Alasan Anak Sering Mengamuk di Rumah tapi Tertib di Luar

DreyandraDiterbitkan 12 Juli 2025, 12:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Sebagian besar orang tua pernah mengalami momen di mana anak mereka tampak begitu patuh dan tenang saat berada di sekolah, rumah saudara, atau tempat umum—namun berubah 180 derajat saat berada di rumah sendiri. Anak menjadi lebih mudah marah, menangis, membantah, atau bahkan berteriak saat bersama orang tuanya. Fenomena ini membuat banyak orang tua bingung, bahkan merasa gagal dalam mengasuh.

Namun, situasi ini sebenarnya sangat umum dan memiliki penjelasan psikologis yang masuk akal. Bukan berarti anak berpura-pura atau bermuka dua, tapi justru karena di rumah—mereka merasa paling aman untuk menjadi diri sendiri. Memahami dinamika emosi anak di lingkungan rumah dapat membantu orang tua lebih sabar dan efektif dalam mengelola perilaku anak.

What's On Fimela
2 dari 5 halaman

Rumah adalah Zona Aman bagi Anak

Anak-anak umumnya belum punya kendali emosi yang matang seperti orang dewasa. Di luar rumah, mereka cenderung menahan perasaan, berusaha bersikap sesuai ekspektasi, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tapi ketika sudah kembali ke rumah, tempat yang mereka anggap paling aman, semua emosi yang tertahan sepanjang hari bisa “meledak” tanpa filter.

Zona aman ini membuat anak merasa bisa berekspresi tanpa takut dihakimi. Jadi, meskipun terlihat menyebalkan, tantrum atau ledakan emosi di rumah sebenarnya merupakan bentuk kepercayaan dan kenyamanan anak terhadap orang tuanya. Ia tahu bahwa di rumah, ia tetap dicintai bahkan saat marah atau rewel.

3 dari 5 halaman

Ujian Bagi Orang Tua: Menjadi Tempat Pelepasan Emosi

Anak yang mengalami overstimulasi sering kali menunjukkan ledakan emosi secara tiba-tiba. (Foto/Dok: freepik.com/karlyukav)

Orang tua sering kali menjadi sasaran utama kemarahan atau kekecewaan anak, bukan karena mereka dibenci, tapi karena anak merasa paling aman dan bebas saat bersama mereka. Ini menjadi tantangan besar bagi orang tua untuk tetap tenang dan tidak langsung menganggap perilaku anak sebagai bentuk ketidaksopanan atau kurang ajar.

Penting bagi orang tua untuk belajar membedakan antara perilaku yang perlu dikoreksi dan ekspresi emosi yang perlu dipahami. Anak yang menangis, menolak, atau berteriak belum tentu sedang memberontak. Bisa jadi, ia hanya sedang kelelahan secara emosional setelah seharian berjuang untuk menjadi "anak baik" di luar rumah.

4 dari 5 halaman

Ajarkan Anak Mengenali dan Mengelola Emosi

Anak sensitif dan mudah menangis hanya perlu bimbingan dari orang tua untuk membantu mengelola emosi mereka. Berikut caranya. (Foto: Unsplash.com/Omar Lopez).

Daripada memarahi atau membandingkan ("Kenapa di rumah kamu marah-marah, padahal di sekolah nggak?"), lebih baik bantu anak mengenali perasaan mereka. Ajarkan mereka untuk memberi nama pada emosi—seperti marah, sedih, kecewa, atau lelah. Semakin mereka mengenal emosi sendiri, semakin mudah pula bagi mereka mengelolanya.

Bisa dimulai dengan aktivitas sederhana seperti membuat jurnal gambar emosi, membaca buku cerita bertema emosi, atau berdialog dengan empati setelah anak tenang. Ingat, kemampuan regulasi emosi tidak muncul otomatis. Anak perlu diajarkan dan dicontohkan secara konsisten.

 

5 dari 5 halaman

Ciptakan Rutinitas dan Waktu Koneksi Emosional

Anak-anak cenderung lebih stabil secara emosional ketika mereka memiliki rutinitas yang jelas dan momen koneksi emosional yang cukup dengan orang tuanya. Misalnya, momen bercerita sebelum tidur, bermain bersama setelah pulang sekolah, atau sekadar makan malam tanpa gadget. Hal-hal sederhana ini membuat anak merasa dipahami dan dicintai secara utuh.

Selain itu, rutinitas juga memberi rasa aman karena anak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini penting untuk menghindari kejutan yang memicu kecemasan dan ledakan emosi. Anak yang mendapatkan cukup perhatian dan koneksi di rumah cenderung lebih tenang dan tidak merasa perlu “mengamuk” untuk diperhatikan.

Perilaku anak yang tampak berbeda di rumah dan di luar bukan tanda bahwa ia manipulatif atau “nakal di rumah saja”. Sebaliknya, itu pertanda bahwa rumah adalah tempat di mana ia bisa melepaskan emosi yang tidak bisa ia tunjukkan di tempat lain. Orang tua adalah tempat berlindung, dan terkadang juga tempat pelampiasan karena rasa aman itu sendiri.

Daripada merasa frustrasi, orang tua bisa menjadikan momen ini sebagai peluang untuk lebih mengenal anak, mempererat hubungan emosional, dan membimbing mereka menghadapi emosi dengan sehat. Dengan pemahaman dan kesabaran, rumah bukan hanya menjadi tempat aman untuk meledakkan emosi, tapi juga tempat belajar menenangkan dan menyembuhkan diri.