Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, pernahkah kamu merasa lelah saat si kecil terus-menerus bertanya? Mulai dari hal sederhana seperti, “Kenapa langit biru?” hingga pertanyaan filosofis seperti, “Kenapa orang harus bekerja?” semua itu sebenarnya adalah jendela kecil menuju dunia mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah cara anak memahami hidup, belajar mengenali lingkungannya, dan membangun logika berpikirnya.
Namun, bayangkan jika setiap pertanyaan itu diabaikan, dijawab asal-asalan, atau bahkan dianggap mengganggu. Perlahan, rasa ingin tahu mereka bisa meredup. Mengabaikan pertanyaan anak bukan sekadar membuat mereka kecewa sesaat, tetapi juga dapat memicu efek domino terhadap perkembangan emosional, kognitif, dan sosial mereka.
Lebih dari itu, hubungan emosional antara anak dan orangtua bisa ikut terganggu. Anak yang sering merasa diabaikan bisa merasa kurang dipedulikan, dan jarak emosional pun makin lebar seiring bertambahnya usia. Karena itu, penting bagi kita memahami dampak jangka panjang dari kebiasaan ini.
Dilansir dari beberapa sumber termasuk Healthline.com, berikut beberapa konsekuensi yang perlu diwaspadai saat pertanyaan-pertanyaan kecil si kecil tidak mendapatkan jawaban atau perhatian yang layak.
Keterikatan Emosional Orangtua-Anak Terasa Jauh
Sahabat Fimela, komunikasi yang hangat dan responsif adalah jembatan yang menghubungkan hati orangtua dan anak. Ketika anak merasa diabaikan, jembatan itu perlahan retak. Mereka bisa merasa tidak mendapat perhatian, pengertian, atau dukungan yang dibutuhkan di saat penting.
Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan jarak emosional yang membuat anak enggan berbagi cerita, bahkan di rumah sendiri. Mereka mungkin mulai mencari tempat lain untuk meluapkan perasaan atau menemukan jawaban, entah melalui teman sebaya atau dunia maya yang belum tentu aman.
Risiko Mengabaikan Kebutuhan Emosional
Mengabaikan pertanyaan anak bukan hanya soal kehilangan momen belajar, tetapi juga bisa menjadi bentuk emotional neglect atau pengabaian emosional. Anak yang pertanyaannya tidak ditanggapi bisa merasa bahwa perasaannya tidak penting atau tidak layak didengar.
dalam jangka panjang, pengabaian emosional dapat memicu masalah kesehatan mental seperti rasa tidak aman, kecemasan, kesulitan mengatur emosi, hingga harga diri yang rendah. Dampaknya bisa terasa hingga dewasa, membuat anak lebih sulit membangun hubungan yang sehat dan penuh kepercayaan.
Menurunnya Rasa Percaya Diri
Sahabat Fimela, setiap kali anak bertanya, itu adalah tanda bahwa ia percaya pada kita sebagai orang dewasa yang bisa memberinya jawaban. Namun, ketika pertanyaan-pertanyaan itu diabaikan atau dijawab sekadarnya, anak bisa merasa bahwa apa yang ia katakan tidak penting. Lambat laun, hal ini membuat mereka ragu untuk berbicara, bertanya, atau mengekspresikan pikirannya.
Kepercayaan diri anak pun perlahan merosot. Mereka bisa merasa tidak layak didengar, bahkan bisa menjadi terlalu pasif saat berada di lingkungan sosial. Kurangnya respons yang memadai juga menghambat stimulasi otak anak, sehingga perkembangan kecerdasan dan kreativitas mereka menjadi terhambat. Padahal, menjawab pertanyaan anak adalah salah satu cara paling sederhana untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus mengasah daya pikirnya.
Anak Takut Bertanya dan Ekspresi Diri Menurun
Bagi anak, bertanya adalah bentuk keberanian. Tapi jika setiap pertanyaannya sering diabaikan, keberanian itu bisa menghilang. Mereka mulai ragu, bahkan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah aku akan didengarkan jika aku bertanya?”
Rasa ragu ini bisa menjadi awal dari kebiasaan menarik diri. Anak mungkin memilih diam, tidak mau mengungkapkan rasa penasaran, atau hanya mencari jawaban dari sumber lain yang belum tentu benar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri dan mengomunikasikan apa yang dirasakan bisa semakin menurun.