Sukses

FimelaMom

Inner Child yang Haus Figur Ayah: Luka yang Tak Selalu Terlihat

Fimela.com, Jakarta Kamu mungkin pernah mendengar istilah fatherless. Atau bisa jadi tanpa sadar kamu tumbuh di tengah kondisi itu—tumbuh dengan sosok ayah yang ada secara fisik, tapi jauh secara emosional. Fenomena ini ternyata bukan hal kecil di Indonesia.

Menurut Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik) Maret 2024, sekitar 20,1 persen anak Indonesia—dari total 79,4 juta anak di bawah usia 18 tahun—termasuk dalam kategori fatherless. Dari jumlah itu, 4,4 juta anak hidup tanpa ayah sama sekali, sementara 11,5 juta anak lainnya memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu.

Secara kasat mata, mungkin semua tampak baik-baik saja. Tapi di balik angka itu, ada jutaan anak yang tumbuh dengan kekosongan batin. Sebuah kerinduan yang sulit dijelaskan—rindu akan kehadiran ayah yang benar-benar ada.

Sudut Psikolog: Fatherless Tak Selalu Berarti Ayah yang Tak Ada

Bagi seorang anak, sosok ayah bukan hanya pelindung fisik. Ia adalah sumber rasa aman, contoh tentang cinta, dan tempat anak belajar memahami batas diri. Dari tatapan mata ayah, pelukan hangat, hingga pujian sederhana, anak belajar mengenal kasih sayang yang menenangkan.

Menurut psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, fenomena fatherless tak selalu berarti ayah benar-benar tidak ada secara fisik. “Ayah bisa tinggal di rumah yang sama, tapi kalau tidak terlibat dalam percakapan, tidak mendengarkan, atau tidak mengekspresikan kasih sayang, maka anak tetap mengalami fatherlessness,” jelasnya.

Ketiadaan kehadiran emosional ini yang sering kali luput dari perhatian. Dalam banyak keluarga, ayah dianggap sudah cukup “berperan” selama ia bekerja keras mencari nafkah. Padahal, cinta tidak bisa dibayar dengan waktu lembur atau gaji besar.

Psikolog keluarga juga menyoroti faktor sosial dan budaya yang memperparah fenomena ini. Perceraian yang meningkat, tekanan ekonomi yang tinggi, hingga norma patriarki yang menempatkan ayah semata sebagai pencari nafkah membuat hubungan ayah-anak menjadi kian renggang. Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa mendapatkan dua kebutuhan dasar mereka: rasa aman (security) dan rasa dicintai (love).

Dampak Emosional: Luka yang Tidak Terlihat Tapi Nyata

Ketika rasa aman dan cinta itu tak terpenuhi, anak bisa tumbuh dengan perasaan tidak cukup berharga. Mereka cenderung selalu berusaha keras agar layak dicintai, takut ditinggalkan, atau sulit mempercayai orang lain.

Dalam masa dewasa, luka ini sering muncul tanpa disadari. Bisa berupa kebutuhan kuat untuk dicintai, keinginan berlebihan untuk diterima, atau pola hubungan yang tidak seimbang—di mana seseorang rela mengorbankan dirinya demi mempertahankan cinta. Semua itu sering kali berakar dari inner child yang masih haus kasih sayang dari figur ayah.

Jika kamu pernah merasakan hal ini, kamu tidak sendirian. Banyak orang tumbuh dengan luka serupa—luka yang tidak berdarah tapi menimbulkan perih yang dalam. Luka karena tidak pernah benar-benar merasa cukup, meski telah berusaha keras untuk menjadi seseorang yang layak dicintai.

Refleksi: Dari Luka Menjadi Sumber Kekuatan

Namun, bukan berarti semua anak fatherless tumbuh dengan luka yang tak sembuh. Banyak di antara mereka yang justru belajar menjadi pribadi yang kuat, empatik, dan bijak. Mereka memahami makna kehilangan, dan dari situ tumbuh kemampuan luar biasa untuk mencintai dengan lebih sadar.

Anak fatherless sering kali belajar menciptakan rasa aman dari dalam dirinya sendiri. Mereka belajar menjadi pelindung bagi diri sendiri, menjadi sumber kasih yang dulu tak mereka dapatkan. Dalam proses itu, mereka tumbuh menjadi individu yang tahu bagaimana memperlakukan orang lain dengan lebih lembut—karena mereka tahu rasanya hidup tanpa pelukan yang diharapkan.

Proses Penyembuhan: Peluk Inner Child di Dalam DirimuKalau kamu merasa punya inner child yang haus kasih sayang ayah, langkah pertama untuk pulih adalah mengakui luka itu. Kamu tak harus menyalahkan siapa pun, tapi kamu bisa mengakui bahwa dulu ada kebutuhan yang tak terpenuhi.

Mulailah dengan memberi kasih yang dulu kamu cari — pada dirimu sendiri. Katakan hal-hal yang dulu ingin kamu dengar dari ayahmu: “Aku bangga padamu.” “Kamu sudah cukup.” “Kamu layak dicintai.”

Kamu juga bisa memulai proses penyembuhan lewat hal-hal kecil: menulis jurnal, berbicara dengan terapis, atau membuka ruang percakapan yang jujur dengan orang terdekat. Tidak ada waktu yang terlambat untuk memulihkan diri.

Karena sejatinya, meski sosok ayah mungkin tidak selalu bisa hadir, kamu punya kendali untuk menciptakan rasa aman dari dalam diri. Kamu bisa belajar menjadi versi terbaik dari diri sendiri — yang penuh kasih, kuat, dan utuh.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading