Peran Krusial Teknologi EGG untuk Deteksi Epilepsi yang Mengubah Hidup bagi Masyarakat Daerah Terpencil

Vinsensia DianawantiDiperbarui 20 Juli 2025, 11:36 WIB

ringkasan

  • Teknologi Elektroensefalografi (EGG) merekam aktivitas listrik otak untuk mendiagnosis epilepsi, dengan akurasi yang meningkat signifikan berkat integrasi machine learning.
  • Inovasi EGG membantu mengatasi stigma sosial epilepsi di Indonesia dengan memberikan diagnosis ilmiah yang objektif, mengubah persepsi dari mitos menjadi kondisi medis.
  • Pengembangan perangkat EGG wearable dan aplikasi seluler memungkinkan pemantauan berkelanjutan, memprediksi serangan, dan meningkatkan kualitas hidup penderita epilepsi.

Fimela.com, Jakarta Epilepsi, sebuah kondisi neurologis yang ditandai kejang berulang, masih menjadi tantangan kesehatan signifikan di Indonesia. Minimnya pemahaman masyarakat terhadap epilepsi kerap menimbulkan stigma bahwa epilepsi merupakan gangguan kejiwaan dan penyakit kutukan. Masyarakat selama ini lebih mengenal epilepsi sebagai "ayan" atau "kejang-kejang", padahal kondisi ini adalah gangguan sistem saraf yang bisa sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang.Namun, pemahaman ilmiah modern dan kemajuan teknologi kini menawarkan harapan baru bagi para penderita.

Untuk mengatasi tantangan ini, diagnosis yang akurat menjadi kunci utama dalam penanganan epilepsi yang efektif. Salah satu alat diagnostik paling penting adalah Elektroensefalografi (EGG), sebuah metode yang merekam aktivitas listrik otak. Teknologi ini memungkinkan dokter untuk melihat pola gelombang otak yang tidak normal.

Seiring waktu, Teknologi EGG untuk deteksi epilepsi terus berkembang pesat, terutama dengan integrasi kecerdasan buatan. Inovasi ini menjanjikan peningkatan akurasi diagnosis yang signifikan, bahkan mencapai 94% dalam beberapa studi. Perkembangan ini membuka jalan bagi penanganan epilepsi yang lebih personal dan tepat sasaran.

2 dari 4 halaman

Menguak Mitos dan Realita Epilepsi di Indonesia

Di Indonesia, epilepsi seringkali dikaitkan dengan berbagai mitos dan stigma negatif. Banyak masyarakat masih menganggap kejang sebagai tanda-tanda mistis atau kutukan, bukan sebagai kondisi medis yang membutuhkan penanganan. Anggapan ini menyebabkan penderita seringkali terisolasi dan kesulitan mendapatkan dukungan yang memadai.

“Epilepsi bukan kutukan, bukan gangguan jiwa, dan banyak pasien bisa menjalani hidup normal dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat,” ujar Ketua Kelompok Kerja Epilepsi dan EEG, Perdosni Pusat, Dr. dr. Aris Catur Buntoro, Sp.N., Subsp.NNET (K). Lebih lanjut, dokter Aris mengatakan epilepsi dapat dikontrol dengan terapi dan pengobatan yang tepat.

Dokter Aris mengatakan, epilepsi bisa muncul dengan gejala yang tak selalu dramatis, seperti melamun mendadak, gerakan aneh yang berulang, atau kehilangan kesadaran sesaat. Diagnosis yang tepat sangat penting.

“Karena tidak semua kejang adalah epilepsi, dan tidak semua epilepsi menampakkan kejang yang jelas.”

Lebih lanjut dokter Aris menyebutkan tantangan hidup sehari-hari yang dialami pasien epilepsi. Banyak dari mereka yang merasa cemas menjalani aktivitas normal seperti naik kendaraan umum, bekerja, bahkan sekadar bersekolah, karena risiko kejang yang bisa datang tiba-tiba. 

“Takut jatuh, cedera, atau menjadi perhatian orang sekitar membuat sebagian besar pasien menarik diri dari lingkungan sosialnya,” ujar dokter Aris.

“Tak sedikit pasien yang terganggu pekerjaannya karena stigma atau dianggap tidak mampu.” Ia menambahkan, bahwa minimnya pemahaman masyarakat membuat penderita epilepsi kerap dikucilkan, bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Padahal, dengan pengobatan teratur dan pemantauan yang baik, sebagian besar pasien bisa hidup mandiri, berprestasi, dan berkontribusi di masyarakat seperti orang lainnya.

Padahal, epilepsi adalah gangguan neurologis yang dapat diobati dan dikelola dengan baik. Tingginya prevalensi epilepsi di Indonesia menunjukkan bahwa ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius. Stigma sosial ini tidak hanya memengaruhi psikologis penderita tetapi juga menghambat akses mereka terhadap diagnosis dan perawatan medis yang tepat.

Dengan adanya alat diagnostik seperti EGG, pemahaman tentang epilepsi dapat diubah dari mitos menjadi fakta ilmiah. EGG menyediakan bukti objektif mengenai aktivitas otak yang tidak normal, membantu dokter menjelaskan kondisi pasien secara rasional. Ini adalah langkah krusial untuk mendobrak stigma dan mendorong masyarakat menerima epilepsi sebagai kondisi medis biasa.

3 dari 4 halaman

Peran Krusial Teknologi EGG dalam Diagnosis Akurat

Diagnosis epilepsi membutuhkan ketelitian, dan ditunjang oleh mesin elektroensefalografi (EEG) sebagai alat  pemeriksaan utama untuk mendiagnosa epilepsi secara akurat,  untuk merekam aktivitas listrik otak. Melalui pola-pola ini, epilepsi dapat teridentifikasi. 

“Akan tetapi, pada praktiknya pemeriksaan EEG memerlukan waktu, tenaga ahli, dan alat yang hanya tersedia terbatas, sehingga tidak selalu mudah diakses pasien di daerah atau fasilitas kesehatan tingkat pertama,” kata dokter Aris.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular pada Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., mengatakan, bahwa, setidaknya lebih dari satu juta orang di Indonesia diperkirakan hidup dengan epilepsi. Sebagian besar belum mendapatkan diagnosis yang tepat, bahkan banyak yang belum menyadari bahwa mereka mengalami gangguan pada sistem saraf yang sebenarnya dapat ditangani secara medis. 

“Akibatnya, banyak penderita epilepsi yang tidak tertangani secara optimal dan justru mengalami stigma sosial atau mendapat pengobatan tradisional yang tidak tepat. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk kualitas hidup mereka dan meningkatkan risiko komplikasi,” kata dokter Siti. 

Di sisi lain, menurut dokter Siti terdapat keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan neurologis, terutama di daerah-daerah terpencil. “Fasilitas seperti elektroensefalografi (EEG) sebagai alat utama dalam mendiagnosis epilepsi masih sangat terbatas dan umumnya hanya tersedia di rumah sakit tipe A atau B, dan sebagian tipe C” ujarnya.

“Selain itu, jumlah dokter spesialis saraf (neurolog) juga masih minim dan penyebarannya tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.”

Menanggapi tantangan diagnosis epilepsi, dokter Siti mengatakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah seperti membangun lebih banyak fasilitas kesehatan dan pengadaan alat EEG, namun keterbatasan jumlah dokter saraf masih menjadi hambatan utama. 

“Karena untuk membaca hasil EEG, tetap dibutuhkan dokter spesialis,” ujarnya.

Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi, hambatan ini mulai terjawab. Perluasan akses terhadap layanan kesehatan spesialistik menjadi semakin memungkinkan, termasuk di wilayah terpencil. Inovasi seperti Point of Care EEG (POC EEG) dapat menjadi solusi strategis, mendekatkan layanan diagnostik neurologis kepada masyarakat.

Alat ini bersifat portabel, mudah dioperasikan oleh tenaga medis terlatih di puskesmas atau klinik, serta memungkinkan hasil pemeriksaan dikirim secara digital kepada dokter spesialis saraf di lokasi lain untuk dianalisis. Dukungan kebijakan yang mendorong adopsi teknologi seperti POC EEG penting untuk mempercepat deteksi dini epilepsi dan gangguan pada sistem syaraf (neurologis) lainnya secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

4 dari 4 halaman

Pentingnya peran dokter, akademisi, dan teknologi

Menurut dokter Aris, kolaborasi antara dokter, akademisi, dan teknologi sangat penting.

“Penelitian bersama bisa dilakukan di fasilitas terpencil, pasien dengan gejala epilepsi bisa diperiksa dengan POC EEG, dan dibaca oleh dokter saraf yang tidak harus berada di lokasi yang sama,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Head of Medical & Pharmacovigilance PT Wellesta, dr. David Laksono Sigit, mencontohkan keberhasilan penggunaan POC EEG di negara lain. “Dengan alat ini, masyarakat di tempat terpencil kini bisa mendapatkan akses diagnosis epilepsi, angka deteksi meningkat, dan kualitas hidup pasien membaik,” ujarnya.

Praktik baik dari negara lain ini menunjukkan bahwa dengan dukungan teknologi dan kebijakan yang tepat, transformasi sistem deteksi epilepsi juga mungkin dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia.

Dengan dukungan regulasi, pembiayaan, serta pelatihan tenaga kesehatan, teknologi ini dapat menjadi bagian integral dari sistem rujukan nasional berbasis telemedisin yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, khususnya di daerah.