Sukses

Info

Harga Tes PCR di Indonesia Turun Drastis, Jadi Lebih Murah Dibanding Malaysia dan Korea Selatan

Fimela.com, Jakarta Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo meminta harga ongkos tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan menjadi Rp 300 ribu saja. Permintaan penurunan harga itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan tes PCR untuk orang yang ingin melakukan perjalanan menggunakan moda transportasi pesawat terbang.

Masyarakat merasa bahwa kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat lantaran biaya tes PCR di Indonesia ada di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu, meskipun harga tersebut masih relatif lebih murah dibandingkan negara tetangga. 

Berdasarkan laporan dari The Star yang dikutip oleh Liputan6.com, Rabu (27/10), harga tes PCR di Malaysia bisa mencapai 150 ringgit atau setara dengan Rp 512 ribu, bahkan mencapai 200 ringgit atau Rp 683 ribu di daerah Sabah dan Sarawak. Harga-harga tersebut belum termasuk biaya perlengkapan kesehatan lainnya, sehingga masih ada biaya tambahan lainnya. 

Lalu, di Korea Selatan, tepatnya di Bandara Incheon, harganya lebih mahal lagi, yakni mencapai 126 ribu won (Rp 1,5 juta) untuk orang lokal, dan 174 ribu won (Rp 2,1 juta) untuk orang asing. Sedangkan di Klinik Korea Selatan, harganya berkisar antara US$ 100 (Rp 1,4 juta) hingga US$ 300 (Rp 4,2 juta). Data ini dilansir dari Situs Resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Seoul, Kamis (28/10). 

Wajib Tes PCR Akan Diterapkan untuk Semua Moda Transportasi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah akan menerapkan kebijakan wajib tes PCR COVID-19 di seluruh moda transportasi. 

“Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya selama dalam mengantisipasi periode Natal dan Tahun Baru (Nataru),” jelasnya dalam konferensi pers, Senin (25/10), dikutip dari Liputan6.com

Ia menjelaskan bahwa wacana kewajiban tes PCR untuk seluruh moda transportasi guna menyeimbangkan relaksasi pada aktivitas masyarakat, khususnya sektor pariwisata.

Masih Jauh Lebih Mahal Daripada India

Lantaran hal tersebut, permintaan penurunan harga ini disoroti oleh Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani Aher. Ia menilai bahwa harga tes PCR yang diturunkan menjadi Rp 300 ribu itu masih terbilang mahal. 

“Harga Rp 300 ribu itu masih tinggi dan memberatkan.Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga di bawah Rp 100 ribu, kenapa kita tidak bisa?” ujar Netty, dikutip dari Liputan6.com, Kamis (28/10).

Menurutnya, dengan adanya wacana tes PCR menjadi syarat wajib untuk seluruh moda transportasi, harga tersebut masih akan membebani masyarakat. Ia menilai bahwa jika kebijakan itu diterapkan, maka tes screening COVID-19 lainnya seperti swab antigen tidak berlaku lagi. 

“Semua penumpang transportasi non-udara yang notabene-nya dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat,” tambah Netty. 

Kecurigaan Ada Kepentingan Bisnis

Netty mengingatkan pemerintah mengenai masalah keterbatasan kemampuan lab melakukan uji PCR dan pemalsuan surat tes COVID-19, apabila tes PCR menjadi syarat wajib seluruh moda transportasi. Dirinya curiga hal ini disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang memanfaatkan hal ini menjadi kepentingan bisnis.

Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah agar menjelaskan harga dasar PCR secara transparan. Hal ini dikarenakan harga tes PCR sejak tahun lalu selalu turun dan berubah-ubah. 

“Kejadian ini membuat masyarakat bertanya-tanya, berapa sebenarnya harga dasar PCR? Pada awalnya test PCR sempat di atas Rp 1 juta, lalu turun hingga Rp 300 ribu. Apalagi pemerintah tidak menjelaskan mekanisme penurunannya, apakah ada subsidi dari pemerintah atau bagaimana?” katanya.

Penurunan Harga PCR Masih Dikaji Kemenkes

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan masih mengkaji soal penurunan harga tes PCR menjadi Rp 300 ribu. Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa koordinasi penyesuaian harga PCR masih terus dilakukan bersama dengan kementerian atau lembaga terkait. 

“Saat ini, sedang dikaji bersama dengan Satgas COVID-19, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kemenkes, dan Kementerian Perhubungan, dan dilakukan konsultasi dengan berbagai pihak dengan organisasi profesi, pihak laboratorium, distributor, juga auditor pemerintah,” ujar Nadia, dikutip dari Liputan6.com

Saat ini, koordinasi masih akan didiskusikan demi mencapai persetujuan, sehingga masyarakat diminta bersabar untuk menunggu hasil keputusan nanti. 

Penulis: Chrisstella Efivania

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading