8 dari 8 halaman

7. Rawat Diri Sendiri Setelahnya, Bukan Mereka

Sikap yang lebih baik./Copyright Fimela - Guntur Merdekawan

Setelah kejadian yang membuatmu merasa tak nyaman, Sahabat Fimela, banyak yang secara refleks fokus pada bagaimana mengubah persepsi orang lain. Padahal yang paling butuh perawatan justru dirimu sendiri. Alihkan perhatian pada apa yang membuatmu kembali tenang, entah itu menyendiri, bercerita pada sahabat terpercaya, atau melakukan hal-hal yang membuatmu merasa cukup.

Jangan habiskan energi mencari validasi dari lingkungan yang tak perlu. Validasi terbaik datang dari rasa nyamanmu terhadap diri sendiri. Memberi ruang bagi diri untuk memulihkan rasa percaya diri jauh lebih bermakna daripada mencoba memperbaiki opini mereka yang sengaja menjatuhkan.

Pada akhirnya, martabatmu tidak pernah bergantung pada seberapa keras kamu melawan, tetapi pada seberapa tulus kamu menjaga dirimu tetap utuh di tengah badai kecil yang tak layak mengganggu ketenanganmu.

Sahabat Fimela, setiap situasi yang berusaha mempermalukanmu selalu membawa dua pilihan: apakah kamu akan membiarkannya merusak harimu, atau kamu akan menggunakannya sebagai panggung untuk menunjukkan betapa tak tergoyahkannya dirimu. Pilihan itu selalu ada di tanganmu.