Mengenal Fenomena Sharenting, Bahaya di Balik Kebiasaan Orangtua Pamer Anak di Medsos

Siti Nur ArishaDiterbitkan 13 Oktober 2025, 19:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Media sosial saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tak sedikit orangtua yang menjadikannya sebagai “album digital” untuk mengabadikan momen anak, mulai dari hari pertama sekolah, ulang tahun, hingga pencapaian sederhana seperti bisa mengikat tali sepatu sendiri. Kebiasaan ini disebut dengan sharenting, istilah gabungan dari sharing dan parenting.

Praktik ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu orangtua selalu senang menunjukkan foto atau cerita tentang anak kepada kerabat dan teman. Bedanya, dulu foto hanya beredar terbatas lewat album keluarga atau percakapan langsung, sedangkan sekarang semua bisa diakses jutaan orang hanya dengan sekali klik.

Dilansir dari Verywell Mind, sharenting memang memberi banyak orangtua rasa dukungan sosial, validasi, bahkan membantu mereka mengatasi kesepian. Namun, di balik manfaat tersebut, para ahli juga menyoroti potensi masalah serius, mulai dari bocornya data pribadi, ancaman pencurian identitas, hingga dampak jangka panjang pada perkembangan identitas anak.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Mengapa Orangtua Suka Melakukan Sharenting?

Bagi banyak orangtua, membagikan foto dan cerita anak terasa seperti cara alami untuk mengekspresikan kebahagiaan. Ada beberapa motivasi utama yang mendorong mereka untuk aktif melakukan sharenting. (foto/dok: freepik)

Bagi banyak orangtua, membagikan foto dan cerita anak terasa seperti cara alami untuk mengekspresikan kebahagiaan. Ada beberapa motivasi utama yang mendorong mereka untuk aktif melakukan sharenting:

1. Mengurangi Rasa Kesepian

Periode awal memiliki bayi sering kali membuat orangtua merasa terisolasi dari lingkungan sosial. Studi menemukan bahwa sharenting dapat membantu mengurangi rasa kesepian ini dengan memberikan ruang untuk berinteraksi dengan orang lain.

2. Mendapat Dukungan dan Validasi

Saat unggahan foto anak mendapat banyak “likes” atau komentar positif, hal ini bisa memberi orangtua perasaan bangga sekaligus validasi bahwa mereka melakukan tugas parenting dengan baik.

3. Membangun Rasa Bangga

Tidak hanya pada bayi atau balita, orangtua remaja juga sering berbagi pencapaian anak seperti juara lomba, nilai bagus, atau kegiatan sekolah. Bagi mereka, membagikan kebanggaan ini adalah cara untuk menginformasikan sekaligus merayakan keberhasilan anak bersama orang lain.

4. Menjaga Hubungan Sosial

Menurut psikolog anak Laura Anderson Kirby, PhD, sharenting juga memiliki sisi positif, menjaga hubungan dengan keluarga atau teman yang tinggal jauh. Foto atau cerita anak bisa menjadi jembatan komunikasi agar tetap merasa dekat meski terpisah jarak.

Risiko dan Bahaya di Balik Sharenting

Meski terlihat sepele, terlalu sering membagikan informasi anak bisa membawa konsekuensi besar. Berikut beberapa risiko utama yang perlu diperhatikan:

1. Privasi Anak Terancam

Penelitian menunjukkan 74% orangtua mengaku mengenal orang lain yang terlalu banyak membagikan cerita tentang anaknya di media sosial. Bahkan, 1 dari 10 orangtua tidak ragu membagikan detail kesehatan anak. Padahal, informasi seperti ini bisa melukai harga diri anak dan merusak kepercayaan mereka terhadap orangtua seiring bertambahnya usia.

2. Pencurian Identitas Digital

Jika informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat rumah, hingga sekolah anak tersebar, risiko pencurian identitas meningkat tajam. Hacker bisa memanfaatkan data tersebut untuk membuat akun palsu, mengajukan kredit, hingga menipu pihak lain menggunakan identitas anak.

3. Dampak Jangka Panjang pada Masa Depan

Unggahan yang tampak lucu di masa kecil bisa menjadi sumber rasa malu ketika anak beranjak dewasa. Misalnya, foto saat anak tantrum atau cerita nilai jelek di sekolah bisa muncul kembali dan memengaruhi penilaian calon universitas maupun pemberi kerja yang kini kerap memeriksa jejak digital.

4. Risiko Keamanan Fisik

Ketika terlalu banyak detail pribadi terungkap, anak bisa merasa seolah semua orang mengenalnya. Kondisi ini berbahaya karena mereka bisa kesulitan membedakan antara orang asing dan kenalan, sehingga berisiko lebih mudah percaya pada pihak yang berniat jahat.

5. Mengganggu Perkembangan Identitas Anak

Dilaporkan bahwa 92% anak di Amerika sudah memiliki jejak digital sebelum usia 2 tahun. Artinya, identitas online mereka sudah terbentuk bahkan sebelum mereka punya kendali. Hal ini berpotensi menghambat anak dalam membangun citra diri sesuai keinginan mereka sendiri saat remaja. Jika orangtua membagikan konten memalukan atau tidak sesuai, anak bisa merasa tertekan dan menjauhkan diri agar lebih bisa mengontrol apa yang ditampilkan tentang mereka.

3 dari 3 halaman

Tips Aman dalam Melakukan Sharenting

Membagikan cerita tentang anak di media sosial sebenarnya masih bisa dilakukan dengan aman, asal orangtua lebih bijak. (foto/dok: freepik/dcstudio)

Membagikan cerita tentang anak di media sosial sebenarnya masih bisa dilakukan dengan aman, asal orangtua lebih bijak. Berikut beberapa langkah yang direkomendasikan:

  • Pikirkan Tujuan Posting: tanyakan pada diri sendiri, “Apa manfaat membagikan ini? Apakah saya akan menyesal jika orang asing melihatnya?”
  • Hindari Konten Negatif atau Sensitif: jangan unggah keluhan tentang perilaku anak, detail kesehatan, atau masalah akademik.
  • Gunakan Grup Tertutup atau Anonim: jika butuh dukungan, lebih baik berbagi di grup parenting tertutup dengan identitas yang disamarkan.
  • Minta Izin Anak: sejak mereka cukup besar untuk mengerti, libatkan anak dalam keputusan apakah foto atau cerita boleh dipublikasikan.
  • Belajar Minta Maaf: jika anak marah atau malu, akui kesalahan, hapus postingan, dan jadikan momen itu sebagai pembelajaran.
  • Kurangi Oversharing: semakin anak tumbuh besar, semakin banyak ruang privasi yang mereka butuhkan.
  • Lindungi Data Pribadi: jangan pernah membagikan nama lengkap, alamat, nomor sekolah, atau informasi yang bisa dipakai untuk kejahatan digital.

Sharenting adalah fenomena yang tumbuh seiring meningkatnya penggunaan media sosial. Meski bisa memberi rasa dukungan sosial bagi orangtua, praktik ini membawa banyak risiko yang tak boleh diabaikan. Dari privasi yang terancam, potensi pencurian identitas, hingga pengaruh pada perkembangan identitas anak, semuanya menjadi alasan kuat untuk lebih bijak sebelum mengunggah.

Penulis: Siti Nur Arisha