Sukses

Health

Toxic Positivity: Saat Harus Selalu Bahagia Justru Menyakitkan

ringkasan

  • Toxic positivity adalah keyakinan bahwa hanya emosi positif yang diperbolehkan.
  • Dampak negatif termasuk rasa malu, penghindaran emosi, dan isolasi sosial.
  • Mengatasi toxic positivity memerlukan empati dan dukungan emosional yang tulus.

Fimela.com, Jakarta - Toxic positivity adalah fenomena yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah keyakinan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif, terlepas dari kesulitan yang dihadapi. Meskipun optimisme memiliki manfaat, toxic positivity justru dapat merugikan kesehatan mental. Menurut Shannon Gunnip, seorang terapis di New York City, toxic positivity adalah keyakinan keliru bahwa hanya emosi positif yang dapat diterima. Hal ini membuat individu merasa tertekan untuk selalu bahagia, bahkan ketika mereka mengalami kesedihan atau kesulitan.

John-Paul Davies, seorang psikoterapis, menambahkan bahwa toxic positivity mengabaikan emosi yang lebih sulit untuk dihadapi. Ia menjelaskan bahwa perasaan adalah respons terhadap lingkungan sekitar, dan semua emosi perlu diberi ruang. Dalam konteks ini, toxic positivity dapat menjadi penghalang bagi individu untuk merasakan dan mengatasi emosi mereka secara sehat.

Sahabat Fimela, penting untuk memahami bahwa toxic positivity dapat berbahaya dan menyakitkan. Ketika seseorang berusaha untuk selalu terlihat bahagia, mereka mungkin merasa terasing dan tidak didukung. Mari kita eksplorasi lebih dalam mengenai dampak dan cara mengatasi toxic positivity.

Definisi Toxic Positivity

Toxic positivity adalah pandangan bahwa hanya emosi positif yang diperbolehkan, sementara emosi negatif harus diabaikan. Ini menciptakan tekanan untuk selalu tampil bahagia, meskipun kenyataannya tidak demikian. Menurut Natalie Dattilo, seorang psikolog, toxic positivity berasal dari kecenderungan kita untuk meremehkan pengalaman emosional negatif. Hal ini dapat menyebabkan individu merasa malu dan bersalah atas emosi yang mereka alami.

Dampak Negatif Toxic Positivity

Toxic positivity dapat memiliki berbagai dampak negatif, antara lain:

  • Membuat Malu dan Bersalah: Individu merasa bahwa emosi negatif mereka tidak diterima, yang dapat meningkatkan rasa malu.
  • Menghindari Emosi Otentik: Orang cenderung menghindari situasi emosional yang membuat mereka tidak nyaman, mengabaikan perasaan yang penting.
  • Mencegah Pertumbuhan dan Pemrosesan Emosi: Menghindari perasaan menyakitkan dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan pemahaman diri.
  • Mengisolasi dan Mengasingkan: Pesan kepositifan yang berlebihan dapat membuat individu merasa terasing dari orang lain.
  • Memperburuk Masalah Kesehatan Mental: Toxic positivity dapat memperburuk kondisi kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Contoh Toxic Positivity

Toxic positivity dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti:

  • “Tetap positif!” ketika seseorang mengalami kehilangan pekerjaan.
  • “Semua terjadi karena suatu alasan” setelah mengalami kehilangan.
  • “Kebahagiaan adalah pilihan” saat seseorang mengungkapkan kesedihan.

Pernyataan-pernyataan ini, meskipun berniat baik, dapat mengabaikan perasaan tulus seseorang.

Cara Mengatasi Toxic Positivity

Untuk mengatasi toxic positivity, penting untuk mengganti respons positif yang dipaksakan dengan empati. Dukungan emosional yang nyata datang dari mendengarkan secara aktif dan memberikan ruang untuk ekspresi otentik. Dr. Paul McLaren, seorang psikiater, menekankan pentingnya mengakui semua emosi, baik positif maupun negatif. Dengan cara ini, individu dapat merasa lebih diterima dan didukung dalam perjalanan emosional mereka.

Penting untuk diingat, Sahabat Fimela, bahwa merasakan semua emosi adalah bagian dari pengalaman manusia. Mari kita belajar untuk menerima dan menghargai setiap perasaan yang kita alami.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading